Di tulis Oleh Al Ustadz Abu utsman Kharisman
Berikut ini akan dijelaskan tentang sunnah-sunnah berkaitan dengan hari Iedul Fithri.
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Bahwasanya Abdullah bin Umar mandi pada hari Iedul Fithri sebelum berangkat ke musholla (tanah lapang tempat sholat Ied)(H.R Malik dalam al-Muwattha’)
Al-Imam anNawawi menjelaskan kesepakatan para Ulama tentang disunnahkannya mandi sebelum berangkat sholat Ied.
Sebelum berangkat sholat Iedul Fithri disunnahkan untuk makan ringan terlebih dahulu. Seperti makan beberapa butir kurma yang ganjil.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ .. وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
Dari Anas bin Malik -radhiyallahu anhu- beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tidaklah keluar di pagi hari Fithri sampai beliau makan terlebih dahulu beberapa kurma…beliau makan dalam jumlah ganjil (H.R alBukhari)
Sedangkan pada Iedul Adha, sebelum berangkat justru disunnahkan untuk tidak makan atau minum apapun terlebih dahulu.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلاَ يَطْعَمُ يَوْمَ اْلأَضْحَى حَتَّى يُصلِّيَ
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya beliau berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam tidaklah keluar pada hari Iedul Fithri sampai makan (terlebih dahulu) dan tidak makan pada hari Iedul Adha sampai sholat (H.R atTirmidzi, dishahihkan al-Hakim dan disepakati adz-Dzahaby dan al-Albany)
Disunnahkan berhias dan berpakaian baik di hari Ied. Sebagaimana hal itu sudah dikenal di masa Sahabat. Umar bin al-Khottob pernah mengambil sebuah jubah dari sutera kemudian menunjukkan pada Nabi seraya berkata: Belilah ini agar anda bisa pakai saat Ied atau menerima utusan.Tapi Nabi menyatakan kepada Umar: Itu (pakaian sutera) adalah pakaian bagi (laki-laki) yang tidak mendapatkan bagian akhirat(H.R alBukhari no 948).
Nabi tidak mengingkari Umar tentang berpakaian baik di hari Ied, namun yang beliau ingkari adalah bahwa pakaian yang ditawarkan itu (sutera) haram dipakai oleh muslim laki-laki di dunia.
Takbir terkait hari raya Iedul Fithri dimulai dari sejak dipastikan masuknya malam Syawwal hingga Imam bersiap akan sholat Ied.
Hal ini sesuai dengan ayat al-Quran terkait puasa :
…وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
…dan bertakbirlah (mengagungkan kebesaran) Allah atas petunjukNya kepada kalian dan agar kalian bersyukur (Q.S al-Baqoroh:185)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي َاللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ يَوْمَ الْعِيْدِ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى ، وَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ اْلِإمَامُ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwasanya beliau bertakbir pada hari Ied (Iedul Fithri) sampai tiba di musholla (tanah lapang Ied) dan bertakbir hingga datangnya Imam (akan dilaksanakan sholat Ied)(H.R al-Firyaabi dalam Ahkaamul Ied no 43)
Ucapan takbir dikumandangkan dengan tahmid, tahlil, dan dzikir lain. Tidak ada lafadz khusus dari Nabi shollallahu alaihi wasallam. Hanya disebutkan dalam beberapa ucapan Sahabat Nabi, seperti Ibnu Mas’ud membaca:
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah. Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi Allahlah pujian (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf)
Sedangkan Ibnu Abbas mengucapkan:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا اللَّهُ ، أَكْبَرُ كَبِيرًا اللَّهُ ، أَكْبَرُ وَأَجَلُّ ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Allah Maha Besar dengan kebesaran yang mutlak, Allah Maha Besar dengan kebesaran yang mutlak. Allah Maha Besar dan Maha Mulya. Allah Maha Besar, baginyalah pujian (riwayat Ibnu Abi Syaibah)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma beliau berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam pada hari Ied menempuh jalan yang berbeda (berangkat dan pulangnya)(H.R al-Bukhari)
عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْر قَالَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا الْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيْدِ يَقُوْلُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
Dari Jubair bin Nufair beliau berkata: Para Sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika saling bertemu akan saling berkata satu sama lain: Taqobbalallaahu minnaa wa minka (semoga Allah menerima amal kita)(H.R al-Muhamili dinyatakan sanadnya hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/446)).
Para Ulama’ berbeda pendapat tentang hukum sholat Ied.
Pendapat pertama: wajib
Ini adalah pendapat Ulama’ Hanafiyah(pengikut al-Imam Abu Hanifah).
Alasan Ulama’ yang berpendapat ini di antaranya:
1. Nabi shollallahu alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya sama sekali.
2. Nabi shollallahu alaihi wasallammemerintahkan agar semuanya keluar untuk menyaksikan pelaksanaan sholat Ied, termasuk gadis yang dalam pingitan dan wanita haid. Hanya saja wanita haid diperintahkan agak jauh dari tempat pelaksanaan sholat.
3. Jika Ied bertepatan dengan hari Jumat, dan seseorang laki-laki telah ikut sholat Ied, tidak wajib baginya untuk sholat Jumat di hari itu. Tidak mungkin sesuatu yang wajib bisa digugurkan kewajibannya kecuali dengan yang wajib juga.
Pendapat ini juga didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh Bin Baz, dan Syaikh Ibnu Utsaimin.
Pendapat Kedua: Sunnah Muakkadah
Ini adalah pendapat Ulama’ Syafiiyyah danMaalikiyyah. Dalil mereka adalah: ketika datang seorang Arab badui datang kepada Nabi dan bertanya tentang kewajiban-kewajiban dalam Islam, Nabi menjelaskan kewajiban-kewajiban dalam Islam, termasuk sholat wajib (5 waktu). Kemudian orang itu bertanya: Apakah masih ada lagi yang wajib untukku? Nabi menyatakan: Tidak. Kecuali sholat yang sunnah saja.
Pendapat Ketiga: Fardlu Kifayah
Ini adalah pendapat Ulama’ Hanabilah.
Dalilnya adalah firman Allah dalam surat al-Kautsar ayat 2
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
Dari Jabir bin Abdillah -radhiyallahu anhuma- beliau berkata: Saya ikut sholat Ied bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Beliau memulai dengan sholat sebelum khutbah tanpa adzan dan iqomat (H.R Muslim no 1467)
Sholat Ied 2 rokaat, sesuai dengan hadits:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْأَضْحَى رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Umar radhiyallahu anhu beliau berkata: sholat safar dua rokaat, sholat Iedul Adha dua rokaat, sholat Iedul Fithri dua rokaat, sholat Jumat dua rokaat, secara sempurna bukan diringkas. Sesuai berdasarkan lisan Muhammad shollallahu alaihi wasallam (H.R anNasaai, Ibnu Majah, Ahmad, dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
dari Ibnu Umar -radhiyallahu anhuma- beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, Abu Bakr, dan Umar radhiyallahu anhuma sholat dua Ied sebelum khutbah (H.R alBukhari dan Muslim)
Setelah takbiratul ihram membaca 6 takbir di rokaat pertama dan 5 takbir di rokaat kedua. Hukum takbir tambahan tersebut adalah sunnah, bukan rukun atau kewajiban dalam sholat (Fataawa Nuurun alad Darb libni Utsaimin (189/1)).
Ada banyak riwayat dari para Sahabat Nabi yang menunjukkan bermacam-macam jumlah takbir tambahan tersebut pada tiap rokaatnya.
1. Total takbir tambahan : 11 takbir. Rokaat pertama: 6, rokaat kedua:5.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ؛ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدِ ، فِي الأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ بِتَكْبِيرَةِ الافْتِتَاحِ ، وَفِي الآخِرَةِ سِتًّا بِتَكْبِيرَةِ الرَّكْعَةِ ، كُلُّهُنَّ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ
Dari Ibnu Abbas bahwasanya beliau bertakbir dalam (sholat) Ied pada rokaat pertama 7 takbir termasuk takbir permulaan dan di rokaat terakhir 6 takbir dengan takbir rokaat. Semuanya sebelum membaca (al-Fatihah)(riwayat Ibnu Abi Syaibah, dinyatakan oleh Syaikh al-Albany sanadnya shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim).
Ini sama dengan yang dijelaskan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fataawa Nuurun alad Darb di atas.
2. Total takbir tambahan: 12 takbir. Rokaat pertama: 7, rokaat kedua:5.
>عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى فِي الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ وَفِي الثَّانِيَةِخَمْسًا
Dari Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bertakbir di Iedul Fithri dan Iedul Adha, pada rokaat pertama 7 takbir dan rokaat kedua 5 takbir (H.R Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)
Di sini hanya disebutkan 2 jenis (jumlah takbir tambahan) yang masyhur dan shahih. Al-Imam asy-Syaukany menyebutkan 10 pendapat tentang jumlah takbir tambahan itu dalam Nailul Authar (3/366)).
Tiap takbir tambahan itu diikuti dengan mengangkat tangan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Antara takbir yang satu dengan takbir berikutnya terdapat masa jeda. Masa jeda tersebut digunakan untuk membaca pujian kepada Allah dan sholawat kepada Nabishollallahu alaihi wasallam.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُوْدٍ عَمَّا يَقُوْلُهُ بَعْدَ تَكْبِيْرَاتِ اْلعِيْدِ قَالَ ” يَحْمَدُ اللهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu beliau berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang apa yang dibaca di antara takbir Ied. Beliau (Ibnu Mas’ud) berkata: memuji dan memuja Allah dan bersholawat atas Nabi shollallahu alaihi wasallam (riwayat al-Atsram dan dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad, dishahihkan al-Albany dalam Irwaul Ghalil).
Kemudian setelah itu membaca al-Fatihah dan surat-surat lain dalam al-Quran. Disunnahkan bagi Imam untuk membaca di rokaat pertama surat Qoof dan pada rokaat kedua surat al-Qomar (H.R Muslim no 1478) atau di rokaat pertama membaca surat al-A’laa (Sabbihisma robbikal a’la) dan di rokaat kedua membaca surat al-Ghosyiyah (H.R Muslim). Jika tidak membaca surat-surat tersebut dan memilih surat yang lain juga tidak mengapa.
Setelah sholat Ied disyariatkan khutbah Ied sekali (tidak dua kali seperti dalam khutbah Jumat).
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
Dari Abu Said al-Khudry -radhiyallahu anhu- beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam keluar pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adha ke musholla (tanah lapang Ied). Pertama kali yang dilakukan adalah sholat kemudian berbalik berdiri menghadap manusia, sedangkan para manusia duduk di shaf-shaf mereka. Nabi memberikan nasehat, wasiat, dan perintah. Jika beliau mau untuk mengutus pasukan atau memerintahkan sesuatu, beliau akan lakukan, kemudian beliau berpaling (selesai dari khutbah)(H.R al-Bukhari)
Sebaiknya Imam juga menyelipkan dalam khutbah Ied-nya nasehat khusus bagi wanita. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shollallahu alaihi wasallam (Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Sholih al-Fauzan).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ حَضَرْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِنَا الْعِيدَ ثُمَّ قَالَ قَدْ قَضَيْنَا الصَّلَاةَ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
Dari Abdullah bin as-Saaib beliau berkata: Saya menghadiri Ied bersama Rasulullah shollallahu alaihi wsaallam kemudian beliau sholat Ied bersama kami, kemudian beliau bersabda: Kita telah selesai sholat (Ied). Barangsiapa yang mau duduk mendengarkan khutbah, silakan duduk dan barangsiapa yang mau pergi silakan pergi (H.R Abu Dawud, Ibnu Majah dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahaby)
Sumber : salafy.or.id