LAHIRNYA SANG UTUSAN
Al-Ustadz Idral Harits Thalib Abrar حفظه الله تعالى
|
Kisah Kelahiran Nabi Muhammad |
Berita kematian Abdullah pun sampai juga ke telinga istrinya yang sedang mengandung, Aminah bintu Wahb. Abdul Muththalib, sang kakek, juga sangat terpukul mendengar berita tersebut. Dahulu, dia hampir menyembelih Abdullah untuk menebus nadzarnya. Ternyata Abdullah mati juga dalam usia belia.
Akan tetapi, kesedihan itu tidak berlangsung lama. Keluarga besar Hasyim berharap bayi yang dikandung Aminah akan menjadi pengganti Abdullah.
Ternyata, kehilangan suami tidak membuat Aminah terpuruk dalam kesedihan yang dalam. Gerak bayi di dalam rahimnya adalah hiburan besar. Bahkan, selama sembilan bulan mengandungnya, Aminah tidak pernah merasakan keadaan yang menyulitkannya.
Beberapa waktu kemudian, Aminah pun mulai merasakan tanda-tanda kehamilannya akan berakhir. Selama ini, Aminah selalu merasa ringan. Hampir tidak dirasakannya kesulitan atau kesusahan yang dirasakan wanita hamil pada umumnya.
Senin, bulan Rabi’ul Awwal tahun gajah, di tengah-tengah perkampungan keluarga Bani Hasyim di kota Makkah, seiring dengan fajar yang menyingsing menyibak tirai malam, lahirlah bayi agung yang suci itu. Tanpa jerit tangis, bayi itu keluar dengan mudahnya dari rahim Aminah, wanita mulia dari Bani Zuhrah.
Sebagaimana diceritakan sebagian ahli sejarah, bahwa pada saat-saat kelahiran itu tiba, Aminah bermimpi melihat cahaya keluar dari rahimnya menembus daerah Bahira di Syam. Kemudian Aminah menceritakan hal itu kepada kaumnya, hingga tersebar di kalangan mereka.
Menurut lbnu Katsir, disebutnya negeri Syam secara khusus adalah untuk menunjukkan bahwa agama Islam ini kokoh dan tetap ada di Syam. Oleh sebab itu, di akhir zaman nanti, negeri Syam adalah markas Islam dan kaum muslimin. Di sanalah Nabi Isa عليه السلام turun, di menara putih sebelah timur, di Damaskus.¹
TENTARA BERGAJAH (ASHHABUL FlL)
Menjelang kelahiran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Makkah menyaksikan beberapa kejadian yang penting. Pada edisi sebelumnya, telah dikisahkan tentang Abdul Muththalib yang menggali kembali sumur Zamzam (
baca kisahnya disini), juga tentang wafatnya Abdullah, Ayahanda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Itu termasuk peristiwa yang mendahului kelahiran beliau shallallahu alaihi wasallam.
Lebih-Iebih kisah tentara bergajah yang diabadikan pula di dalam Al Quranul Karim.
Pada masa itu, Makkah adalah pusat keagamaan bagi seluruh bangsa Arab. Kota ini mulai ramai sejak nabi lsma'il dan ibunya ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim Al Khalil عليه السلام di sana. Terlebih Iagi sejak ayah dan anak itu mendirikan Baitullah (Ka'bah) sebagai rumah ibadah yang pertama di muka bumi ini.
Setelah Baitullah itu berdiri, Allah سبحانه وتعالى memerintahkan Ibrahim 'Alaihissalam agar mengumumkan kepada seluruh manusia untuk berhaji ke sana. Setiap tahun, Makkah selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah yang ingin menunaikan haji. Sampai di masa Makkah di bawah pimpinan Abdul Muththalib.
Sementara itu, jauh di selatan, di Shan'a Yaman, salah seorang gubernur Najasyi bernama Abrahah, melihat betapa sibuknya orang-orang Arab bila sudah tiba bulan-bulan haji. Hendak ke manakah mereka? Apa yang akan mereka lakukan?
Abrahah pun ingin menandinginya. Ia membangun gereja besar berkubah emas. Agar orang Arab berziarah ke sana, dan tidak lagi ke Ka’bah.
Suatu ketika, ada seorang dari Bani Kinanah berkunjung ke Yaman, dan melihat kemegahan rumah ibadah tersebut. Orang itu pun mengetahui tujuan Abrahah membangun rumah ibadah yang megah itu. Diam-diam, di malam yang sepi, orang itu memasuki rumah ibadah tersebut, bukan untuk beribadah, melainkan buang hajat di dalamnya.
Abrahah marah besar, dan mengancam menghancurkan Ka’bah. la pun mulai mengumpulkan pasukannya dan meminjam gajah rajanya (Najasyi), yang bernama Mahmud.
Tidak lama terkumpullah puluhan ribu prajurit yang terdiri dari orang-orang Habasyah, Yaman, dan kabilah Arab lainnya, seperti Asy'ariyin, Khats'am, dan 'Akka.
Akhirnya pasukan itu berangkat ke Makkah, dan merampas dua ratus ekor unta Abdul Muththalib. Abdul Muththalib pun meminta kembali ontanya kepada Abrahah dan kembali ke Makkah.
Malam itu, bintang-bintang seolah-olah mengirimkan berita akan datangnya azab. Penunjuk jalan yang mengantar pasukan bergajah tersebut, diam-diam pergi meninggalkan tempat itu. Demikian pula orang-orang Asy'ariyyin dan Khats'am. Mereka mematahkan tombak dan pedang mereka lalu berlepas diri kepada Allah. Mereka menolak membantu Abrahah menghancurkan Ka'bah.
Dini hari, pasukan itu mulai mengarahkan gajah mereka ke arah Makkah. Tetapi, dengan tiba-tiba gajah itu berhenti lalu terduduk. Pasukan itu mencambuknya, namun dia bergeming. Kemudian mereka membelokkannya ke arah Iain, ternyata gajah itu bangkit. Mereka mencoba memutarnya ke arah Yaman, dengan cepat gajah itu berjalan menjauhi Makkah.
Demikian berulang-ulang, hingga matahari mulai terbit. Di saat mereka masih berkutat dengan gajahnya, tiba-tiba, dari arah Iaut, serombongan burung dengan cepat menuju tempat pasukan tersebut. Ternyata, masing-masing burung membawa beberapa butir batu dengan mulut dan kedua cakarnya. Setelah tiba tepat di atas pasukan Abrahah, burung-burung itu menjatuhkan batu-batu tersebut. Batu-batu itu pun menembus tubuh mereka, mematahkan tulang dan melubangi perut-perut mereka.
Abrahah sendiri tidak luput dari batu-batu tersebut. Dia bertahan hingga sampai di Yaman. Tetapi dalam keadaan anggota tubuhnya bercerai-berai, akhirnya dia pun mati. Adapun anggota pasukannya yang Iain, semua tewas dengan cara yang mengerikan. Tidak ada yang lolos kecuali kaum Asy'ariyyin dan Khats'am.
Allah سبحانه وتعالى menahan kejahatan mereka dan mengembalikan tipu daya mereka menimpa diri mereka sendiri. Kisah mereka sangat terkenal. Itulah kejadian yang mengantar kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Allah سبحانه وتعالى berfirman mengabadikan kisah ini dalam firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (١) أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (٢) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (٣) تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ (٤) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ (٥)
”Apakah kamu tidak memerhatikan bagaimana Rabbmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” [Q.S. Al Fil: 1-5].
Kejadian besar itu terekam dalam ingatan bangsa Arab, dan dijadikan sebagai satu penanda waktu, Tahun Gajah. Pada tahun itulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dilahirkan. Seolah-olah, peristiwa ini sebagai pengantar dakwah. Pendahuluan bagi risalah beliau, serta kemuliaan bagi beliau dan negeri Makkah. Padahal, Abrahah dan tentaranya adalah orang-orang Nasrani dan lebih dekat dengan Penduduk Makkah ketika itu.
Ada ulama yang meriwayatkan, bahwa pada batu-batu yang dilemparkan oleh burung-burung tersebut sudah tertulis nama orang-orang yang ada dalam pasukan tersebut. Demikian diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dan Ibnu Mardawaih dari Abu Shalih yang melihat batu tersebut pada Ummu Hani bintu Abi Thalib.²
Orang-orang Quraisy juga menyaksikan peristiwa itu dari balik bukit-bukit di luar kota Makkah. Setelah yakin kehancuran tentara Abrahah, mereka pun turun kembali ke rumah masing-masing. Keadaan mulai tenang kembali.
Senin, bulan Rabi’ul Awwal, beberapa hari setelah peristiwa Tentara Bergajah itu -menurut sebagian pendapat-, Muhammad bin Abdullah shallallahu alaihi wasallam lahir. Berita kelahiran ini segera disampaikan orang kepada kakeknya Abdul Muththalib. Beberapa kerabat terdekat bersuka cita mendengar kabar tersebut. Adalah kebanggaan bagi mereka bila bertambah lagi pria di tengah-tengah mereka.
Diriwayatkan oleh sebagian ahli sejarah, bahwa ketika mendengar kelahiran nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ini, Abu Lahab, salah seorang paman beliau segera membebaskan budaknya Tsuwaibah, yang kemudian menjadi ibu susu pertama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Abdul Muththalib juga tidak kurang kegembiraannya. Dia segera mendatangi rumah Aminah dan mengambil bayi suci itu, lalu membawanya ke Ka'bah. Di dalam Ka'bah, Abdul Muththalib berdoa dan menamai bayi suci itu Muhammad (shallallahu alaihi wasallam).
Ketika ditanya mengapa dia menamai bayi itu Muhammad, padahal tidak pernah ada nenek moyang mereka yang bernama demikian? Abdul Muththalib berkata, "Aku ingin dia terpuji di sisi Allah dan dipuji oleh seluruh penduduk bumi."
Setelah itu, Abdul Muththalib menyerahkan Muhammad shallallahu alaihi wasallam kepada ibunya untuk disusukan.
Catatan Kaki:
1) Tafsir lbnu Katsir Surat AI Baqarah (129).
2) Sirah Ibnu Ishaq (1/14-15).
Sumber || Majalah Qudwah Edisi 06 || https://t.me/Majalah_Qudwah/1031