Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

hukum meminta jabatan (2) (tulisan ke-2 dari dua tulisan

12 tahun yang lalu
baca 5 menit

Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah. Maka salah seorang dari keduanya berkata: ‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّا لا نُوَلِّي هذا مَنْ سَأَلَه وَ لاَ من حَرَصَ عليه
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Hikmah dari hal ini, kata para ulama adalah orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan orang tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah kepada Abdurrahman bin Samurah di atas: “Bila engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” Siapapun yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Dan tidak mungkin jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarah Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut, dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470)
Al-Imam An-Nawawi berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar: “Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan dapat berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih, seperti hadits: “Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya imam (pemimpin) yang adil”. Dan juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadist lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut. Rasulullah memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut.” (Syarah Shahih Muslim, 12/210-211)
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan Nabi Yusuf kepada penguasa Mesir:
اِجْعَلْنِيْ عَلَى خَزَآئِنِ الأرْضِ إِنِّي حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau ini bukan karena ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah, dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 401)
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Nabi Yusuf meminta demikian karena kepercayaan para Nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma’shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf pada waktu itu dibolehkan.” (Nailul Authar, 8/294)
Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Al-Qadhi Al-Baidhawi berkata: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)
Faedah Hadits
1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala cara untuk mendapatkannya.
2. Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku jabatan/kedudukan adalah orang yang menolak ketika diserahkan kepemimpinan, jabatan dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.
3. Kepemimpinan adalah amanah yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka wajib bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanah tersebut.
4. Keutamaan dan kemuliaan bagi seorang yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan tersebut, sama saja ia seorang pemimpin negara yang adil, ataukah bendahara yang terpercaya atau karyawan yang menguasai bidangnya.
5. Ajakan kepada mereka untuk tidak berambisi meraih kedudukan tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
6. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan semestinya., tidak memperhatikan hak orang-orang yang dipimpin dan tidak melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.

Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq AlAtsari
(Dikutip dari majalah Asy Syariah Vol I/No. 06/Maret 2004/ Muharram 1425 H, hal.40-45)