Bismillah, telah tersebar surat edaran tentang seruan untuk melaksanakan Shalat Gerhana dari Pemerintah, oleh karena itu penting untuk membahas pelaksanaan Shalat Gerhana sesuai dengan Sunnah Nabi. Berikut pembahasannya, semoga bermanfaat.
TATACARA SHALAT GERHANA MATAHARI & GERHANA BULAN (SHOLAT KHUSUF/KUSUF)
Disampaikan Oleh:
Al-Ustadz Abu Muawiyah Asykari -hafizhahullah
Audio Kajian Kitab Bulughul Maram halaman 401 dan 402
Durasi 55:50 ( 6,44 MB )
-------------------
Juga dijelaskan:
◾️ Panggilan/bacaan untuk menyeru sholat gerhana
◾️ Apakah ada Adzan/Iqomah dulu?
◾️ Apakah bacaannya dikeraskan/jahr atau tidak?
◾️ Perbedaan tatacaranya dibandingkan sholat lainnya
◾️ Disunnahkan memanjangkan berdiri dan ruku'nya
◾️ Pendapat Ahlussunnah tentang apakah bumi ini bulat/datar?
•••••
Link sumber:
#sholat_gerhana #gerhana #sholat_kusuf #sholat_khusuf #gerhana_bulan #gerhana_matahari
ـــــــــــــــــــــــــــ
مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
قناتنا في برنامـــج [تيليجــــــرام]
للإشتراك : افتح الرابط واضغط على إشتراك👇
JOIN bit.ly/ForumBerbagiFaidah [FBF]
www.alfawaaid.net
Tata Cara Shalat Gerhana
Hukum Shalat Gerhana
Shalat kusuf (gerhana) disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dan mencontohkannya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat kusuf:
Ada 2 pendapat di kalangan ulama tentang hukum shalat gerhana:
1. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat hukumnya sunnah mu’akkadah. Landasan pendapat ini adalah:
Kisah seseorang yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya tentang apa kewajibannya dalam Islam, maka Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam menyebutkan shalat 5 waktu. Orang tersebut lalu bertanya, apakah ada kewajiban shalat selainnya? Maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak ada, kecuali jika engkau mau shalat sunnah.” (HR. Al-Bukhari no. 2481 dan Muslim no. 11)
Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ’anhu ketika diutus berdakwah ke negeri Yaman, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berpesan kepadanya, ”Sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu.” (HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19)
2. Sebagian ulama lainnya berpendapat hukumnya wajib. Landasan pendapat ini adalah teks perintah Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam hadits tentang gerhana yang bersifat perintah, ”… apabila kalian melihatnya (gerhana) maka shalatlah…”
Kebanyakan ulama berpandangan bahwa hukumnya adalah sunnah muakaddah (yang ditekankan).
Ulama yang lain berpendapat bahwa shalat kusuf hukumnya wajib.
Ini yang dikuatkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah. Beliau menyebutkan bahwa ini juga pendapat Ibnu Khuzaimah, Abu Awanah, dan dipilih oleh asy- Syaukani rahimahullah serta Shiddiq Hasan Khan.
Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin Rahimahullah berkata, ”Pendapat yang menyatakan wajib lebih kuat dibandingkan yang sunnah. Namun, wajib di sini adalah wajib (fardhu) kifayah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/ 182)
Tata Cara Shalat Gerhana
Keterangan dari beberapa hadits tentang tata cara shalat gerhana Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bisa disimpulkan sebagai berikut:
- Takbiratul ihram.
- Membaca doa istiftah, ta’awwudz, dan membaca basmalah secara sir (pelan).
- Membaca surah Al-Fatihah dan surah secara jahr (keras). Bacaan pada berdiri pertama rakaat pertama ini dipanjangkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma diterangkan “…kurang lebih sepanjang surah Al-Baqarah…” (HR. Al-Bukhari no. 1052, Muslim no. 907).
- Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku. Membaca doa ruku dengan diulang-ulang.
- Kemudian berdiri dari ruku sambil mengucapkan, ”Sami’allahu liman hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana walakal hamd.”
- Setelah itu tidak sujud, namun terus berdiri panjang, dan kembali membaca Al-Fatihah dan surah. Namun berdiri kedua pada rakaat pertama ini agak lebih pendek dibandingkan berdiri pertama.
- Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku. Membaca doa ruku dengan diulang-ulang. Ruku kedua ini agak lebih pendek dibandingkan ruku pertama.
- Kemudian berdiri dan ruku sambil mengucapkan ”Sami’allahu liman hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana walakal hamd,” ini adalah i’tidal, dan dipanjangkan juga. Berdasarkan hadits dari sahabat Jabir Radhiyallahu ’anhu, ”…maka Nabi memanjangkan berdiri sampai-sampai (sebagian makmum) tersungkur, lalu beliau ruku dan memanjangkannya, lalu bangkit berdiri dan memanjangkannya, lalu ruku dan memanjangkannya, kemudian bangkit berdiri dan memanjangkannya, kemudian beliau sujud dua kali…” (HR. Muslim no. 904).
Al-Ghazali menukil bahwa ada kesepakatan meninggalkan (amalan) memanjangkan i’tidal ini. Maka dibantah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, ”Jika yang dimaksud ’kesepakatan’ disini adalah kesepakatan madzhab, maka tidak perlu dibicarakan (karena itu tidak menjadi patokan kebenaran, pen), dan yang jelas pernyataan tersebut terbantah dengan riwayat hadits Jabir tersebut.” (Fathul Bari hadits no. 1051)
- Bertakbir kemudian sujud dengan sujud yang panjang juga. Berdasarkan hadits, ”…kemudian beliau sujud dengan sujud yang panjang.” (HR. al-Bukhari no. 1047).
- Kemudian bertakbir dan bangkit, lalu duduk iftirasy dan memanjangkan duduknya. (HR. an-Nasa’i no. 1482).
- Lalu bertakbir dan kembali sujud dengan sujud yang panjang, namun tidak sepanjang sebelumnya. (HR. al-Bukhari no. 1056).
- Bertakbir dan berdiri untuk rakaat kedua. Demikian berikutnya sama persis dengan rakaat pertama, hanya saja masing-masing lebih pendek dari pada sebelumnya. Pada berdiri pertama rakaat kedua kembali membaca Al-Fatihah dan surah dengan jahr dan dipanjangkan pula kurang lebih sepanjang surat ali ’Imran. (HR. Abu Dawud no. 1187).
- Kemudian duduk bertasyahud, membaca shalawat, dan salam ke kanan dan ke kiri.
Berikut ini beberapa hal terkait dengan tata cara shalat gerhana.
1. Sebab shalat ini adalah terlihatnya gerhana.
Shalat ini terkait dengan terlihatnya gerhana. Oleh karena itu, apabila gerhana tidak dapat dilihat, tidak disyariatkan padanya shalat. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan shalat gerhana ini dengan “melihat”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“Apabila kalian melihatnya, berdoalah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.”
Jika di suatu daerah gerhana terlihat, disyariatkan bagi penduduk tempat itu untuk melakukan shalat kusuf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa apabila ahli hisab bersepakat tentang terjadinya gerhana, kesepakatan mereka hampir-hampir tidak akan salah. Akan tetapi, kesepakatan mereka itu tidak berkonsekuensi adanya suatu ilmu (pengetahuan) yang syar’i. Sebab, shalat kusuf dan khusuf tidak dilakukan kecuali apabila gerhana itu terlihat.
Berdasarkan hal ini, apabila terjadi gerhana namun seseorang terlambat mendapat beritanya dan waktunya telah lewat, tidak disyariatkan baginya melakukan shalat gerhana karena waktunya telah berlalu. Ini yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya, al-Mulakhkhash al-Fiqhi.
2. Panggilan untuk shalat gerhana
Tidak ada azan dan iqamah untuk shalat gerhana. Yang ada ialah panggilan, “Ash-shalatu jami’ah.”
Hal ini sebagaimana riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma yang mengatakan, “Ketika terjadi gerhana matahari (pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), diserukan, ‘Ash-shalatu jami’ah’.”
3. Pelaksanaan shalat gerhana
Shalat gerhana dilaksanakan dua rakaat. Perbedaannya dengan shalat yang lain, setiap rakaat shalat gerhana terdapat dua rukuk. Jadi, dua rakaat shalat gerhana memiliki empat rukuk.
Rincian cara shalatnya adalah seperti tata cara shalat biasa. Hanya saja, setelah membaca surat kemudian rukuk dan bangkit dari rukuk, membaca sami’allahu liman hamidah, rabbana walakal hamdu (sebagaimana hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang muttafaqun alaih), dilanjutkan membaca al-Fatihah dan surat lagi.
Disyariatkan berdiri dan rukuk pertama lebih lama daripada yang kedua. Setelah selesai bacaan kedua, dia rukuk kembali, bangkit, membaca sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, dan i’tidal. Setelah itu dilanjutkan sebagaimana biasa. Demikian pula pada rakaat kedua.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait pelaksanaan shalat gerhana.
a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat gerhana dengan bacaan yang panjang.
Nabi memperpanjang bacaan tersebut sampai hilang gerhana itu. Meski demikian, untuk bacaan yang panjang seperti itu, perlu memerhatikan keadaan makmum. Wallahu a’lam.
Seandainya shalat telah selesai sementara gerhana belum hilang, perbanyaklah membaca zikir, tahlil, dan zikir sejenisnya. Bisa pula diulangi kembali shalatnya, sebagaimana penjelasan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan dalam kitabnya, al-Mulakhkhash al-Fiqhi.
b. Bacaan pada shalat gerhana dilakukan dengan suara keras (jahr) meski pada siang hari.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan shalat karena gerhana matahari. Begitu pula pada malam hari ketika terjadi gerhana bulan, bacaan shalat gerhana dilakukan dengan jahr (keras).
c. Shalat gerhana dilakukan secara berjamaah di masjid.
Tentu saja hal ini juga boleh dilakukan oleh jamaah wanita. Di masa para sahabat, kaum wanita mengikuti shalat gerhana.
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari mengatakan, “Jika imam rawatib tidak datang, salah seorang yang hadir menjadi imam.”
Apabila tidak ada seorang pun yang bisa diajak berjamaah, dia diperbolehkan melakukan shalat gerhana sendirian. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan dalam kitabnya, al-Mulakhkhash al-Fiqhi.
d. Shalat gerhana dilakukan kapan saja saat terjadi gerhana.
Shalat gerhana boleh dilakukan meski di akhir siang atau di akhir malam, asalkan saat itu terjadi gerhana.
e. Setelah shalat, disyariatkan berkhutbah.
Hukumnya sunnah, tidak wajib. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya dan matahari telah terang (gerhana telah usai). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan menyanjung Allah subhanahu wa ta’ala seraya berkata, ‘Matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala. Tidaklah keduanya mengalami gerhana karena kematian seseorang, tidak pula karena kelahiran seseorang. Jika kalian melihat gerhana, berdoalah, bertakbirlah, shalatlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan bersedekahlah.’
Kemudian beliau mengatakan, ‘Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah subhanahu wa ta’ala ketika seorang lakilaki atau perempuan berzina. Wahai umat Muhammad, seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tiba-tiba beliau maju seolah-olah mengambil sesuatu, dan tiba-tiba mundur seolah-olah takut dari satu hal yang mengerikan. Sebagian sahabat bertanya tentang apa yang terjadi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku melihat surga. Aku berusaha mengambil sekumpulan anggur. Seandainya aku dapat mengambilnya, kalian akan terus makan darinya selama dunia masih ada. Sungguh, aku juga melihat neraka. Aku tidak pernah melihat sebuah pemandangan yang lebih mengerikan daripada yang aku lihat hari ini. Aku melihat ternyata kebanyakan penghuninya adalah para perempuan.”
Para sahabat radhiallahu ‘anhum bertanya, “Apa sebabnya wahai Rasulullah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Karena mereka kufur.”
Para sahabat radhiallahu ‘anhum bertanya, “Apakah kufur terhadap Allah subhanahu wa ta’ala?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, tetapi mereka kufur (tidak berterima kasih) terhadap (kebaikan) para suami mereka. Kufur terhadap kebaikan. Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang mereka sepanjang tahun, lantas dia melihat sesuatu yang tidak dia sukai, dia akan berkata, “Aku tidak pernah melihat pada dirimu kebaikan sama sekali.” ( HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas.
- Khutbah ini menyatakan batilnya apa yang diyakini oleh orang jahiliah bahwa gerhana adalah tanda kematian atau kelahiran orang yang besar. Pada saat itu, putra Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal. Orang mengira, gerhana terjadi karena sebab tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menepis anggapan jahiliah ini.
- Gerhana adalah salah satu tanda kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala hendak memberikan rasa takut dengan keduanya terhadap para hamba-Nya. Sungguh, orang yang berpikir tentang kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala dalam mengatur alam ini, akan memiliki rasa takut yang besar.
Dalam sebagian riwayat disebutkan, ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir terjadi kiamat. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa meski gerhana adalah peristiwa alam, seorang muslim hendaknya tidak hanya memandangnya sebagai peristiwa alam biasa yang teratur.
Seorang muslim memandang bahwa hal itu merupakan tanda kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala dan kemampuan-Nya yang mengatur matahari dan bulan, sehingga jadilah malam dan siang. Jika Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak menjadikan semuanya sebagai waktu siang, Dia Maha mampu melakukannya. Demikian pula sebaliknya. Selain itu Allah subhanahu wa ta’ala Maha mampu memanjangkan waktu siang dan memendekkannya, memanjangkan waktu malam dan memendekkannya.
Dengan adanya gerhana seorang muslim mesti berpikir tentang kebesaran Allah tersebut dan tumbuh dalam dirinya rasa takut apabila Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengembalikan matahari atau bulan sebagaimana mestinya.
- Khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan beberapa maksiat, di antaranya perzinaan. Tampak dari sini—wallahu a’lam— bahwa gerhana berkaitan dengan peringatan Allah subhanahu wa ta’ala atas berbagai maksiat yang terjadi. Apabila kita lihat pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selama sekian tahun di Madinah gerhana terjadi hanya satu kali.
Pada masa kita ini, kemungkinan terjadi gerhana berkali-kali. Seorang muslim hendaknya berpikir bahwa gerhana tersebut adalah peringatan agar para hamba-Nya takut kepada-Nya atas kemaksiatan yang terjadi.
Pada masa ini kemaksiatan begitu merajalela, terlebih yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbahnya, yaitu zina. Oleh karena itu, takutlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala Maha mampu mengubah aturan alam apabila Dia berkehendak.
Bisa jadi, ada yang menyatakan bahwa gerhana ini hanyalah kejadian alam. Kita katakan, betul bahwa itu adalah kejadian alam. Akan tetapi, alam ini ada Dzat yang mengatur sekehendak-Nya.
Pada kesempatan ini, pembaca rahimakumullah, kita mengingatkan sebagian orang yang menganggap melihat gerhana sebagai hiburan. Kita dapati sebagian orang justru menikmati gerhana dan tidak melakukan shalat gerhana yang disyariatkan. Demikian pula mereka tidak takut, padahal inilah yang diinginkan oleh syariat saat terjadi gerhana. Rasa takut tersebut menjadikan seseorang bertambah ketaatannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hendaknya kaum muslimin menyadari hal ini dan kembali kepada petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya memperbanyak amalan saleh, yaitu doa, shalat, dan sedekah saat terjadi gerhana.
Kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita. Hal ini disebabkan mereka tidak mensyukuri nikmat, tidak mau berterima kasih kepada suami. Ketika muncul rasa marah, seakan-akan kebaikan suami tidak pernah ada. Suara pun diangkat melebihi suara suami, atau hal lain yang merupakan sikap yang tidak dibenarkan oleh syariat. Hal ini sangat berbahaya dan menjadi sebab kebanyakan wanita menjadi penduduk neraka.
Apabila Tertinggal Satu Rukuk
Satu rakaat dalam shalat gerhana ada dua kali rukuk. Apabila tertinggal satu rukuk, dia harus menambah satu rakaat lagi. Demikian yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah dalam kitab Bughyatul Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’.
Demikian pembahasan yang bisa kami sampaikan tentang shalat gerhana. Semoga bermanfaat. Apabila ada kekurangan, kami memohon maaf sebesar-besarnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Waktu Pelaksanannya
Sebagaimana pada edisi sebelumnya, pelaksanaan shalat gerhana terkait dengan ru’yah, bukan dengan hisab. Waktu pelaksanaannya terbentang mulai dari awal terjadinya gerhana, maka hendaknya bersegera melaksanakan shalat sejak awal proses gerhana, tidak perlu menunggu puncak gerhana tersebut. Waktu shalat gerhana berakhir ketika proses gerhana selesai. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila kalian melihatnya (gerhana) maka shalatlah dan berdoalah hingga tersingkap kembali.” (Muttafaqun ’alaihi). Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam memanjangkan shalat gerhana sepanjang terjadinya gerhana matahari.
Gerhana Apakah yang Disyariatkan Shalat Padanya?
Sebagaimana diketahui, gerhana matahari dan gerhana bulan ada beberapa macam, ada gerhana total, sebagian, cincin dan lain-lain. Maka semuanya disyariatkan shalat gerhana padanya.
Disyariatkan Berjamaah di Masjid, Boleh Pula Sendiri-sendiri
”Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam keluar menuju masjid, beliau berdiri dan bertakbir (yakni shalat gerhana, pen) dan para makmum bershaf di belakang beliau…” (HR. Muslim no. 901)
Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan melaksanakan shalat gerhana di masjid yang dipakai juga untuk shalat jum’at…hadits ini juga menunjukkan disunnahkan melaksanakannya secara berjamaah, boleh pula dikerjakan dengan sendiri-sendiri.” (Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no. 901).
Tidak Ada Adzan dan Iqomah, Namun Diserukan ”Ash-Shalatu Jami’ah”
Berdasarkan hadits dari sahabat ’Abdullah bin ’Amr Radhiyallahu ’anhuma, ”Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasul diserukan, ”Inna ash-Shalata Jami’ah.” (HR. Al-Bukhari no. 1045) dalam lafadz lain ’Ash-Shalatu Jami’ah” (HR. Muslim no. 901). Al-Imam an_Nawawi Rahimahullah berkata, ”Disenangi untuk diserukan ’ash-shalatu Jami’ah’ pada saat gerhana, dan para ulama sepakat tidak ada adzan dan iqomah padanya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no. 901).
Makna “Ash-Shalatu Jami’ah” adalah, “Sesungguhnya shalat mengajak kalian berkumpul (maka hadirilah).” Seruan tersebut bisa diulang beberapa kali sesuai kebutuhan, terutama pada shalat gerhana bulan yang dilaksanakan pada malam hari.
Apabila Masbuq
Dalam shalat gerhana, makmum dinyatakan kurang rakaat shalatnya apabila dia tidak mendapati ruku pertama pada rakaat pertama. Maka, setelah imam mengucapkan salam, makmum tersebut harus menambah satu rakaat dengan dua kali ruku.
Khutbah Shalat Gerhana
Disunnahkan untuk berkhutbah setelah shalat gerhana, karena Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam melakukannya. ”Setelah beliau selesai shalat, matahari telah tersingkap (dari gerhananya). Lalu beliau berkhutbah seraya memuji Allah dan menyanjung-Nya…” (HR. al-Bukhari no. 1044)
”…berkhutbah seraya memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, lalu mengatakan Amma Ba’d…” (HR. al-Bukrahi no. 1061).
Keterangan hadits tersebut, di samping menunjukkan disunnahkannya khutbah setelah shalat gerhana, juga menunjukkan bahwa tetap berkhutbah meskipun gerhana telah selesai asalkan sudah selesai dari shalat gerhana. Berbeda halnya apabila gerhana telah selesai namun belum sempat melaksanakan shalat gerhana, maka ketika itu tidak ada shalat, tidak ada pula khutbah. (Lihat Fathul Bari hadits no. 1044).
Menurut asy-Syaikh al-Bassam Rahimahullah, khutnah tersebut dilakukan saat dibutuhkan sebagai peringatan dan nasihat untuk manusia, namun jika tidak dibutuhkan maka cukup dengan doa, istighfar, dan shalat tanpa khutbah. (Lihat Taisirul ’Allam 1/ 133).
Shalatnya Kaum Wanita
Kaum wanita boleh mengikuti shalat gerhana berjamaah di masjid, sebagaimana ’Aisyah dan Asma’ bintu Abi Bakr Radhiyallahu ’anhum dulu ikut melaksanakan shalat gerhana di masjid. (Lihat Hr. al-Bukhari no. 1053, Muslim no. 905, Syarh Shahih Muslim, al-Mughni III/ 322). Boleh pula mereka shalat dirumahnya masing-masing secara sendiri-sendiri. Perlu diingat, kaum wanita yang hadir berjamaah di masjid ada syarat-syarat yang sangat ketat. Diantaranya: harus menutup aurat dan berjilbab sesuai dengan syarat-syaratnya, tidak memakai wewangian, tidak berhias, tidak berbaur dengan kaum pria, dan lain-lain.
Hukum Shalat Gerhana di Waktu yang Dilarang
Asy-Syaikh Abdul Aziiz bin Baz rahimahullaah berkata :”
بسم الله، والحمد لله، وصلى الله وسلم على رسول الله، وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى بهداه. أما بعد
Ahlul Ilm telah berselesih pendapat di dalam hukum sholat gerhana pada waktu-waktu yang dilarang, seperti jika seandainya terjadi gerhana bulan setelah terbitnya fajar atau gerhana matahari setelah waktu sholat ashar.
Maka sebagian mereka berpendapat tidak disyariatkan sholat gerhana pada dua waktu yang terlarang ini, tetapi di syariatkan agar bertakbir, dzikir, istigfar, doa, shodaqoh dan memerdekakan budak karena terdapat hadits yang shohih di dalam permasalahan itu Rasulallaah shallallaahu alaihi wasallam bersabda:” sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allaah, dua tanda ini tidak terjadi gerhana dikarenakan kematian seseorang jg kehidupan seseorang, jika kalian melihat itu maka dengan rasa takut bersegeralah untuk dzikir kepada Allaah, berdoa, istigfar kepada Nya, seperti apa yg telah tetap dari hadits A’isyah radhiyallaahu anha dan lainnya, bahwasanya beliau shallallaahu alaihi wasallam memerintahkan untuk bertakbir, bershodaqoh, berdoa dan membebaskan budak pada waktu gerhana.
Dan yang lainnya berpendapat di syariatkannya sholat gerhana pada 2 waktu yang telah disebutkan, karena adanya keumuman hadits-hadits yang shohih yg memerintahkannya ketika gerhana, dan itu sangatlah banyak, dan darinya adalah sabda Rasulallaah shallallaahu alaihi wasallam:” maka jika kalian telah melihat itu bersegeralah sholat dan berdoa sampai terbuka apa terjadi pada kalian, dan pendapat ini adalah pendapat yang benar, karena keumuman hadits yang telah disebutkan, dan karena sholat gerhana termasuk sholat yang mempunyai sebab.
dan pendapat yang kuat dari perkataan ulama, bahwasanya sholat yang mempunyai sebab tidak masuk kedalam larangan sholat pada waktu-waktu yang dilarang, dan hanya saja yg dimaksudkan dari larangan sholat pada waktu-waktu yang dilarang adalah sholat yang tidak ada sebab khususnya, adapun yang mempunyai sebab maka ia tdk termasuk kedalam larangan, seperti sholat gerhana, sholat towaf, karena sabda Rasulallaah shallallaahu alaihi wasallam :” wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian melarang seorangpun towaf dan sholat di Bait (Ka’bah) ini pada waktu kapanpun dari waktu malam maupun siang.
Dan seperti sholat Tahiyyatul masjid, karena sabda Rasulallaah shallallaahu alaihi wasallam bersabda:” jika salah seorang dari kalian masuk kedalam masjid maka janganlah ia duduk sampai ia melakukan sholat dua rokaat. Dan ini umum pada yg terlarang ataupun yg lainnya dan misalnya sholat sunnah Wudhu’ , maka sesungguhnya di syariatkan bagi siapa saja yg telah melakukan wudhu’ untuk melakukan sholat, seperti yg telah datang hadits-hadits yg shohih dari Rasulallaah shallallaahu alaihi wasallam. Dan Syaikhul Islam dan jg jamaah dari Ahlil Ilm rahimahumullaah telah memilih pendapat ini dikarenakan hadits-hadits yg telah disebutkan.
Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz ( 13/39 ).
Tidak melakukan Shalat Gerhana kecuali bila gerhananya TERLIHAT
Sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam di atas, ”Apabila kalian MELIHAT (gerhana) matahari atau bulan, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah.”
Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengaitkan pelaksanaan shalat gerhana dengan ”melihat (ru’yah)”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, ”… karena pelaksanaan shalat (gerhana) dikaitkan dengan ru’yah.” (Lihat Fathul Bari hadits no. 1041).
Artinya, apabila telah diperkirakan dengan hisab astronomis terjadi gerhana namun terhalangi oleh langit yang mendung, maka TIDAK DILAKUKAN SHALAT GERHANA.
Atau gerhana terjadi di wilayah lain/ belahan bumi lainnya, sehingga tidak terlihat. Misalnya gerhana terjadi di Eropa, tidak terjadi di Indonesia, maka orang Indonesia tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat gerhana.
Atau terjadinya gerhana matahari setelah tenggelamnya matahari,
atau gerhana bulan setelah terbitnya matahari sehingga tidak bisa teramati, maka tidak ada shalat gerhana pula.
sumber : buletin “al-Ilmu edisi 21/V/IX/1434
Majmu’ah Manhajul Anbiya
Wallahu a’lam bish shawab.
Adakah surat² tertentu yang dibaca ketika shalat gerhana
Jawaban Syaikh Al Utsaimin:
Dalam shalat gerhana tidak disyariatkan untuk membaca surat tertentu. Namun disyariatkan untuk memperpanjang bacaan.
Namun seandainya seseorang membaca surat yang mengandung peringatan yang banyak, maka momennya sangat tepat. Sehingga sebagian guru kami berpendapat disunahkannya membaca surat Al-Isra.
Karena di dalam surat tersebut terdapat beberapa ayat yang selaras (dengan peristiwa gerhana). Di antaranya adalah firman Allah yang artinya : Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan Kami, melainkan tanda² itu telah didustakan oleh orang-orang terdahulu. Dan kami berikan kepada Tsamud unta betina itu sebagai mu'jizat yang bisa dilihat. Tapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberikan tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti. QS. Al-Isra : 59.
Referensi : Liqa Al Bab Al Maftuh 15.
http://bit.ly/KajianIslamTemanggung
TIDAK MENGUMUMKAN WAKTU TERJADINYA GERHANA DI MEDIA-MEDIA INFORMASI
asy-Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah,
"Adapun berita dan informasi dari para pakar hisab/astronomi tentang waktu-waktu gerhana, maka TIDAK DIJADIKAN SANDARAN. Sejumlah para 'ulama telah menegaskan hal itu, di antaranya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan muridnya al-'Allamah Ibnul Qayyim — rahmatullah 'alaihima — . Karena para pakar hisab itu terkadang bisa salah dalam hisabnya. Maka TIDAK BOLEH BERSANDAR KEPADA MEREKA.
Juga tidak disyari'atkan bagi siapapun untuk melaksanakan shalat gerhana berdasarkan informasi dari para pakar hisab.
Shalat Gerhana hanyalah disyari'atkan ketika benar-benar terjadi dan terlihat.
Maka seharusnya bagi kementrian-kementrian komunikasi dan informasi untuk MENCEGAH penyebaran info-info dari para pakar hisab tentang waktu-waktu gerhana. Agar sebagian manusia tidak tertipu dengan info-info tersebut.
Karena menyebarkan berita/info pakar hisab bisa menyebabkan peristiwa gerhana menjadi kurang mengena di hati masing-masing orang. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala menakdirkan terjadinya gerhana agar MANUSIA TAKUT dan sebagai PERINGATAN bagi manusia. Supaya umat manusia mengingat-Nya, bertaqwa kepada-Nya, berdo'a kepada-Nya, dan mau berbuat kepada sesama hamba."
Majmu' Fatawa Ibn Baz 13/36
" أما أخبار الحسابيين عن أوقات الكسوف فلا يعول عليها ، وقد صرح بذلك جماعة من أهل العلم، منهم: شيخ الإسلام ابن تيمية وتلميذه العلامة ابن القيم رحمة الله عليهما ؛ لأنهم يخطئون في بعض الأحيان في حسابهم ، فلا يجوز التعويل عليهم ، ولا يشرع لأحد أن يصلي صلاة الكسوف بناء على قولهم ، وإنما تشرع صلاة الكسوف عند وقوعه ومشاهدته.
فينبغي لوزارات الإعلام منع نشر أخبار أصحاب الحساب عن أوقات الكسوف حتى لا يغتر بأخبارهم بعض الناس ؛ ولأن نشر أخبارهم قد يخفف وقع أمر الكسوف في قلوب الناس ، والله سبحانه وتعالى إنما قدره لتخويف الناس وتذكيرهم ؛ ليذكروه ويتقوه ويدعوه ويحسنوا إلى عباده، والله ولي التوفيق ".
مجموع فتاوى ابن باز (13/ 36)
Majmu'ah Manhajul Anbiya
Join Telegram https://bit.ly/ManhajulAnbiya
Situs Resmi http://www.manhajul-anbiya.net
Referensi:
* http://asysyariah.com/tata-cara-shalat-gerhana/
* http://www.darussalaf.or.id/fiqih/shalat-gerhana-dalam-tuntunan-sunnah-nabawiyyah/
* http://www.manhajul-anbiya.net/tidak-melakukan-shalat-gerhana-kecuali-bila-gerhananya-terlihat/
* http://salafy.or.id/blog/2014/10/08/silsilah-fatwa-ulama-hukum-sholat-gerhana-pada-waktu-waktu-yang-dilarang/