Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

thuma’ninah di dalam shalat

12 tahun yang lalu
baca 5 menit

Banyak dari orang-orang yang mulai sadar akan pentingnya shalat masih mengabaikan perkara thuma’ninah di dalam shalat. Padahal hanya dengan thuma’ninah seseorang bisa khusyu’. Dan mustahil kekhusyu’an bisa tercapai dengan ketergesa-gesaan. Karena setiap kali bertambah thuma’ninah seseorang, maka bertambah pula kekhusyu’annya dan setiap kali berkurang thuma’ninah-nya maka bertambahlah ketergesa-gesaannya, sehingga jadilah gerakan kedua tangannya seperti sesuatu yang sia-sia yang tidak diiringi dengan kekhusyu’an. Dan Allah  telah memuji hamba-hamba-Nya yang khusyu’ di dalam shalatnya,
{قَدْ أَفْلَحَ المُؤْمِنُونَ الذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِم خَاشِعُونَ} (المؤمنون: 1-2)
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman ( yaitu) mereka yang khusyu’ di dalam shalat mereka” (Qs. Al Mu’minun; 1-2).
Tapi alangkah banyaknya kaum muslimin yang melalaikan hal ini. Tidaklah kita dapati kebanyakan mereka kecuali telah menyia-nyiakan shalat, menyia-nyiakan rukun-rukunnya, dan meninggalkan thuma’ninah di dalamnya. Ini adalah perkara yang sangat menyedihkan.
Sungguh manusia telah menyia-nyiakan shalat sejak zaman Anas bin Malik Radhiyallahu ’anhu. Disebutkan dalam Shahih Al Bukhari dari Al Imam Az-Zuhri, beliau berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik Radhiyallahu ’anhu di Damaskus dan ketika itu ia sedang menangis. Maka aku bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis? Ia menjawab, “Aku tidak mengetahui sedikit pun dari apa yang dahulu aku dapati kecuali shalat ini, dan shalat ini telah disia-siakan”. Dan dalam riwayat yang lain, Anas Radhiyallahu ’anhu berkata, “(Sekarang ini) aku tidak mengetahui sedikit pun dari apa yang dahulu ada pada zaman Rasulullah ”. Kemudian seseorang berkata, “Bagaimana dengan shalat?” Ia menjawab, “Bukankah kalian telah menyia-nyiakannya?!”
Karena itu tidaklah kita dapati kebanyakkan mereka shalat kecuali dengan mematuk. Dan tidaklah mereka berlalu dalam shalat kecuali seperti berlalunya anak panah. Inilah adalah musibah besar bagi umat ini. Kalau kita menyaksikan bagaimana mereka shalat, kita akan dapati penyelisihan-penyelisihan yang sangat banyak terhadap petunjuk Nabi  di dalam shalatnya. Mereka mempercepat bacaan Al-Fatihah hingga tidak mungkin bagi ma’mum untuk membacanya dengan thuma’ninah dan tadabbur. Kejadian seperti ini banyak kita temui dalam shalat sirr atau dalam dua rakaat terakhir dari shalat jahr. Begitu pula di saat ruku’ dan sujud padahal dalam sabdanya Rasulullah  berkata, “Allah tidak melihat hambanya yang tidak menegakkan punggungnya diantara ruku’nya dan sujudnya” HR. Ahmad dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani Rahimahullah Shahih At-Targhib Wattarhib.
Dan dalam hadits yang lain, beliau  bersabda, “Seburuk-buruknya pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya.” Berkata Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu, “Bagaimana dia mencuri shalatnya?” Beliau bersabda, “Dia tidak menyempurnakan ruku’nya dan sujudnya” HR. Ath-Thabrani dan lain-lain dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al Albani Rahimahullah dalam Shahih At-Targhib Wattarhib.
Dan beliau  juga bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar shalat selama enam puluh tahun akan tetapi tidak diterima shalatnya. Bisa jadi dia menyempurnakan ruku’nya tetapi tidak menyempurnakan sujudnya dan bisa jadi dia menyempurnakan sujudnya tetapi tidak menyempurnakan ruku’nya” HR. Abul Qasim Al Asbahani dan dihasankankan oleh Asy Syaikh Al Albani Rahimahullah dalam Shahih At-Targhib Wattarhib.
Apa yang beliau  sabdakan diatas, seperti itu pulalah kondisi ummatnya saat ini. Adapun shalat beliau , adalah seperti yang diriwayatkan dari Al Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu ’anhu bahwasanya ia berkata, “Saya shalat bersama Rasulullah  maka saya dapati berdirinya, ruku’nya, ‘itidalnya setelah ruku’, sujudnya, duduknya diantara dua sujud, sujudnya, dan duduknya sebelum salam dan pergi (temponya) hampir sama.” Muttafaqun ‘Alaihi.
Demikianlah Nabi kita  kalau shalat. Rukunya, i’tidalnya, sujudnya temponya hampir sama, yaitu tidak ada perbedaan yang mencolok sehingga yang satu lebih panjang dari yang lainnya, sebagaimana hal ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang As-Sunnah. Dan demikian pula petunjuk Nabi  di dalam dua rukun i’tidal (i’tidal setelah ruku’ dan duduk diantara dua sujud) menyelisihi perbuatan kebanyakan manusia pada zaman sekarang. Telah datang hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Anas bin Malik Radhiyallahu ’anhu, ia berkata, “Saya tidak pernah shalat dibelakang seseorangpun yang lebih ringkas dan sempurna shalatnya dibandingkan Rasulullah , Dahulu Rasulullah  apabila membaca “Sami’allahu liman hamidah” beliau berdiri (lama) hingga kami berkata, “Beliau telah salah” kemudian beliau bertakbir dan sujud dan beliau duduk diantara dua sujud (lama) hingga kami berkata, “beliau telah salah”.
Dan memanjangkan i’tidal dan duduk diantara dua sujud adalah termasuk dari sunnah-sunnah Nabi kita  yang telah ditinggalkan sejak terputusnya zaman shahabat Radhiyallahu ’anhu hingga zaman kita sekarang ini.
Berdasarkan penjelasan tadi kita mengetahui bahwasanya kadar tasbih dalam ruku’, sujud, dan rukun lainnya, tidak terbatas dengan tiga tasbih saja. Dan hadits yang menerangkan bahwasanya Nabi  bertasbih dengan tiga tasbih keshahihannya diperselisihkan oleh ulama. Asy Syaikh ‘Abdullah al Mar’ii Hafidzahullah menjelaskan tentang hal tersebut, “Yang populer di kalangan manusia bahwa tasbih dalam ruku’ dan sujud dibatasi dengan tiga tasbih saja, tidak ada dalil yang shahih dan jelas yang mengikatnya dengan bilangan ini” Dan Ibnul Qayyim Rahimahullah juga menjelaskan hal yang sama di dalam kitabnya Ash-shalat wa Hukmu Tarikiha. Dan kalau pun kita anggap haditsnya shahih, Nabi  tidak membacanya dengan tergesa-gesa tanpa tadabbur dan khusyu’ seperti yang banyak dilakukan oleh ummatnya sekarang.
Sebagai kesimpulan berkata Syaikh Abdullah Al Mar’ii Hafidzahullah, “Yang benar dalam hal ini adalah tergantung bacaan (seseorang di dalam shalat). Kalau bacaannya panjang, ruku’ dan sujudnya juga panjang”. Kemudian beliau Hafidzahullah melanjutkan, “Yang dimaksud (temponya) hampir sama, bahwa tambahan bacaan menuntut adanya tambahan tasbih dan pengurangan bacaan menuntut adanya pengurangan tasbih”
Sesungguhnya penyelisihan manusia terhadap petunjuk Nabi  di dalam shalat teramat banyak sekali. Karena itu penting bagi kita untuk mengingat-ingat ucapan Imam Ahlus Sunnah Al Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah, “Sesungguhnya bagian seseorang di dalam Islam adalah sesuai kadar perhatian mereka terhadap shalat, dan kecintaan mereka kepada Islam adalah sesuai kadar kecintaan mereka kepada shalat. Maka kenalilah dirimu wahai hamba Allah! Hati-hatilah jangan sampai engkau bertemu dengan Allah  sedangkan tidak ada kadar keislaman di sisimu! Karena sesungguhnya kadar keislaman di dalam hatimu sesuai dengan kadar shalat di dalam hatimu”. Wallahua’lam bis Shawaab.

Sumber:
Majalah As-Salaam, Depok

Oleh:
Admin