ADAB – ADAB MENYEMBELIH HEWAN
1. Memperbagus cara penyembelihan.
Yaitu dengan :
– Mempertajam pisau
– Menjadikan binatang sembelihan senyaman dan setenang mungkin.
Berdasarkan hadits Syaddad bin Aus Rodhiyallahu ‘anhu bahwa Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan ihsan (yang baik/bagus) atas segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh, maka perbagus dalam membunuhnya, dan apabila kalian menyembelih maka perbaguslah dalam menyembelihnya. Dan hendaknya ia mempertajam pisaunya dan menjadikan nyaman hewan sembelihannya”. (HR. Muslim (1955), Abu Daud (2815), At-Tirmidzi (1409), An-Nasa’i (7/227) dan Ibnu Majah (3170).
2. Mempertajam pisau sebelum hewan sembelihan di rebahkan.
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu Bahwa seseorang telah merebahkan kambing yang hendak ia sembelih dan ia pun menajamkan atau mengasah pisaunya maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ هلَّا أحدَدْتَ شَفرتَكَ قبلَ أن تُضجِعَها ؟
“Apakah engkau ingin membunuhnya dengan beberapa kematian ? kenapa tidak engkau asah pisaumu sebelum engkau rebahkan dia”. (HR. Al-Hakim (4/257), Al-Baihaqi (9/280) dan At-Thabrani di Al-Kafir (11/332) dan Abdurrazzaq (8608) di shohihkan Al-Albany di Shahihul Jami (93).
3. Tidak menampakkan pisau sembelihan yang dia asah pada hewan sembelihan.
Berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu :
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menajamkan pisau dan menutupinya dari pandangan hewan-hewan”. (HR. Ahmad 2/108, Ibnu Majah 3172, namun hadits ini di lemahkan oleh Al-Albany (Dhoif sunan Ibnu Majah 681). Akan tetapi hadits ini memiliki pendukung.
Sebagian ulama mengatakan disenanginya untuk tidak menampakkan pisau yang di pertajam di hadapan hewan dan hendaknya jangan menyembelih hewan sementara hewan yang lain melihatnya. Karena yang demikian tidak termasuk ihsan dan rahmah. (berlaku baik dan kasih sayang).
4. Merebahkan sembelihan
Berdasarkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Rasullullah Shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda :
يا عَائِشَةُ، هَلُمِّي المُدْيَةَ، ثُمَّ قالَ: اشْحَذِيهَا بحَجَرٍ، فَفَعَلَتْ: ثُمَّ أَخَذَهَا، وَأَخَذَ الكَبْشَ فأضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ
“Wahai Aisyah, ambilkan pisau, kemudian beliau berkata : asahlah dia dengan batu. Maka Aisyah pun melakukannya kemudian beliau mengambilnya lalu beliau pegang kambing tersebut dan beliau merebahkannya kemudian beliau menyembelihnya’. (HR. Muslim, (1967), Abu Daud (2792), At-Tirmidzi (1496) dan An-Nasa’i (7/220).
5. Hewan direbahkan pada sisi kirinya, sedangkan kaki kanannya dibiarkan bergerak-gerak setelah disembelih agar dia bisa mendapatkan ketenangan dan darah semakin banyak keluarnya.
Hal ini juga bagian berbuat ihsan / berlaku baik kepada hewan sembelihan sehingga cepat matinya.
Dalam hadits Abil Khair bahwa seorang Anshar menyampaikan kepadanya dari Rasulullah sholallohu’alaihi wassalam bahwa beliau merebahkan hewan yang akan beliau sembelih, lalu Rasulullah berkata kepada orang Anshar tersebut :
أعنّي على ضحيَّتي
“Bantulah aku untuk menyembelih hewan kurban-ku.”
(HR. Ahmad 5/373, Al Haitsami berkata “para perawinya adalah perawi as shahih .” (Majmu’ az Zawaid 4/25), Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan : “para perawinya tsiqah.” (Al Fath 10/19)
6. Untuk unta maka disembelih dengan cara An Nahr dalam posisi berdiri (tidak direbahkan) dengan lutut kiri yang dilipat dan diikat
Nahr adalah menusukkan benda tajam pada bagian labbah yaitu lekukan diantara pangkal leher dan dada.
Cara ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَٱلۡبُدۡنَ جَعَلۡنَٰهَا لَكُم مِّن شَعَٰٓئِرِ ٱللَّهِ لَكُمۡ فِيهَا خَيۡرٞۖ فَٱذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَيۡهَا صَوَآفَّۖ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat)…”. (QS. Al Hajj : 36)
صَوَآفَّ
artinya unta itu berdiri dengan tiga kaki karena yang satunya telah terlipat dan terikat
Ibnu Umar radhiyallohu ‘anhuma pernah melewati seseorang yang menderumkan untanya untuk disembelih. Lantas Ibnu Umar pun berkata :
“jadikan berdiri unta ini dan ikatlah, demikianlah sunnah Muhammad shalallahu’alaihi wassallam. ( HR. Al Bukhari (1713) dan Muslim (1320).
7. Orang yang Menyembelih ia letakkan telapak kakinya diatas sisi dekat leher hewan sembelihan.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
“Rasulullah shalallohu ‘alaihi wassalam berkurban dengan dua kambing kibas yang berwarna putih, maka aku lihat beliau meletakkan telapak kaki beliau diatas sisi dekat leher hewan beliaupun membaca basmalah dan bertakbir dan beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri.” (HR. Al Bukhari (5558), Muslim (1966), Abu Daud (2793), At Tirmidzi (1494), Ibnu Majah (3120)
Hal tersebut agar binatang sembelihan tidak berontak dan lebih bisa terwujud berlaku baik dalam penyembelihan.
8. Membaca Basmalah dan bertakbir
Yaitu dengan membaca : bismillah walloohu akbar, sebagaimana telah ditunjukkan dalam hadits diatas.
9. Tidak boleh memotong atau mematahkan leher hewan atau mengulitinya sebelum hewan benar-benar mati.
Para ulama menegaskan, perbuatan semacam ini hukumnya dibenci. Karena akan semakin menambah rasa sakit hewan kurban. Demikian pula menguliti binatang, memasukkannya ke dalam air panas dan semacamnya. Semua ini tidak boleh dilakukan kecuali setelah dipastikan hewan itu benar-benar telah mati.
Berdasarkan hadits Syaddad bin Aus radhiyalloohu ‘anhu (diatas) :
Umar radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan :
لا تعجلوا الأنفسَ أن تزهقَ
“jangan tergesa-gesa kalian untuk nyawanya hilang” (Yaitu dengan segera dipatahkan atau dipotong lehernya.pen).
(HR. Al Baihaqi dalam sunannya 9/278. Al Albani berkata : sanadnya mengandung kemungkinan hasan (irwa’ul Ghalil 8/176).
10. Menghadapkan hewan ke arah kiblat.
Sebagian ahlul ilmi menyatakan disenangi untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat dan makhruh jika tidak dihadapkan ke kiblat. ?? Berdasarkan atsar Abdullah ibnu Umar radhiyalloohu ‘anhuma, dari Nafi mengatakan :
ابن عمر رضي الله عنهما كان يكره أن يأكل ذبيحة لغير القبلة
Bahwa Ibnu Umar tidak suka memakan sembelihan yang ketika disembelih tidak diarahkan kearah kiblat
Jika demikian, untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat ketika menyembelih adalah dengan memposisikan kepala di arah Selatan, kaki di Barat, dan leher menghadap ke Barat (berlaku untuk lokasi penyembelihan seperti di Indonesia. pent)
Walloohu a’lam, maka siapa yang menghadapkan sembelihannya ke arah kiblat sebagaimana atsar ibnu Umar diatas maka tidak mengapa adapun menghukumi sembelihan yang tidak dihadapkan ke kiblat adalah makruh maka ini adalah pendapat yang lemah, karena tidak didapati adanya dalil yang shahih yang bisa dijadikan hujjah (pent.)
?? Adapun yang berlandaskan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallohu ‘anhu dengan lafadz :
ضحَّى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وآلهِ وسلَّمَ يومَ عيدٍ بكبشَينِ فقال حينَ وجَّهَهُما : وجَّهتُ وجهيَ للذي فطرَ السمواتِ والأرضَ حنيفًا وما أنا منَ المشركِينَ إنَّ صلاتي ونسُكي ومحيايَ ومماتي للهِ ربِّ العالمينَ لا شريكَ لهُ وبذلكَ أُمرتُ وأنا أولُ المسلمِينَ … (الحديث)
Rasulullah shalallohu ‘alaihi wassalam berkurban di hari ied dengan dua kambing kibas maka beliau berkata ketika sudah mengghadapkannya (ke kiblat.pen) : Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi dengan tulus ikhlas menyerahkan diri dan aku bukanlah golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah Dzat yang menguasai alam semesta. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikian aku diperintahkan dan aku termasuk orang-orang muslim. … (alhadits.. HR.Abu Daud (2795) dan Al Baihaqi (9/275,277)
Maka perlu diketahui bahwa ini adalah hadits dho’if (lemah) pada sanadnya terdapat Muhammad bin Ishaq dengan riwayat ‘an’anah adalah dikritisi dan rawi bernama Abu ‘iyyasy Al Mu’afiri Al Mishri yang dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar : dia tidak dikenal.
Walloohu a’lam bisshowwab.
Disarikan dari kitab “Al Fiqhu Al Muyassar” hal : 417 – 419 cet. Dar Sholahuddin.
Oleh Abu Abdillah M. Rifa’i
Dipublikasikan :
Group WA : Kajian Ilmiah Bontang (KIB)
Channel Telegram :
t.me/audiokajianilmiahbontang
Website : www.darussalaf.or.id