Penulis : Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullah.
Di dalam keindahan ajaran syariat Islam yang dibawa oleh Baginda Nabi Besar Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah tuntunan beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam yang sangat indah tatkala terjadi gerhana, yang merupakan peristiwa besar dalam pandangan syariat Islam. Bagaimana tidak, Pencipta matahari dan bulan memberitakan bahwa Gerhana merupakan tanda yang Dia jadikan sebagai peringatan bagi hamba-hamba-Nya akan ancaman adzab-Nya yang maha dasyat, serta peringatan akan kengerian azab kubur dan hari kiamat. Sikap takut, tunduk, dan khusyu’ benar-benar ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam ketika terjadi peristiwa tersebut.
Diantara yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bersegera melaksanakan shalat gerhana. Dengan bentuk pelahsanaan yang berbeda dari shalat-shalat lainnya, yaitu dengan memanjangkan bacaan, dua kali ruku pada setiap rakaat, dan memanjangkan ruku dan sujudnya.
Waktu Pelaksanannya
Sebagaimana pada edisi sebelumnya, pelaksanaan shalat gerhana terkait dengan ru’yah, bukan dengan hisab. Waktu pelaksanaannya terbentang mulai dari awal terjadinya gerhana, maka hendaknya bersegera melaksanakan shalat sejak awal proses gerhana, tidak perlu menunggu puncak gerhana tersebut. Waktu shalat gerhana berakhir ketika proses gerhana selesai. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila kalian melihatnya (gerhana) maka shalatlah dan berdoalah hingga tersingkap kembali.” (Muttafaqun ’alaihi). Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam memanjangkan shalat gerhana sepanjang terjadinya gerhana matahari.
Gerhana Apakah yang Disyariatkan Shalat Padanya?
Sebagaimana diketahui, gerhana matahari dan gerhana bulan ada beberapa macam, ada gerhana total, sebagian, cincin dan lain-lain. Maka semuanya disyariatkan shalat gerhana padanya.
Hukum Shalat Gerhana
Ada 2 pendapat di kalangan ulama tentang hukum shalat gerhana:
Karena merupakan perintah, maka sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih, ’perintah’ menunjukkan kepada makna wajib, kecuali apabila dalil lainnya yang memalingkan dari makna wajib kepada makna sunnah. Sedangkan dalam konteks gerhana ini tidak ada dalil lainnya. Adapun dua hadits yang dijadikan dalil oleh jumhur di atas, tidak berarti meniadakan adanya shalat-shalat lain selain shalat lima waktu yang hukumnya wajib. Karena yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam dua hadits tersebut aadalah shalat yang kewajibannya bersifat mutlak. Namun di san ada shalat-shalat lainnya yang hukumnya juga wajib karena ada sebab-sebab tertentu, mislnya shalat jenazah, shalat ’Id, shalat tahiyyatul masjid, termasuk dalam hal ini shalat gerhana.
Menurut hemat kami (penulis), alasan pendapat kedua ini cukup kuat. Bagaimana tidak, disamping adanya perintah yang sangat tegas pada hadits di atas, gerhana yang merupakan tanda peringatan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, demikian pula bagaimana sikap yang ditunjukkann oleh Rasul Shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam sangat ketakutan, sangat khusyu’, melakukan shalat yang berbeda dari shalat-shalat lainnya, kemudian beliau berkhutbah dengan khutbah yang mendalam; kondisi yang demikian menunjukkan indikasi yang sangat kuat bahwa shalat gerhana tersebut merupakan kewajiban. Sunggu suatu hal yang kontras apabila datang peringatan, namun manusia tetap di tokonya, di kantornya, di sawahnya, dan seterusnya seperti sedia kala tidak merasa ketakutan dan tidak bersegara menuju shalat.
Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin Rahimahullah berkata, ”Pendapat yang menyatakan wajib lebih kuat dibandingkan yang sunnah. Namun, wajib di sini adalah wajib (fardhu) kifayah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/ 182)
Disyariatkan Berjamaah di Masjid, Boleh Pula Sendiri-sendiri
”Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam keluar menuju masjid, beliau berdiri dan bertakbir (yakni shalat gerhana, pen) dan para makmum bershaf di belakang beliau…” (HR. Muslim no. 901)
Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan melaksanakan shalat gerhana di masjid yang dipakai juga untuk shalat jum’at…hadits ini juga menunjukkan disunnahkan melaksanakannya secara berjamaah, boleh pula dikerjakan dengan sendiri-sendiri.” (Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no. 901).
Tidak Ada Adzan dan Iqomah, Namun Diserukan ”Ash-Shalatu Jami’ah”
Berdasarkan hadits dari sahabat ’Abdullah bin ’Amr Radhiyallahu ’anhuma, ”Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasul diserukan, ”Inna ash-Shalata Jami’ah.” (HR. Al-Bukhari no. 1045) dalam lafadz lain ’Ash-Shalatu Jami’ah” (HR. Muslim no. 901). Al-Imam an_Nawawi Rahimahullah berkata, ”Disenangi untuk diserukan ’ash-shalatu Jami’ah’ pada saat gerhana, dan para ulama sepakat tidak ada adzan dan iqomah padanya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no. 901).
Makna “Ash-Shalatu Jami’ah” adalah, “Sesungguhnya shalat mengajak kalian berkumpul (maka hadirilah).” Seruan tersebut bisa diulang beberapa kali sesuai kebutuhan, terutama pada shalat gerhana bulan yang dilaksanakan pada malam hari.
Tata Cara Shalat Gerhana
Sebagaimana diketahui melalui keterangan hadits-hadits yang shahih, gerhana pada masa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam hidup terjadi hanya sekali, yaitu gerhana matahari total yang terjadi pada tahun ke-10 hijriah. Keterangan tentang cara shalat gerhana tersebut diriwayatkan dalam beberapa hadits dari beberapa sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Diantaranya, hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana, beliau melaksanakan shalat 4 kali ruku dalam 2 rakaat, dan 4 kali sujud.” (HR.Muslim no. 901)
Keterangan dari beberapa hadits tentang tata cara shalat gerhana Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bisa disimpulkan sebagai berikut:
Al-Ghazali menukil bahwa ada kesepakatan meninggalkan (amalan) memanjangkan i’tidal ini. Maka dibantah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, ”Jika yang dimaksud ’kesepakatan’ disini adalah kesepakatan madzhab, maka tidak perlu dibicarakan (karena itu tidak menjadi patokan kebenaran, pen), dan yang jelas pernyataan tersebut terbantah dengan riwayat hadits Jabir tersebut.” (Fathul Bari hadits no. 1051)
Apabila Masbuq
Dalam shalat gerhana, makmum dinyatakan kurang rakaat shalatnya apabila dia tidak mendapati ruku pertama pada rakaat pertama. Maka, setelah imam mengucapkan salam, makmum tersebut harus menambah satu rakaat dengan dua kali ruku.
Khutbah Shalat Gerhana
Disunnahkan untuk berkhutbah setelah shalat gerhana, karena Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam melakukannya. ”Setelah beliau selesai shalat, matahari telah tersingkap (dari gerhananya). Lalu beliau berkhutbah seraya memuji Allah dan menyanjung-Nya…” (HR. al-Bukhari no. 1044)
”…berkhutbah seraya memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, lalu mengatakan Amma Ba’d…” (HR. al-Bukrahi no. 1061). Keterangan hadits tersebut, di samping menunjukkan disunnahkannya khutbah setelah shalat gerhana, juga menunjukkan bahwa tetap berkhutbah meskipun gerhana telah selesai asalkan sudah selesai dari shalat gerhana. Berbeda halnya apabila gerhana telah selesai namun belum sempat melaksanakan shalat gerhana, maka ketika itu tidak ada shalat, tidak ada pula khutbah. (Lihat Fathul Bari hadits no. 1044).
Menurut asy-Syaikh al-Bassam Rahimahullah, khutnah tersebut dilakukan saat dibutuhkan sebagai peringatan dan nasihat untuk manusia, namun jika tidak dibutuhkan maka cukup dengan doa, istighfar, dan shalat tanpa khutbah. (Lihat Taisirul ’Allam 1/ 133).
Shalatnya Kaum Wanita
Kaum wanita boleh mengikuti shalat gerhana berjamaah di masjid, sebagaimana ’Aisyah dan Asma’ bintu Abi Bakr Radhiyallahu ’anhum dulu ikut melaksanakan shalat gerhana di masjid. (Lihat Hr. al-Bukhari no. 1053, Muslim no. 905, Syarh Shahih Muslim, al-Mughni III/ 322). Boleh pula mereka shalat dirumahnya masing-masing secara sendiri-sendiri. Perlu diingat, kaum wanita yang hadir berjamaah di masjid ada syarat-syarat yang sangat ketat. Diantaranya: harus menutup aurat dan berjilbab sesuai dengan syarat-syaratnya, tidak memakai wewangian, tidak berhias, tidak berbaur dengan kaum pria, dan lain-lain.
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber : Buletin Jum’at Al-Ilmu edisi 22 (Fikih) tahun 1434 H