Sungguh, berbagai masalah yang menimpa banyak orang seperti: hati yang keras, mata yang kering dari tangisan, dan hilangnya nilai-nilai tadabur; itu semua disebabkan oleh kotoran yang menutupi hati-hati kita, sehingga keadaan itu juga turut menyertai kita tatkala melaksanakan ibadah.
Dan kondisi hati tidak akan bisa kembali menjadi baik seperti sedia kala kecuali apabila hati tersebut dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel padanya. Lihatlah pada pernyataan Amirul Mukminin 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu tatkala beliau turut meletakkan tangannya (memberikan penjelasan) untuk mendeteksi penyakit yang merupakan sumber masalah ini,
"Seandainya hati kalian bersih, maka kalian tak akan pernah merasa puas dengan Al-Qur'an." (Az-Zuhd, hlm. 106, karya Imam Ahmad)
Khusyuk yang sebenarnya diistilahkan oleh Imam Ibnul Qayyim dengan kekhusyukan iman, yang diartikan oleh beliau sebagai,
خُشُوْعُ الْقَلْبِ لِلَّهِ بِالتَّعْظِيْمِ وَالْإِجْلَالِ وَالْوَقَارِ وَالْمَهَابَةِ وَالْحَيَاءِ فَيَنْكَسِرُ الْقَلْبُ لِلَّهِ كَسْرَةً مُمْتَلِئَةً مِنَ الْوَجَلِ وَالْخَجَلِ وَالْحُبِّ وَالْحَيَاءِ وَشُهُوْدِ نِعَمِ اللَّهِ وَجِنَايَاتِهِ هُوَ فَيَخْشَعُ الْقَلْبُ لَا مَحَالَةَ فَيَتْبَعُهُ خُشُوْعُ الْجَوَارِحِ
"Khusyuknya hati kepada Allah dengan beriring sikap pengagungan, penghormatan, memuliakan, dan malu kepada-Nya, sehingga hati pun luluh di hadapan Allah dalam kondisi terisi penuh dengan rasa takut, cinta, dan malu kepada Allah.
Hati itu benar-benar melihat banyaknya nikmat Allah yang ada padanya, namun dia sadar begitu banyak perbuatan jahat yang dia lakukan, maka menjadi khusyuk hatinya lalu diiringi dengan tenangnya anggota badan." (Ar-Ruh, hlm. 232)
Di antara bukti yang menunjukkan sangat pentingnya kekhusyukan ialah khusyuk merupakan sebab terpenting diterimanya ibadah shalat, yang mana shalat merupakan rukun agama yang paling besar setelah dua kalimat syahadat. Dalam kitab Sunan, dari Nabi Muhammad ﷺ,
beliau bersabda,
إنّ العَبْدَ لَيَنْصَرِفُ مِن صَلاتِهِ ولَمْ يُكْتَبْ لَهُ مِنها إلّا نِصْفُها إلّا ثُلُثُها إلّا رُبْعُها إلّا خُمْسُها إلّا سُدْسُها إلّا سُبْعُها إلّا ثُمُنُها إلّا تُسْعُها إلّا عُشْرُها
"Sesungguhnya ada seseorang yang selesai dari mengerjakan shalat, namun ia tidak mendapatkan pahala melainkan hanya setengahnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya, atau seperlimanya, atau seperenamnya, atau sepertujuhnya, atau seperdelapannya, atau sepersembilannya, atau hanya sepersepuluhnya."
HASAN (Tahqiq Kitab al-Iman karya Ibnu Taimiyyah)
Dengan khusyuk, seseorang juga akan mudah untuk mengerjakan shalat dan rasa cinta pada ibadah shalat akan merasuk dalam jiwanya.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Si'di rahimahullah berkata tatkala menafsirkan firman Allah,
وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
"Dan sesungguhnya shalat itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk." (Q.S. Al-Baqarah: 45)
"Artinya, sesungguhnya ibadah shalat itu mudah dan ringan bagi orang-orang yang khusyuk. Sebab, kekhusyukan; rasa takut kepada Allah; dan mengharapkan janji yang ada di sisi-Nya; pasti akan menggerakkan seseorang untuk melaksanakan shalat dan melakukannya dengan kelapangan jiwa karena ia mengharapkan pahala dan takut dari siksa-Nya." (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 51)
Kekhusyukan juga merupakan ilmu yang sesungguhnya. Ibnu Rajab rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits Abud-Darda' tentang keutamaan ilmu agama.
Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, Auf bin Malik, dan Hudzaifah radhiyallahu 'anhum, bahwa mereka seluruhnya mengatakan,
أَوَّلُ عِلْمٍ يُرْفَعُ مِنَ النَّاسِ: الْخُشُوْعُ حَتَّى لَا تَرَى خَاشِعًا
"Ilmu pertama yang akan diangkat dari manusia ialah kekhusyukan, sampai kelak kamu akan saksikan tidak ada lagi manusia yang khusyuk."
Kemudian Ibnu Rajab membawakan hadits-hadits lain yang semakna, lalu beliau menjelaskan,
"Dalam hadits-hadits ini terdapat keterangan bahwa hilangnya ilmu adalah saat hilangnya amalan, dan para sahabat menafsirkan dengan hilangnya ilmu yang tersembunyi di dalam hati, yaitu kekhusyukan." (Majmu' Rasa'il Ibnu Rajab, I/16)
Peneliti kitab Ibnu Rajab di atas membawakan atsar tersebut dengan menyebutkan jalan-jalan riwayatnya, lalu beliau mengatakan, 'Dengan banyaknya jalur ini menjadikan atsar ini derajatnya kuat.'
Maka, dari sini dapat diketahui bahwa shalat merupakan penghubung antara seseorang dengan Allah, ia memutuskan seluruh kesibukan duniawi dalam ibadah shalat tersebut.
Dia menghadap kepada Allah sepenuhnya, memohon kepada Allah petunjuk, pertolongan, dan bimbingan. Dia juga meminta kepada Allah dalam ibadah shalat itu agar dikokohkan di atas jalan yang lurus.
Akan tetapi manusia dalam hal ini berbeda-beda kondisinya:
- Ada jenis manusia yang ketika shalat, ia semakin menghadap kepada Allah.
- Ada pula jenis manusia yang shalatnya tidak memberikan pengaruh apa pun dari batasan yang diharapkan. Ia hanya mengerjakan shalat dalam bentuk gerakan dan bacaan dzikir serta tasbih, namun tanpa adanya kehadiran hati yang utuh terhadap ibadah shalat yang sedang ia kerjakan, tidak juga disertai dengan upaya untuk menghadirkan hati terhadap bacaan yang ia baca.
Ibadah shalat yang diinginkan oleh Islam bukan sebatas bacaan-bacaan hasil bergeraknya lisan, bukan sebatas perpindahan gerakan yang dilakukan oleh anggota badan namun tanpa penghayatan dan kekhusyukan dari dalam hati.
✍️ -- Penerjemah: Hari Ahadi [Terjemahan Kutaib al-Khusyuk fish Shalah]
▶️ Mari ikut berdakwah dengan turut serta membagikan artikel ini, asalkan ikhlas insyaallah dapat pahala.
📡 https://t.me/nasehatetam
🖥 www.nasehatetam.net