Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

tuntunan qiyamul lail dan sholat tarawih (1)

12 tahun yang lalu
baca 21 menit

Definisi Qiyamul Lail dan Sholat Tarwih

Secara umum sholat di malam hari setelah sholat ‘Isya sampai subuh disebut Qiyamul Lail. Di dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah Subhanahu berfirman :
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil : 1-4)

Dan sholat di malam hari juga disebut sholat Tahajjud. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”. (QS. Al-Isra` : 79)

Tahajjud secara bahasa adalah bermakna membuang tidur. Berkata Imam Ath-Thobary : “Tahajjud adalah begadang setelah tidur” kemudian beliau membawakan beberapa nukilan dari ulama Salaf tentang hal tersebut.

Adapun sholat Tarawih, definisinya adalah Qiyamul Lail secara berjama’ah di malam Ramadhan. Menurut keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dinamakan Tarawih –yang dia merupakan kata jamak dari tarwihah yang bermakna ditebalkan- dikarenakan pada awal kali pelaksanaannya orang-orang memperpanjang berdiri, rukuk dan sujud, apabila telah selesai empat raka’at dengan dua kali salam maka mereka beristirahat kemudian sholat empat raka’at dengan dua kali salam lalu beristirahat kemudian sholat tiga raka’at sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari sebelas raka’at. Beliau sholat empat (raka’at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat empat (raka’at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat tiga (raka’at)”.

Dan perlu diketahui bahwa penamaan sholat lail di malam Ramadhan dengan nama Tarawih adalah penamaan yang sudah lama dan di kenal dikalangan para Ulama tanpa ada yang mengingkari. Perhatikan bagaimana Imam Al-Bukhary (Wafat tahun 256 H) dalam Shohih-nya menulis kitab khusus dengan judul Kitab Sholat At-Tarawih dan demikian pula Muhammad bin Nashr Al-Marwazy (Wafat tahun 294 H) dalam Mukhtashor Qiyamul Lail. Demikian pula disebut oleh para Ulama lainnya, abad demi abad tanpa ada yang mengingkarinya.

Karena itu alangkah sedikit pemahaman agama sebahagian orang di zaman ini yang mengingkari penamaan sholat lail di malam Ramadhan dengan nama sholat Tarawih, dan lebih menakjubkan lagi, ada sebahagian orang tanpa rasa malu menganggap bahwa sholat Tarawih adalah bid’ah. Nas`alullaha As-Salamata Wal ‘Afiyah. (Baca : Fathul Bari 3/3, 4/250, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah karya Syaikh Ibnu Baz 11/317-318, Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/12-13 dan Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 14/210.)

Fadhilah dan Keutamaan Qiyamul Lail dan Sholat Tarwih

Secara umum Qiyamul lail adalah perkara yang sangat dianjurkan dalam syari’at Islam. Berikut ini beberapa dalil selain dari beberapa ayat yang telah disebutkan di atas :
Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman terhadap ayat-ayat Kami, adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo`a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Sajadah : 15-16)

Dan Allah Jalla Tsana`uhu menjelaskan diantara sifat hamba-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzariyat : 15-17)

Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Seutama-utama puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) Bulan Allah Muharram dan seutama-utama sholat setelah (sholat) fardhu adalah sholat lail.”

Dalam hadits ‘Amr bin ‘Abasah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sedekat-dekat keberadaan Allah terhadap seorang hamba adalah para pertengahan malam terakhir. Maka kalau engkau mampu termasuk dari orang mengingat Allah pada saat itu maka hendaknya engkau termasuk (darinya)” (HR. At-Tirmidzy 5/569/3578, An-Nasa`i 1/279, Ibnu Khuzaimah 1/182/1147, Al-Hakim 1/453, Al-Baihaqy 3/4 dan dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/171)

Dan sholat lail termasuk penyebab seseorang terhindar dari fitnah, sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah riwayat Al-Bukhary :
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam terbangun pada suatu malam lalu beliau bersabda: “Subhanallah, apa yang diturunkan malam ini berupa fitnah dan apa yang dibuka dari berbagai perbendaharaan, bangunkanlah (para perempuan) pemilik kamar karena kadang (perempuan) berpakaian di dunia tetapi telanjang di akhirat”.

Dan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukan Qiyamul lail sampai pecah-pecah kedua kaki beliau maka saya bertanya : “Mengapa engkau melakukan ini wahai Rasulullah padahal Allah telah mengampuni apa telah berlalu dari dosamu dan apa yang akan datang?” maka beliau menjawab : “Tidakkah saya cinta untuk menjadi hamba yang bersyukur”.

Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Allah merahmati seorang lelaki yang terbangun di malam hari lalu sholat dan membangunkan istrinya, kalau dia enggan maka ia memercikkan air ke wajahnya. Allah merahmati seorang perempuan bangun di malam hari lalu sholat dan membangunkan suaminya, kalau dia enggan maka ia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Daud no. 1308, 1450, An-Nasa`i 3/205, Ibnu Majah no. 1336, Ibnu Khuzaimah 2/183/1148, Ibnu Hibban 6/306/2567 –Al-Ihsan-, Al-Hakim 1/453 dan Al-Baihaqy 2/501. Dan dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/172)

Dan khusus tentang sholat lail di malam Ramadhan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menjelaskan keutamaannya dalam sabdanya :
“Siapa yang Qiyam Ramadhan (berdiri sholat di malam Ramadhan) dengan keimanan dan mengharap pahala maka telah diampuni apa yang telah lalu dari dosanya” (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.)

Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim 6/38 : “Yang dimaksud dengan Qiyam Ramadhan adalah sholat Tarawih”. Bahkan Al-Kirmany menukil kesepakatan bahwa yang dimaksud dengan Qiyam Ramadhan dalam hadits di atas adalah sholat Tarawih. Namun nukilan kesepakatan dari Al-Kirmany dianggap aneh oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar karena kapan Qiyamul lail dilakukan di malam Ramadhan dengan berjama’ah (Tarawih) atau tanpa berjama’ah maka telah tercapai apa yang diinginkan. Demikian makna keterangan beliau dalam Fathul Bari 4/251.

Dan dalam hadits ‘Amr bin Murrah Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
“Datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam seorang lelaki dari Qudho’ah lalu berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau andaikata saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan engkau rasul Allah, saya sholat lima waktu, saya puasa bulan (Ramadhan), saya melakukan Qiyam Ramadhan dan saya mengeluarkan zakat?. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Siapa yang meninggal di atas hal ini maka ia termasuk dari para shiddiqin dan orang-orang yang mati syahid”. (Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyam Ramadhan hal. 18 : “Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Ash-Shohih mereka berdua dan juga diriwayatkan oleh selain keduanya dengan sanad yang shohih”.)

Dan tentang malam Lailatul Qadri, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang berdiri (sholat) malam lailatul qadri dengan keimanan dan mengharap pahala maka telah diampuni apa yang telah lalu dari dosanya” (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.)

Syari’at Sholat Tarawih Secara Berjama’ah

Ada beberapa hadits yang menunjukkan akan disyari’atkannya pelaksanaan sholat Tarawih secara berjama’ah. Di antara hadits-hadits itu adalah sebagai berikut :
Dari Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : “Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan beliau tidak berdiri (sholat lail) bersama kami sedikitpun dari bulan itu kecuali setelah tersisa tujuh hari. Kemudian beliau berdiri (mengimami) kami sampai berlalu sepertiga malam. Dan ketika malam keenam (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau tidak berdiri (mengimami) kami. Kemudian saat malam kelima (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau berdiri (mengimami) kami sampai berlalu seperdua malam. Maka berkata : “Wahai Rasulullah, andaikata engkau menjadikan nafilah untuk kami Qiyam malam ini,” maka beliau bersabda : “Sesungguhnya seorang lelaki apabila ia sholat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya Qiyam satu malam”. Dan ketika malam keempat (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau tidak berdiri (mengimami) kami. Dan saat malam ketiga (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau mengumpulkan keluarganya, para istrinya dan manusia lalu beliau berdiri (mengimami) kami sampai kami khawatir ketinggalan Al-Falah. Saya –rawi dari Abu Dzar- bertanya : “Apakah Al-Falah itu?” (Abu Dzar menjawab : “Waktu sahur”. Kemudian beliau tidak berdiri lagi (mengimami)kami pada sisa bulan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil 2/193/447 dan Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/175.)

Dan Abu Tholhah Nu’aim bin Ziyad, beliau berkata : Saya mendengar Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma di mimbar Himsh, beliau berkata :
“Kami berdiri (sholat) bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan pada malam 23 sampai sepertiga malam pertama, kemudian kami berdiri (sholat) bersama beliau pada malam 25 sampai seperdua malam, kemudian kami berdiri (sholat) bersama beliau pada malam 27 sampai kami menyangka tidak mendapati Al-Falah yang mereka namakan untuk waktu sahur” (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/394, Ahmad 4/272, An-Nasa`i 3/203, Ibnu Khuzaimah 3/336/2204 dan Al-Hakim 1/607. Dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/174.)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam keluar di kegelapan malam lalu beliau sholat di masjid maka sekelompok orang sholat mengikuti sholat beliau. Kemudian manusia di pagi harinya membicarakan tentang hal tersebut maka berkumpullah lebih banyak dari mereka, maka keluarlah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada malam kedua lalu merekapun sholat mengikuti sholat beliau. Di waktu paginya manusia membicarakan hal tersebut sehingga menjadi banyaklah yang hadir di masjid pada malam ketiga, lalu beliau keluar dan mereka sholat mengikuti sholat beliau. Begitu malam yang keempat masjid tidak mampu menampung penduduknya. Akan tetapi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak keluar kepada mereka sampai sekelompok orang dari mereka berteriak : “Sholat”
namun Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak keluar kepada mereka sampai beliau keluar untuk sholat subuh. Tatkala beliau menyelesaikan (sholat) subuh, beliau menghadap kepada manusia kemudian beliau tasyahhud lalu berkata : “Amma Ba’du, sesungguhnya keadaan kalian malam ini tidak luput dari pemantauanku, akan tetapi aku khawatir akan diwajibkannya atas kalian sholat lail kemudian kalianpun tidak sanggup terhadapnya’.”
(HR. Al-Bukhary dan Muslim dan lafazh hadits bagi Imam Muslim)

Dari hadits ini diketahui mengapa sholat Tarawih di bulan Ramadhan tidak dilakukan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam terus menerus yaitu karena kekhawatiran beliau sholat tersebut diwajibkan atas umatnya sehingga memberatkan mereka. Namun kekhawatiran ini telah lenyap setelah wafatnya beliau dan agama telah sempurna. Karena itu sunnah ini dihidupkan oleh ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dari ‘Abdurrahman bin ‘Abd Al-Qary, beliau berkata :
“Saya keluar bersama ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menuju ke masjid pada suatu malam di Ramadhan, ternyata manusia terbagi-bagi berpisah-pisah, seseorang sholat sendirian dan seseorang sholat dimana sekelompok orang (mengikuti) sholatnya. Maka ‘Umar berkata :
“Saya berpandangan andaikata saya kumpulkan mereka pada satu qori` maka itu lebih tepat.”Lalu beliau ber’azam lalu beliau kumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar bersama beliau pada malam lain dan manusia sedang sholat (mengikuti) sholat qori’ mereka maka ‘Umar berkata : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini dan yang tidur darinya lebih baik dari yang menegakkannya” yang beliau inginkan adalah orang yang sholat pada akhir malam sementara manusia menegakkannya di awal malam”
Ucapan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, beliau maksud bid’ah secara bahasa karena beliau yang pertama kali menghidupkan sunnah ini setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memberikan dasar tuntunannya pada masa hidupnya. Wallahu A’lam.

Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyamu Ramadhan hal. 21-22 : “Dan disyari’atkan bagi para perempuan untuk menghadirinya (Jama’ah Tarawih,-pent.) sebagaimana dalam hadits Abu Dzar yang berlalu, dan telah tsabit (tetap, syah) dari ‘Umar bahwa tatkala beliau mengumpulkan manusia untuk Qiyam maka beliau menjadikan Ubay bin Ka’ab untuk laki-laki dan Sulaiman bin Abi Hatsmah untuk para perempuan. Dari ‘Arfajah Ats-Tsaqofy, beliau berkata : “Adalah ‘Ali bin Abi Tholib memerintah manusia untuk melakukan Qiyam bulan Ramadhan dan beliau menjadikan untuk laki-laki seorang imam dan untuk perempuan seorang imam. Berkata (‘Arfajah) : “Saya adalah imam para perempuan”. Saya berkata : Ini keadaannya menurutku bila masjidnya luas sehingga salah satu dari keduanya tidak mengganggu yang lainnya.”

Dan perlu diketahui bahwa syari’at sholat Tarawih ini hanya dilakukan di bulan Ramadhan berdasarkan keterangan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits riwayat Al-Bukhary dan Muslim bahwa pelaksanaan Tarawih secara berjama’ah ini dilakukan oleh beliau di bulan Ramadhan.

Bertolak dari sini, nampaklah kesalahan sebahagian orang yang sering melakukan pelaksanaan Qiyamul Lail secara berjama’ah di luar Ramadhan. Memang Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang melakukan Qiyamul Lail secara berjama’ah di rumahnya bersama Ibnu ‘Abbas dan juga pernah bersama Ibnu Mas’ud dan pernah bersama Hudzaifah. Namun beliau tidak melakukan hal tersebut terus menerus dan tidak pula beliau melakukannya di masjid, karena itu siapa yang melakukan Qiyamul Lail secara berjama’ah di luar Ramadhan secara terus menerus atau secara berjama’ah di masjid maka tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut tersebut termasuk dari perkara bid’ah yang tercela. Baca keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/82-83.

Hukum Sholat Tarawih

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/526: “Dan sholat Tarawih adalah sunnah menurut kesepakatan para ‘ulama.” Lihat juga Syarah Muslim 6/38.
Dan berkata Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid 1/209 : “Dan (para ulama) sepakat bahwa Qiyam bulan Ramadhan sangat dianjurkan lebih dari seluruh bulan.”
Berkata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 2/601 : “Ia adalah sunnah muakkadah dan awal kali yang menyunnahkannya adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Dan Al-Mardawy dalam Al-Inshof 2/180 juga memberi pernyataan sama dalam madzhab Hanbaliyah namun beliau menyebutkan bahwa Ibnu ‘Aqil menghikayatkan dari Abu Bakr Al-Hanbaly akan wajibnya.

Tidaklah diragukan bahwa sholat Tarawih adalah sunnah muakkadah berdasarkan dalil-dalil yang telah disebut di atas.
Baca juga : Al-Istidzkar 2/63-64, Syarhus Sunnah 4/118-119 dan Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/194.
Namun para ulama berselisih pendapat tentang mana yang afdhol dalam pelaksanaan sholat Tarawih, apakah dilakukan secara berjama’ah di masjid atau sendiriaan di rumah?.

Ada dua pendapat di kalangan para ulama :
1. Yang afdhol adalah secara berjama’ah. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’iy dan kebanyakan pengikutnya, Ahmad, Abu Hanifah, sebahagian orang Malikiyah dan selainnya. Dan Ibnu Abi Syaibah menukil pelaksanaan secara berjama’ah dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Suwaid bin Ghafalah, Zadzan, Abul Bakhtary dan lain-lainnya. Alasannya karena ini adalah sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang dihidupkan oleh ‘Umar dan para shohabat radhiyallahu ‘anhum dan sudah menjadi symbol agama yang nampak seperti sholat ‘Ied. Bahkan Ath-Thohawy berlebihan sehingga mengatakan bahwa sholat Tarawih secara berjama’ah adalah wajib kifayah.
2. Sendirianlah yang afdhol. Ini adalah pendapat Imam Malik, Abu Yusuf, sebagian orang-orang Syafi’iyyah dan selainnya. Alasannya adalah hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang berbunyi : “Sesungguhnya sebaik-baik sholat seseorang adalah dirumahnya kecuali sholat wajib.”
Baca : Syarah Muslim 6/38-39, Al-Majmu’ 2/526, 528, Thorhut Tatsrib 3/94-97, Al-Mughny 2/605, Al-Istidzkar 2/71-73, Fathul Bari 4/252 dan Nailul Author 3/54.

Hukum Sholat Witir

Menurut jumhur ulama sholat witir hukumnya adalah sunnah muakkadah. Ini pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq dan lain-lainnya. Di sisi lain Abu Hanifah berpendapat bahwa sholat witir hukumnya wajib. Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami, witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami, witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami.” (Dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/159)

Tarjih

Yang benar dalam masalah ini bahwa sholat witir tidak wajib. Hal ini berdasarkan hadits Tholhah bin ‘Ubaidullah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, ketika Rasulullah shollallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyebutkan kewajiban sholat lima waktu maka beliau di tanya, “Apakah ada kewajiban lain atasku” beliau menjawab : “Tidak, kecuali hanya sekedar sholat tathawwu’ (sholat sunnah).”
Dan juga akan diterangkan tentang sholat witirnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di atas hewan tunggangannya padahal dimaklumi bahwa sholat wajib tidaklah dilakukan di atas hewan tunggangan.
Dan masih ada dalil-dalil lain yang menunjukkan tidak wajibnya. Baca : Al-Istidzkar 2/80, Al-Majmu’ 3/514-517, Al-Mughny 2/591-594, Al-Fatawa 23/88, Syarah Ibnu Rajab 6/210-212 dan Nailul Author 3/34.

 

Waktu Sholat Lail dan Sholat Tarawih

Waktu pelaksanaanya adalah :
1. Awal Waktu
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 23/119-220 : “Sunnah dalam sholat Tarawih dilaksanakan setelah sholat ‘Isya sebagaimana yang telah disepakati oleh Salaf dan paraImam … dan tidaklah para Imam melakukan sholat (Tarawih) kecuali setelah ‘Isya di masa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan dimasa para Khulafa` Ar-Rasyidin dan di atas hal ini para Imam kaum muslimin…”
Dan berkata Ibnul Mundzir : “Ahlul ‘Ilmi telah sepakat bahwa (waktu) antara sholat ‘Isya sampai terbitnya fajar adalah waktu untuk witir.”

Maka ukuran awal waktu pelaksanaan Qiyam adalah setelah sholat ‘Isya, apakah sholat ‘Isyanya di awal waktu, pertengahan atau akhir waktunya. Demikian pula -menurut keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan selainnya- boleh dilaksanakan oleh seorang yang musafir bila ia telah menjamak taqdim waktu ‘Isya dengan waktu maghrib.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Bashrah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad dan selainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah menambahkan bagi kalian suatu sholat yaitu witir, maka laksanakanlah sholat itu antara sholat ‘Isya sampai Subuh.” (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 108)

Dan dalam hadits Kharijah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tarmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menganugerahi kalian suatu sholat yang lebih baik bagi kalian dari onta merah, yaitu sholat witir. (Allah) telah menjadikannya untuk kalian antara ‘Isya sampai terbitnya fajar”. (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 423 dengan seluruh jalan-jalannya. Baca juga Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/235)

Ada satu sisi pendapat lemah dikalangan pengikut madzhab Syafi’iyyah dan juga fatwa sebahagian dari orang-orang belakangan dari kalangan Hanbaliyah menyatakan bolehnya melakukan witir sebelum pelaksanaan ‘Isya. Tentunya itu adalah pendapat yang sangat lemah, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Siapa yang melakukannya sebelum ‘Isya maka ia telah menempuh jalan para pengikut bid’ah yang menyelisihi sunnah”.

Namun para ulama berselisih pendapat tentang orang yang sholat witir sebelum Isya dalam keadaan lupa atau ia menyangka telah melaksanakan sholat ‘Isya, apakah witirnya diulang kembali atau tidak?.

Ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang masalah ini :
1. Pendapat pertama : Diulangi kembali. Ini adalah pendapat jumhur ulama seperti Al-Auza’iy, Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad dan lain-lainnya.
2. Pendapat kedua : Tidak diulangi. Ini pendapat Sufyan Ats-Tsaury dan Abu Hanifah.
Dan tidak diragukan lagi bahwa yang kuat adalah pendapat pertama berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan.

2. Akhir Waktu (Waktu Terakhir) Dari Sholat Lail (Tarawih)
Para ulama sepakat bahwa seluruh malam sampai terbitnya fajar adalah waktu pelaksanaan witir.
Namun ada perselisihan pada batasan akhir waktu witir, ada beberapa pendapat dikalangan para ulama :
Satu : Akhir waktunya sampai terbit fajar. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Makhul, ‘Atho`, An-Nakha’iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah dan riwayat yang paling masyhur dari Asy-Syafi’iy dan Ahmad. Dan diriwayatkan pula dari ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Abu Musa dan Abu Darda` radhiyallahu anhum.
Dua : Akhir waktunya sepanjang belum sholat subuh. Ini adalah pendapat Al-Qosim bin Muhammad, Malik, Asy-Syafi’iy -dalam madzhabnya yang terdahulu- dan salah satu riwayat dari Ahmad. Dan juga merupakan pendapat Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsaur dan lain-lainnya. Dan diriwayatkan pula dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ubadah bin Shomit, Hudzaifah dan lain-lainnya.

Tarjih

Yang kuat adalah pendapat pertama, karena dua hadits yang telah berlalu penyebutannya di atas sangatlah tegas menunjukkan bahwa akhir waktunya adalah sampai terbitnya fajar subuh. Dan juga dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ketika ditanya tentang kaifiyat sholat lail beliau bersabda :
“(Sholat malam) dua dua, apabila engkau khawatir (masuk) waktu subuh maka sholatlah satu raka’at dan jadikan akhir sholatmu witir”

Adapun untuk pendapat kedua, Ibnu Rajab menyebutkan beberapa dalil yang menjadi landasan mereka dan beliau terangkan kelemahannya, kemudian beliau menyatakan : “Berdasarkan anggapan bahwa hadits-hadits ini shohih (seluruhnya) atau sebahagiannya, maka maknanya diarahkan kepada (bolehnya) meng-qhodo` witir setelah berlalu waktunya yaitu malam hari, bukan menunjukkan bahwa setelah fajar (subuh) masih waktunya.” Dan pada halaman sebelumnya, beliau juga menyebutkan dari Ibnu ‘Abdil Barr bahwa mungkin yang diinginkan oleh pendapat kedua tentang bolehnya witir setelah terbitnya fajar adalah bagi orang yang lupa melakukan witir atau kelupaan, bukan untuk orang yang sengaja mengakhirkannya sampai keluar waktunya.

Dalam masalah meng-qhodo` witir memang ada persilangan pendapat dikalangan para ulama, namun –secara umum- apa yang disimpulkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Rajab adalah tepat dan sejalan dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad, Abu Daud, At- Tirmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Siapa yang tidur dari witirnya atau melupakannya maka hendaknya ia sholat bila ia mengingatnya” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/168)

Adapun orang yang punya udzur sehingga belum melaksanakan witir sampai sholat subuh maka ia meng-qhodo` witirnya setelah matahari terbit dengan menggenapkan jumlah kebiasaan witirnya, bila kebisaannya witir 3 raka’at maka digenapkan 4 raka’at, jika kebiasaannya 5 raka’at maka digenapkan 6 raka’at dan seterusnya. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu‘anha riwayat Muslim, bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, “Bila beliau dikuasai oleh tidurnya atau sakit dari (melakukan) Qiyam lail maka beliau sholat di waktu siang 12 raka’at”

Baca pembahasan mengenai awal dan akhir waktu Qiyam lail dalam : Al-Istidzkar 2/117-118, Bidayatul Mujtahid 1/202-203, Al-Majmu’ 3/518, Syarah Muslim 6/30-31, Thorhut Tatsrib 3/79-80, Al-Mughny 2/595-596, Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah 23/119-121, Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/234-243, Al-Inshof 2/181, Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/15-16 dan Nailul Author 3/45-46.

Dan baca masalah meng-qodho` witir dalam : Al-Fatawa 23/89-91, Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/243-247, Syarhus Sunnah 4/88-89 dan Nailul Author 3/52-53.

Waktu Yang Afdhol (Paling Utama) Dalam Pelaksanaan Qiyam

Ibnu Rajab menyebutkan bahwa banyak dari shahabat melakukan witir di awal malam, di antara mereka adalah Abu Bakr, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘A`idz bin ‘Amr, Anas, Rafi’ bin Khajid, Abu Hurairah, Abu Dzar dan Abu Darda` radhiyallahu ‘anhum. Dan pendapat ini merupakan salah satu sisi pendapat di kalangan orang-orang Syafi’iyyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan diikuti oleh sebahagian orang Hanbaliyah. Alasan mereka untuk lebih berhati-hati.

Namun Jumhur Ulama menilai bahwa witir akhir malam lebih utama. Ini pendapat kebanyakan ulama Salaf seperti ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan selain mereka dari kalangan shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Bahkan Ibnu Sirin berkata : “Tidaklah mereka (yaitu Para Shohabat dan Tabi`in di zaman beliau,-pent.) berselisih bahwa witir di akhir malam itu Afdhol (lebih utama).”

Pendapat ini pula yang dipegang oleh An-Nakha’iy, Malik, Ats-Tsaury, Abu Hanifah, Ahmad – dalam riwayat yang paling masyhur darinya- dan Ishaq.

Tarjih

Insya Allah yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan afdholnya pelaksanaan Qiyam di akhir malam. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, diantaranya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang khawatir tidak akan Qiyam di akhir malam maka hendaknya ia witir di akhir malam dan siapa yang semangat untuk witir di akhirnya maka hendaknya ia witir di akhir malam karena sholat di akhir malam adalah disaksikan1”

Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir (Dalam salah satu riwayat Muslim : “ketika telah berlalu sepertiga malam pertama”, dan riwayat beliau yang lainnya : “apabila telah berlalu seperdua malam atau dua pertiganya” ) kemudian berfirman : “Siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku kabulkan untuknya, siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku berikan untuknya dan siapa yang memohon anpun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya”.
Baca : Al-Mughny 2/596-597 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/247-250.