(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari)
Membaca al-Fatihah Wajib bagi Imam, Makmum, dan Orang yang Shalat Sendirian
Surah al-Fatihah wajib dibaca oleh imam, makmum, dan munfarid (orang yang shalat sendirian), baik shalat yang dilakukan itu dalam bacaannya sirr maupun jahr. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu berikut.
كُنَّا خَلْفَ رَسُوْلِ الله فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ فَقَرَأَ رَسُولُ الله فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ فَلَمَّا فَرِغَ، قَالَ: لَعَلَّكُمْ تَقْرَؤُوْنَ خَلْفَ إِمَامِكُمْ؟ قُلْنَا: نَعَمْ هَذًّا يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: لاَ تَفْعَلُوا إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يَقْرَأُ بِهَا
“Kami pernah shalat fajar di belakang RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca bacaan. Lantas tampak sulit bacaan beliau. Setelah selesai shalat, beliau bertanya, ‘Tampaknya di antara kalian ada yang membaca di belakang imam kalian?’ Kami menjawab, ‘Ya, kami melakukannya, wahai Rasulullah.’ Beliau pun bersabda, ‘Jangan kalian lakukan hal itu, kecuali pada Fatihatul Kitab, karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya’.” (HR. Ahmad 5/316, Abu Dawud no. 823, at-Tirmidzi no. 31, dan Ibnu Hibban no. 1785. Al-Bukhari mensahihkannya dalam Juz Qira’ah Khalfal Imam dan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla [2/266]. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam at-Talkhis [1/379] mengatakan, “Disahihkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi.”)
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengabarkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ بِوَجْهِهِ فَقَالَ: أَتَقْرَءُوْنَ فيِ صَلاَتِكُمْ خَلْفَ الْإِمَامِ وَالْإِمَامُ يَقْرَأُ؟ فَسَكَتُوْا، فَقَالَهَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. فَقَالَ قَائِلٌ وَقَالَ قَائِلُوْنَ: إِنَّا لَنَفْعَلُ. قَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوْا، لِيَقْرَأْ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فِي نَفْسِهَ
Bahwasanya RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami para sahabat beliau. Tatkala selesai shalat, beliau menghadapkan wajah beliau kepada mereka seraya berkata, “Apakah kalian membaca bacaan Al-Qur’an dalam shalat kalian di belakang imam dalam keadaan imam sedang membaca?” Mereka terdiam. Beliau mengucapkan kalimat ini tiga kali, maka berkatalah seseorang dan berkatalah orang-orang, “Sungguh kami melakukannya.” Beliau berkata, “Jangan kalian lakukan hal tersebut. Hendaklah salah seorang dari kalian membaca Fatihatul Kitab dalam hatinya /untuknya sendiri.” (HR. Abu Ya’la 5/87. Guru kami, asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i rahimahullah, menyatakan dalam al-Jami’ ash-Shahih 2/97, “Hadits ini hasan.”)
Hadits-hadits di atas dan yang semakna dengannya menunjukkan wajibnya membaca al-Fatihah bagi imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun sebagian hadits yang berseberangan dengan hadits di atas dinyatakan oleh kebanyakan ulama hadits sebagai hadits yang ma’lul (berpenyakit) ataupun syadz (ganjil/menyelisihi periwayatan orang yang lebih tsiqah). Walaupun menurut sebagian ulama yang lain, hadits-hadits tersebut bisa dikuatkan sehingga menjadi hujjah di sisi mereka. Di antaranya seperti hadits Abu Qilabah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الْإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ
“Siapa yang memiliki imam maka bacaan imam adalah bacaannya.” (HR. al-Baihaqi dalam al-Kubra 2/160, ad-Daraquthni 1/323 & 326, dan selainnya)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits di atas memiliki dua illat (penyakit).
Pertama: Syu’bah, ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Abu Awanah, dan sekelompok penghafal hadits meriwayatkannya dari Musa bin Abi Aisyah, dari Abdullah bin Syaddad secara mursal.
Kedua: Hadits ini tidak sahih secara marfu’ (tidak sahih sampainya kepada Nabi n). Yang dikenal, hadits ini mauquf (terhenti hingga sahabat). (Jami’ul Fiqh Ibnil Qayyim, 2/293)
Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam at-Talkhish (1/380), “Hadits ini memiliki beberapa jalan dari sekelompok sahabat, namun semuanya ma’lulah/berpenyakit.
Adapun hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan sahabat lalu menerangkan kepada mereka tentang sunnah mereka serta mengajarkan shalat kepada mereka, lantas beliau bersabda:
إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ ثُمَّ لِيُؤَمَّكُمْ أُحَدُكُمْ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا، وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
“Apabila kalian shalat maka tegakkan/luruskan shaf-shaf kalian, kemudian hendaknya salah seorang dari kalian mengimami. Bila imam itu bertakbir maka bertakbirlah kalian dan bila ia membaca (al-Fatihah) maka diamlah.” (HR. Muslim no. 903)
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, tambahan lafadz وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا diperselisihkan kesahihannya oleh para penghafal hadits. Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubra dari Abu Dawud as-Sijistani bahwa lafadz ini tidaklah mahfuzh. Demikian pula al-Baihaqi meriwayatkannya dari Yahya bin Ma’in, Abu Hatim ar-Razi, ad-Daraquthni, dan al-Hafizh Abu Ali an-Naisaburi, guru al-Hakim Abu Abdillah. Al-Baihaqi mengatakan, “Abu Ali al-Hafizh berkata, ‘Lafadz ini tidaklah mahfuzh.’ Sulaiman at-Taimi telah menyelisihi seluruh murid Qatadah. Sepakatnya para penghafal tersebut dalam mendhaifkan tambahan itu lebih dikedepankan daripada pensahihan al-Imam Muslim.” (al-Minhaj, 4/343—344)
Guru kami, asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i rahimahullah, mengatakan, “Urusannya sebagaimana yang dikatakan oleh para penghafal hadits tentang lafadz tambahan tersebut, seperti yang dinukilkan an-Nawawi dari mereka—semoga Allah Subhanahu wa ta’ala merahmati mereka—, yaitu bahwa Sulaiman at-Taimi telah syadz (ganjil/bersendiri) dalam tambahan tersebut. Wallahu a’lam.” (al-Ilzamat wat Tatabbu’ lil Imam ad-Daraquthni, Dirasah wa Tahqiq, asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i, hlm. 171)
Perbedaan ini bisa kita simpulkan secara ringkas menjadi tiga pendapat.
1. Hukumnya wajib atas setiap orang yang shalat, baik sebagai imam, makmum maupun shalat sendirian, baik dalam shalat sirriyah maupun jahriyah.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.”
Asal peniadaan ini adalah peniadaan sahnya shalat, bukan peniadaan kesempurnaan shalat. Artinya, shalatnya tidak sah. Ini adalah mazhab al-Imam asy-Syafi’i, Ibnu Hazm, al-Imam al-Bukhari, dan ahli hadits selain beliau. Bahkan, al-Imam al-Bukhari rahimahullah dan al-Imam al-Baihaqi rahimahullah membuat tulisan khusus untuk menguatkan pendapat ini. Mereka memberinya judul al-Qira’ah Khalfal Imam. Pendapat ini dipegangi juga oleh sebagian imam dakwah di masa ini, seperti al-Imam Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz, al-Imam Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin, guru kami yang mulia al-Imam asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i, dan yang lainnya—semoga Allah Subhanahu wa ta’ala merahmati mereka semuanya—. Ini adalah makna yang tampak dari hadits-hadits yang ada.
Akan tetapi, dalam masalah makmum yang masbuk (terlambat) mereka terbagi menjadi dua pandangan sebagaimana akan diterangkan, insya Allah.
(al-Muhalla 2/266—273, asy-Syarhul Kabir 1/491—493, at-Tahdzib 2/98—99, al-Majmu’ 3/285, asy-Syarhul Mumti’ 3/296-302)
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, mudah-mudahan kalian mendapatkan rahmat.” (al-A’raf: 204)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَتُهُ لَهُ قِرَاءَةٌ
“Barangsiapa memiliki imam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya.”
(al-Kafi fi Fiqhil Imam Ahmad ibni Hanbal 1/156—157, Bada’iush Shana’i 1/358—359, al-Mabsuth 1/183—184, Syarhu Ma’anil Atsar 1/278—285)
Pendapat ini juga dipegangi oleh beberapa imam dakwah di masa ini, seperti al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, asy-Syaikh al-Imam Muhammad ibnu Ibrahim Alu asy-Syaikh, asy-Syaikh Abdur Rahman ibnu Nashir as-Sa’di, dan yang lainnya—semoga Allah Subhanahu wa ta’ala merahmati mereka semuanya—.
(al-Mudawwanah 1/163—160, Mawahibul Jalil 1/518, at-Tamhid 3/173—198, Hasyiatul ‘Adawi 1/228)
Namun, yang rajih sebagaimana yang telah disebutkan, adalah membaca al-Fatihah wajib bagi imam, makmum dan munfarid, baik dalam shalat sirriyah maupun jahriyah, kecuali masbuk. Seandainya tidak ada hadits Ubadah ibnush Shamit radhiallahu ‘anhu yang dibawakan di atas [1] niscaya pendapat yang kuat adalah yang membedakan atau merinci antara shalat sirriyah dan jahriyah, sehingga apabila seorang makmum telah mendengar bacaan al-Fatihah dari imamnya maka gugur kewajibannya membaca al-Fatihah, karena dia mendengarkan dan mengaminkan. Namun kita tidak bisa memegangi pendapat ini karena ada hadits Ubadah radhiallahu ‘anhu yang merupakan nash dalam masalah ini. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 2/70)
(insya Allah bersambung)
Sumber : asysyariah.com
[1] Yaitu hadits:
كُنَّا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ فَقَرَأ َ رَسُولُ اللهِ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ فَلَمَّا فَرِغَ، قَالَ : لَعَلَّكُمْ تَقْرَؤُوْنَ خَلْفَ إِمَامِكُمْ؟ قُلْنَا : نَعَمْ هَذًّا يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: لاَ تَفْعَلُوا إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يَقْرَأُ بِهَا
Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaihi disebutkan dengan lafadz:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Ummul Qur’an (al-Fatihah).”