(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari)
Dalam membayar zakat ada adab-adab yang perlu diketahui serta diperhatikan demi sah dan sempurna pembayarannya. Adab-adab tersebut adalah sebagai berikut.
Zakat bukan berupa harta yang bagus, demi hak dan kepentingan pemilik harta. Bukan pula yang jelek, demi hak dan kepentingan fakir miskin serta ahli zakat lainnya. Oleh karena itu, pemilik zakat tidak boleh mengeluarkan yang jelek dan ‘amil (petugas) zakat pun tidak boleh memungut yang bagus. Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini di antaranya:
• Firman Allah [swt] :
“Janganlah kalian memilih yang buruk-buruk untuk kalian nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.” (al-Baqarah: 267)
• Hadits Ibnu ‘Abbas [ranhu] yang menyebutkan kisah Rasulullah [saw] mengutus Mu’adz bin Jabal [ranhu] ke negeri Yaman. Beliau [saw] bersabda kepadanya:
“Berhati-hatilah, jangan sampai engkau mengambil harta mereka yang istimewa. Jagalah dirimu dari doa pihak yang terzalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara dia dan Allah (untuk dikabulkan).” (Muttafaqun ‘alaih)
Berdasarkan dalil-dalil ini, zakat yang wajib dibayarkan adalah yang bernilai sedang, bukan yang jelek dan bukan pula yang bagus. Harta sendiri dikelompokkan menjadi tiga bagian: sepertiga yang bagus, sepertiga yang sedang, dan sepertiga yang jelek. Zakat dikeluarkan dari sepertiga yang sedang itu.
Namun, jika pemilik harta secara sukarela menyerahkan yang terbaik dari hartanya, zakat itu sah dan pahalanya lebih besar, karena hal itu adalah haknya dan dia rela menyerahkannya.
Zakat hewan ternak dibayarkan dalam bentuk hewan ternak yang ditetapkan oleh syariat. Zakat biji-bijian dan buah-buahan dibayarkan dalam bentuk biji-bijian dan buah-buahan yang ditetapkan oleh syariat. Pembayarannya tidak boleh diganti dengan membayarkan harganya (uang) tanpa ada tuntutan hajat dan maslahat. Syaikhul Islam [rahimahu] berfatwa dalam Majmu’ al-Fatawa (25/82—83), “Yang paling jelas dalam permasalahan ini adalah tidak boleh membayarkan zakat harta berupa harganya, tanpa ada tuntutan hajat dan maslahat yang rajihah (dominan). Oleh karena itu, Rasulullah [saw] menetapkan sistem jubran (penutup kekurangan) berupa dua ekor kambing atau dua puluh dirham1 dan beliau tidak beralih kepada pembayaran harganya.
Selain itu, jika pembayaran harga dalam bentuk uang dibolehkan secara mutlak, bisa jadi pemilik harta akan beralih ke jenis yang jelek dan mungkin akan terjadi mudarat (penyimpangan) ketika menghitung harganya. Terlebih lagi, zakat sendiri dibangun di atas asas menyantuni orang-orang yang berhajat dari kalangan “ahli” (yang berhak menerima) zakat, dengan memperhitungkan kadar harta dan jenisnya.
Adapun membayarkan harganya karena tuntutan hajat, maslahat, dan keadilan, ini tidaklah mengapa.
Misalnya, seseorang menjual hasil kebun atau sawahnya dalam bentuk uang dirham. Dalam hal ini, sah baginya mengeluarkan zakatnya sebesar sepersepuluh dari harga hasil kebun/sawah tersebut tanpa harus membeli buah-buahan atau biji-bijian (yang serupa) untuk mengeluarkan zakatnya dalam bentuk buah-buahan atau biji-bijian, karena dengan membayarkan harganya dia telah menyamakan dirinya dengan fakir miskin dalam menikmati hartanya. Al-Imam Ahmad [rahimahu] telah menegaskan bolehnya hal ini.
Contoh lainnya, seseorang terkena kewajiban zakat seekor kambing dari lima ekor unta dan tidak ada seorang pun yang menjual kambing untuk dibelinya. Sah baginya dalam hal ini untuk membayarkan harganya saja dan dia tidak dibebani melakukan safar ke daerah lain untuk mencari kambing yang bisa dibelinya.
Contoh berikutnya, ahli zakat (yang berhak menerima zakat) meminta agar mereka diberi zakat berupa harganya, karena itu lebih bermanfaat bagi mereka; atau petugas zakat yang memandang bahwa pembayaran dengan uang lebih bermanfaat bagi mereka. Dia pun membayarkannya kepada mereka dalam bentuk harganya.”
Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin [rahimahu] juga memfatwakan hal ini dalam Majmu’ ar-Rasa’il (18/67—68).
Yang dikenal dalam mazhab Malik dan asy-Syafi’i, pembayaran zakat dengan harganya, tidak boleh. Adapun Abu Hanifah berpendapat boleh. Wallahu a’lam.
Masalah: Apakah sah pembayaran zakat emas dan perak dengan uang senilainya?
Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz [rahimahu] berfatwa dalam Fatawa al-Lajnah (9/259—260), “Tidak mengapa mengeluarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang yang senilai dengan harganya pada waktu sempurnanya haul. Hal ini karena emas, perak, dan uang memiliki kesamaan sebagai satuan harga dalam menilai suatu barang/harta.”
Maksudnya, pada masa Rasulullah [saw] harga suatu barang/harta dinilai dengan dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak). Pada masa ini, kedudukan dinar dan dirham digantikan oleh mata uang-mata uang yang ada. Berarti, pada hakikatnya emas, perak, dan mata uang yang ada memiliki kesamaan sebagai nilai/harga untuk menilai suatu harta/barang. Itulah sebabnya dibolehkan zakat emas dan perak dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan harga emas dan perak saat pembayaran zakat itu.
Barang siapa menundanya tanpa sebab yang bisa ditolerir, dia berdosa. Dalilnya adalah kaidah, “Hukum asal setiap kewajiban yang diperintahkan harus segera dilaksanakan tanpa menundanya.” Kaidah ini didukung oleh sekian banyak dalil. Demikian pula tinjauan makna dan fungsi zakat menuntut untuk segera dibayarkan tanpa menundanya, sebab terkait dengan kebutuhan ahli zakat (penerima zakat). Penundaan pembayaran zakat akan mengakibatkan telantarnya kebutuhan ahli zakat. Ini adalah mazhab Ahmad, asy-Syafi’i, Malik, dan jumhur (mayoritas) ulama. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/186—187) dan difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz dalam Fatawa al-Lajnah (9/393, 395, 398).
Contoh aplikasi adab ini adalah fatwa al-Imam Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/187) dan Majmu’ ar-Rasa’il (18/522, 138). Disebutkan di sana, jika seorang wanita terkena kewajiban zakat perhiasan (emas atau perak) dan dia tidak memiliki harta lainnya untuk pembayaran zakatnya, dia wajib membayarkan zakatnya dengan mengeluarkan sebagian dari perhiasannya itu, atau menjual sebagian perhiasannya senilai zakat yang wajib dikeluarkannya, kemudian membayarkan zakatnya dalam bentuk uang. Jika ada salah satu kerabat atau suaminya bermaksud membayarkan zakat tersebut untuknya dan wanita itu rela dibayarkan, hukumnya sah. Demikian pula fatwa al-Imam Ibnu Baz [rahimahu] dalam Majmu’ al-Fatawa (14/96).
Masalah: Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang terkena kewajiban zakat setiap tahun dan dia belum membayarkannya untuk jangka waktu beberapa tahun?
Ibnu ‘Utsaimin [rahimahu] dalam Majmu’ ar-Rasa’il (18/296, 302—303) dan al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz dalam Fatawa al-Lajnah (9/395) memfatwakan bahwa dia wajib untuk bertobat kepada Allah [swt] atas kesalahannya menunda pembayaran zakatnya berikut tidak membayarkannya hingga beberapa tahun. Di samping itu, dia wajib segera membayarkan seluruh zakat yang masih ada di tangannya dan menyerahkannya kepada pihak-pihak yang berhak menerima zakat.
Oleh karena itu, hendaklah dia berijtihad (bersungguh-sungguh), menghitung semampunya kadar zakat tersebut jika dia tidak mengetahuinya secara pasti. Dan tidak ada udzur (pemaafan) baginya selama dia hidup di tengah-tengah kaum muslimin, karena kewajiban zakat telah umum dipahami oleh kaum muslimin. Seharusnya dia bertanya kepada orang yang berilmu.
Diperbolehkan memajukan waktu pembayaran zakat suatu harta yang mencapai nishab sebelum waktunya tiba. Dalilnya adalah rukhsah (keringanan) yang diberikan oleh Rasulullah [saw] kepada al-’Abbas [ranhu] yang akan kami sebutkan. Hal ini menjadi semakin kuat dengan tinjauan makna bahwa penetapan waktu pembayaran zakat di akhir haul adalah demi melapangkan pemilik zakat, sebagaimana halnya pembayaran zakat hasil tanaman yang wajib dilakukan saat panen, tanpa persyaratan haul. Jika pemilik zakat ingin membayarkannya sebelum haul sempurna, hal itu adalah pilihannya sendiri agar lebih berhati-hati. Ini adalah mazhab Ahmad, asy-Syafi’i, Abu Hanifah, dan jumhur ulama. Berbeda dengan Malik, Ibnu Hazm, dan Ibnul Mundzir yang berpendapat bahwa pembayaran zakat tidak boleh dimajukan.
Namun, boleh jadi yang lebih afdhal adalah memajukan pembayarannya jika ada hajat dan maslahat yang menuntut untuk dimajukan, seperti memenuhi kebutuhan kerabat fakir-miskin yang mendesak, kebutuhan para mujahid yang sedang berjihad di jalan Allah [swt], dan yang semisalnya.
Akan tetapi, ada perbedaan pendapat di antara jumhur, apakah hanya boleh dimajukan untuk periode setahun ke depan, dua tahun ke depan, atau lebih dari itu?
Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz memfatwakan bolehnya dimajukan untuk periode dua tahun ke depan. Pendapat ini didukung oleh hadits ‘Ali bin Abi Thalib [ranhu] bahwa Rasulullah [saw] memberi rukhsah (keringanan) kepada al-’Abbas [ranhu], paman beliau, untuk menyegerakan pembayaran zakatnya dua tahun sebelum waktunya tiba. Hadits ini dikeluarkan oleh al-Baihaqi. Pada sanadnya ada kelemahan, namun menjadi kuat dengan syawahid (penguat-penguat) yang semakna. Oleh karena itu, dihasankan oleh al-Imam al-Albani [rahimahu] dalam al-Irwa’ (no. 857).
Pendapat yang terkuat adalah boleh dimajukan untuk periode dua tahun ke depan dan tidak boleh lebih dari itu, karena hal itu adalah rukhshah (keringanan), sedangkan batas keringanan yang ditetapkan dalam syariat tidak boleh dilampaui.
Adapun memajukan pengeluaran zakat harta yang tidak mencapai nishab, ulama bersepakat bahwa hal itu tidak boleh. Alasannya, nishab adalah sebab (faktor) yang menjadikan suatu harta terkena kewajiban zakat. Jika sebab (faktor) tersebut tidak ada, pada asalnya harta itu tidak terkena kewajiban zakat.
Dengan demikian, jika memajukan pembayarannya untuk periode setahun berkonsekuensi mengurangi harta dari nishab untuk periode tahun berikutnya, pembayarannya tidak boleh dimajukan lebih dari setahun. Misalnya, seseorang memiliki empat puluh ekor kambing. Dia memajukan pembayaran zakatnya untuk dua periode haul ke depan dengan mengeluarkan dua ekor kambing lain, bukan dari empat puluh ekor tersebut yang merupakan nishab. Hal ini dibolehkan. Jika dia bermaksud mengeluarkan dua ekor yang salah satunya dari nishab yang ada, hal itu dibolehkan untuk periode setahun ke depan namun tidak untuk periode dua tahun berikutnya. Alasannya, dengan mengeluarkan salah satunya dari nishab berarti kambingnya tersisa 39 ekor, dan jumlah ini tidak mencapai nishab.
An-Nawawi [rahimahu] menerangkan dalam al-Majmu’ (5/302) bahwa jika walinya tidak menunaikan kewajiban tersebut, maka anak itu—setelah baligh—dan orang gila itu—jika telah sembuh dari gilanya—wajib mengeluarkan seluruh kewajiban zakat hartanya yang belum dikeluarkan.
Pendapat inilah yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz dan dirajihkan (dikuatkan) oleh Ibnu ‘Utsaimin. Oleh karena itu, orang yang mengeluarkan zakat wajib berniat mengeluarkan zakat hartanya dan meniatkan jenis zakat harta yang dikeluarkannya, apakah zakat emas, perak, uang, hewan ternak, atau jenis zakat harta lainnya. Jika dia adalah wali anak yang belum baligh dan orang gila, dia harus meniatkannya untuk pembayaran zakat keduanya.
Hal itu karena pengeluaran harta dilakukan dengan niat dan maksud yang berbeda-beda. Ada yang mengeluarkannya dengan niat sebagai zakat yang wajib, sedekah, hadiah, hibah, pembayaran ganti rugi, atau maksud lainnya. Maka dari itu, yang membedakan antara satu dan yang lainnya adalah niat. Dalilnya adalah keumuman hadits ‘Umar bin al-Khaththab z, bahwa Rasulullah [saw] bersabda:
“Hanyalah setiap amalan itu dikerjakan dengan niat dan hanyalah setiap pelaku amalan dibalasi sesuai niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
• Dilakukan sendiri oleh pemilik zakat.
• Diwakilkan kepada orang yang tepercaya, dengan cara memberikan zakat itu kepadanya untuk dibagikan, atau meminta agar wakil tersebut mengeluarkannya terlebih dahulu dari hartanya. Wakil yang diamanahi tidak boleh mengambil inisiatif sendiri dalam pembagian zakat tersebut.
Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin dalam Majmu’ ar-Rasa’il (18/311) ditanya tentang hukum seorang fakir yang dipercaya sebagai wakil untuk membagikannya kepada orang lain yang berhak, tetapi dia mengambilnya untuk dirinya sendiri.
Beliau [rahimahu] berkata, “Hal itu haram dan menyelisihi amanah, karena pemilik zakat mengamanahinya sebagai wakil untuk dibagikan kepada orang lain, namun dia mengambilnya untuk dirinya sendiri. Para ulama telah menyebutkan bahwa seorang wakil tidak boleh berinisiatif sendiri membagikan zakat yang diamanahkan kepadanya. Berdasarkan hal ini, dia wajib menjelaskan kepada pemilik zakat tersebut bahwa zakat yang diambil itu disalurkan kepada dirinya sendiri. Jika dia membolehkan maka tidak mengapa. Namun, jika dia tidak membolehkannya, dia wajib mengganti dan membagikannya kepada yang dikehendaki oleh pemilik zakat tersebut.”
Demikian pula fatwa al-Lajnah ad-Da’imah dalam Fatawa al-Lajnah (9/409—410) ketika ditanya tentang seorang wakil zakat yang diamanahi oleh pemiliknya untuk membagikannya kepada fakir-miskin dalam satu negeri, namun dia membagikannya kepada fakir miskin selain mereka.
Al-Lajnah menyatakan, “Seorang wakil zakat tidak boleh mengambil inisiatif sendiri yang menyelisihi amanah pemilik zakat. Jika wakil zakat menyelisihi amanah pemilik zakat yang memercayainya, dia wajib menggantinya (dan memberikannya kepada pihak yang dikehendaki oleh pemiliknya).”
• Diserahkan kepada amil (petugas pemungut zakat) yang diutus oleh pemerintah agar mereka membagikannya kepada yang berhak, dengan syarat pemerintah yang adil. Ada ijma’ (kesepakatan) ulama tentang sahnya menyerahkan zakat kepada pemerintah yang adil (tidak menzalimi rakyat).
Masalah: Manakah yang afdhal (lebih utama) membagikannya sendiri, diwakilkan, atau melalui pemerintah yang adil?
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
1. Zakat amwal bathinah (harta yang tersembunyi) yang lebih utama adalah membagikannya sendiri, sedangkan zakat amwal zhahirah (harta yang tampak) yang lebih utama adalah membayarkannya melalui pemerintah. Yang dimaksud amwal bathinah (harta yang tersembunyi) adalah emas, perak, uang, barang perdagangan2, dan rikaz3. Adapun amwal zhahirah (harta yang tampak) adalah hasil tanaman dan binatang ternak.
2. Membayarkannya melalui pemerintah lebih utama, baik amwal bathinah maupun amwal zhahirah.
3. Membagikannya sendiri lebih utama, baik amwal bathinah maupun amwal zhahirah. Alasannya adalah beberapa hujjah berikut.
– Pembayar zakat akan meraih pahala lelah yang dirasakannya dalam mengeluarkan zakatnya, karena hal itu adalah ibadah.
– Pembayar zakat lebih yakin bahwa dia telah menunaikan tanggung jawabnya.
– Adanya kemungkinan yang tidak diinginkan jika dibayarkan melalui pemerintah atau wakil. Misalnya, adanya kemungkinan pemerintah atau wakil meremehkan pembagiannya, kurang berhati-hati menjaganya hingga hilang/musnah, atau kemungkinan lainnya.
– Menghindari celaan masyarakat sekitarnya yang mungkin tidak mengetahui bahwa dirinya telah membayar zakat melalui pemerintah atau wakilnya. Apalagi kalau dia seorang kaya-raya yang terkenal.
Menurut kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat terakhir yang merupakan mazhab Hanabilah.
Jika tidak bisa dipastikan, pembayar zakat wajib berijtihad (menganalisis) dengan penuh kesungguhan dalam memilih dengan dugaan kuat bahwa yang diberi berhak menerima zakat.
Jika seseorang telah bersungguh-sungguh memperkirakan bahwa orang yang diberinya zakat memang berhak menerimanya, lalu di kemudian hari diketahui bahwa perkiraannya keliru, apakah hal itu sah dan dianggap telah menunaikan kewajiban membayar zakat?
Ada silang pendapat di antara ulama dalam hal ini. Yang benar hal itu sah, meskipun ternyata yang diberi adalah orang kaya, orang kafir, budak, atau Bani Hasyim, sebab dia telah bertakwa kepada Allah l semampunya dalam melaksanakan kewajiban. Allah l tidak membebani seorang hamba lebih dari kemampuannya.
Adapun jika yang diberi zakat tidak diketahui dengan pasti sebagai pihak yang berhak menerima zakat, hendaknya dia diberitahu agar dia menolaknya kalau ternyata bukan pihak yang berhak menerimanya, sehingga pemilik zakat bisa memberikannya kepada yang berhak.
Jika orang itu dinafkahi olehnya, dia tidak boleh menerima, karena jika zakat itu diberikan kepada orang tersebut, lantas hajatnya tercukupi dengan zakat itu, dengan sendirinya gugurlah kewajibannya memberi nafkah kepadanya. Berarti, pemberian zakat tersebut kepada yang dinafkahinya menggugurkan kewajibannya untuk menafkahi yang bersangkutan. Hal ini tidak boleh. Ini adalah pendapat yang dipilih Ibnu Taimiyah dan Ibnu ‘Utsaimin.
Termasuk dalam hal ini adalah lebih utama seorang istri memberikan zakat kepada suami sendiri yang berhak mendapat zakat, karena istri tidak berkewajiban menafkahi suaminya yang fakir-miskin.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum mengirim zakat ke luar negeri atau ke luar daerah pemilik zakat. Yang rajih adalah makruh mengirimnya ke luar daerah pemilik zakat jika tidak ada tuntutan hajat atau maslahat. Jika ada hajat atau maslahat yang menuntut untuk di kirim ke luar daerah pemilik zakat, hal ini diperbolehkan dan afdhal.
Misalnya, pemilik zakat memiliki kerabat fakir-miskin di daerah lain yang sangat miskin. Lebih utama dia mengirimnya kepada mereka untuk memenuhi hajat mereka dan untuk mempererat hubungan kekerabatan.
Contoh lain, jika di negeri lain ada penuntut ilmu syariat yang berhajat seperti hajat fakir-miskin yang ada di negerinya maka lebih utama mengirimnya kepada mereka. Hal itu karena kegiatan menuntut ilmu syariat berkaitan dengan maslahat Islam dan kaum muslimin secara umum. Dalilnya adalah keumuman firman Allah [swt]:
“Hanyalah sesungguhnya zakat itu untuk orang-orang fakir, miskin, …. dst.” (at-Taubah: 60)
Maksudnya, fakir-miskin di seluruh penjuru dunia. Ini pendapat yang dirajihkan oleh as-Sa’di, Ibnu ‘Utsaimin, serta yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh Ibnu Baz. Pendapat inilah yang rajih, insya Allah.
Apabila di tempat tinggalnya tidak ada penerima zakat yang berhak, dia wajib mengirimnya kepada penerima zakat yang ada di tempat lain.
Terutama jika hartanya berupa binatang ternak dan hasil tanaman yang merupakan amwal zhahirah (harta-harta yang tampak). Karena, harta itulah yang merupakan sebab/faktor wajibnya zakat dan perhatian fakir-miskin tertuju kepadanya.
Ini adalah mazhab Abu Hanifah, Ahmad, Sufyan ats-Tsauri, dan jumhur ulama. Pendapat ini yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Ibnu Qudamah, as-Sa’di, dan Ibnu ‘Utsaimin berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
1. Ayat penetapan delapan golongan ahli zakat tersebut dalam konteks menerangkan golongan-golongan yang berhak mendapat zakat, bukan konteks mewajibkan untuk dibagikan kepada mereka seluruhnya.
2. Firman Allah [swt]:
“Jika kalian menampakkan sedekah (untuk dicontoh orang lain) maka itu adalah baik sekali. Jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka hal itu lebih baik bagi kalian.” (al-Baqarah: 271)
Dalam ayat ini, terdapat dalil pengkhususan sedekah untuk golongan fakir/miskin saja, padahal kata sedekah dalam ayat ini meliputi sedekah wajib (zakat) dan sedekah sunnah.
3. Sabda Rasulullah [saw] kepada Mu’adz bin Jabal [ranhu] ketika mengutusnya ke negeri Yaman:
“Kabarkan kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan atas mereka zakat mal (harta) yang dipungut dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang fakir/miskin mereka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Abbas [ranhu])
Hadits ini menunjukkan bolehnya mengkhususkan zakat untuk golongan fakir/miskin saja.
4. Sabda Rasulullah [saw] kepada Qabishah bin Mukhariq al-Hilali [ranhu] yang datang meminta zakat untuk melunasi utangnya dalam rangka mendamaikan dua kelompok/suku yang bertikai:
“Tinggallah di sini hingga datang harta zakat kepada kami, kami akan memerintahkan untuk diberikan kepadamu.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bolehnya mengkhususkan zakat untuk satu orang saja dari golongan orang yang berutang.
Menurut mereka, doanya adalah:
“Ya Allah, jadikanlah zakat ini bermanfaat bagiku dan janganlah engkau menjadikannya sebagai kerugian.”
Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah [ranhu] yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah t. Namun, hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh al-Albani dalam Dha’if Sunan Ibni Majah no. 1797 dan Irwa’ al-Ghalil no. 852, karena sumber periwayatannya adalah al-Bakhtari bin ‘Ubaid yang tertuduh pendusta. Wallahu a’lam.4
Adapun pihak imam (penguasa), petugas pemerintah yang memungut zakat atau pihak penerima zakat, disunnahkan untuk mendoakan pemilik zakat yang memberinya dengan membaca:
“Ya Allah, bershalawatlah atasnya.”
atau membaca:
“Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya.”
Dalil doa yang pertama adalah firman Allah [swt] :
“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka.” (at-Taubah: 103)
Demikian pula hadits Ibnu Abi Aufa [ranhu] :
Adalah Nabi [saw] jika didatangi oleh suatu kaum yang menyerahkan zakat mereka, beliau berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas mereka.” Datanglah ayahku menyerahkan zakatnya, beliau pun berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas keluarga Abu Aufa.” (HR. al-Bukhari no. 1497 dan Muslim no. 1078)
Dalil doa yang kedua adalah hadits Wa’il bin Hujr [ranhu], disebutkan di dalamnya bahwa Nabi [saw] mendoakan seorang lelaki yang datang menyerahkan zakat untanya:
“Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya.” (HR. an-Nasa’i, disahihkan sanadnya oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i no. 2458)
Tatkala ayat dan hadits menunjukkan disunnahkannya hal itu bagi imam (penguasa) dan petugasnya, menjadi sunnah pula bagi pihak penerima zakat yang menerimanya langsung dari pemilik zakat, sebab imam (penguasa) dan petugasnya merupakan wakil pihak penerima zakat. Jadi, hukumnya sunnah, bukan wajib.
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1 Sistem jubran hanya berlaku pada zakat unta, karena dalil masalah ini hanya disebutkan pada zakat unta, dalam hadits Anas [ranhu] tentang kitab zakat yang ditulis oleh Abu Bakr [ranhu]. Sistem jubran berlaku ketika seseorang terkena kewajiban untuk mengeluarkan zakat unta dengan umur tertentu yang telah ditetapkan, ternyata dia tidak memilikinya, atau memilikinya namun untanya cacat. Dalam keadaan seperti ini, dia mengeluarkan yang setahun lebih tua usianya dan mengambil salah satu dari dua pilihan yang ditetapkan petugas pemungut zakat pada jubran tersebut, atau mengeluarkan yang setahun lebih muda usianya (yang sah dalam pembayaran zakat) dan membayar kepada petugas pemungut zakat salah satu dari dua pilihan yang ditetapkan pada jubran tersebut.
2 Jika berpendapat bahwa barang perdagangan terkena zakat.
3 Lihat kembali tentang rikaz pada pembahasan Jenis-Jenis Harta yang Diperselisihkan Zakatnya pada edisi 54.
4 Pembahasan tentang hadits tersebut bisa dibaca pada rubrik Hadits edisi ini.
Sumber : asysyariah.com