Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

dalil yang membolehkan meninggalkan shalat berjamaah demi maslahat yang lebih besar

5 tahun yang lalu
baca 11 menit

DALIL-DALIL SYAR’I YANG MEMBOLEHKAN MENINGGALKAN SHALAT BERJAMAAH DI MASJID DEMI KEMASLAHATAN YANG LEBIH BESAR

Dalil yang Membolehkan Meninggalkan Shalat Berjamaah Demi Maslahat yang Lebih Besar
الحمد الله رب العالمين، وأشهد أن لا إله إلا االله وليّ الصالحين، وأشهد أن نبينا محمدا عبده ورسوله صلى االله عليه وسلم، أما بعد

Sesungguhnya, seiring dengan tersebarnya wabah virus corona, dan adanya upaya-upaya pencegahan dari banyak negara untuk memutus mata rantai penyakit ini, sebagian negara-negara Islam membuat keputusan larangan shalat berjamaah di masjid, sebagai salah satu bentuk pencegahan.

Haiah Kibarul Ulama (Komite Ulama Senior) Kerajaan Saudi Arabia menerbitkan fatwa yang memutuskan untuk meninggalkan shalat berjamaah di masjid-masjid.

Sebagian mereka menyebutkan bahwa fatwa ini terbit setelah adanya kaji telaah terhadap perkembangan terkini bersama Menteri Kesehatan. Mereka menyadari akan kemungkinan bahaya yang terjadi manakala tidak dilakukan upaya untuk memutus mata rantai penyebarannya.

1. DALIL-DALIL YANG MELARANG SHALAT BERJAMA’AH DI MASJID

Dalil-dalil yang mereka jadikan sebagai dasar untuk melarang shalat berjamaah di masjid adalah dalil-dalil yang bersifat umum.

Seperti larangan bagi seseorang dari menjerumuskan diri sendiri ke dalam kebinasaan, larangan dari membunuh diri sendiri, larangan pemilik onta yang sakit menggiring ontanya bersamaan dengan pemilik onta yang sehat, dan perintah untuk menjauhi penderita kusta, larangan masuk daerah yang terkena wabah tha’un, sebagaimana mereka berdalil dengan kaidah,

“Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain.”

Serta dalil-dalil lain yang semisal dengan itu.

2. ORANG ORANG YANG BAIK BERSEDIH KARENA PENONAKTIFAN SHALAT BERJAMAAH DI MASJID-MASJID.

Sungguh orang-orang yang baik bersedih disebabkan kondisi yang memaksa mereka untuk tidak shalat berjamaah, karena hati-hati mereka sangat dekat dengan masjid, akan tetapi mereka menerima keputusan Allah dengan senantiasa berharap kepada-Nya agar Allah mencurahkan kepada mereka tiga pahala :

Pahala shalat berjamaah yang dahulu biasa mereka selalu menjaganya
Pahala merealisasikan ketaatan kepada pemerintah yang melarang mengerjakan shalat berjamaah demi kemaslahatan masyarakat
Pahala (bersabar) atas musibah yang menimpa mereka

3. KRITIKAN-KRITIKAN TERKAIT KEPUTUSAN PELARANGAN SHALAT BERJAMAAH DI MASJID

Telah disebarkan kritikan-kritikan seputar fatwa ini (1). Kesimpulan dari kritikan-kritikan tersebut sebagai berikut :

PERTAMA

Bahwasanya tidak sepantasnya keputusan pelarangan shalat berjamaah dikeluarkan, karena pada shalat berjamaah itu terdapat kebaikan yang besar, dan shalat berjamaah itu tetap disyariatkan dalam keadaan ketakutan yang nyata (yaitu shalat khauf), maka shalat berjamaah tersebut lebih-lebih di syariatkan pada kondisi yang tingkat ketakutannya masih bersifat perkiraan.

Semestinya pelarangan itu untuk orang yang terinfeksi virus saja, bukan untuk semua orang.

KEDUA

Masjid-masjid tersebut tidak sepantasnya ditutup secara mutlak, karena dahulu wabah-wabah tha’un sudah pernah terjadi, namun belum pernah diketahui bahwa orang-orang dilarang untuk shalat di masjid-masjid. Demikian pula, mengapa masjid-masjid ditutup sedangkan pasar-pasar dibiarkan beroperasi?!(2)

Inilah problem utama yang diangkat oleh sebagian mereka untuk mengkritisi fatwa larangan shalat berjamaah ini.

4. MENGUJI KELAYAKAN KRITIKAN TERHADAP (KEPUTUSAN) MENINGGALKAN SHALAT BERJAMAAH DI MASJID

Perlu diketahui, bahwa shalat berjamaah disyariatkan untuk kemaslahatan yang dominan, inilah mayoritas yang terjadi. Namun terkadang boleh ditinggalkan karena adanya mafsadah dominan.
Inilah titik permasalahan yang harus dipahami oleh siapa saja yang akan masuk ke dalam topik ini.

Syariat yang mulia ini telah menggugurkan kewajiban shalat berjamaah di masjid dari jenis orang tertentu karena adanya mafsadah yang dominan jika mereka menghadirinya:

A. Diantara mereka ada yang digugurkan sama sekali kewajiban shalat berjamaah karena kewajiban shalat berjamaah berat baginya dan bagi selainnya. Sedangkan mashlahat yang didapat manakala dia tidak menghadiri shalat berjamaah itu lebih besar.
Mereka ada dua golongan:

1. Wanita yang tinggal di rumahnya.
2. Hamba sahaya yang meninggalkan shalat jamaah dalam rangka menjaga harta tuannya.

Catatan kaki
(1). Seperti Muhammad Al Hasan Ad Didu, Abdurrahman Abdul Khaliq, Yahya Al Hajuri dan para fanatikusnya, Muhammad Al Imam dan para fanatikusnya, salah satu pengikut pemahaman takfiri dari Maroko yang disebut Abu Nu’aim, seorang yang berpemahaman takfiri Abdullah As Saad, Al Kuury Al Muriitaany dan selain dari mereka.

Sebagian mereka adalah ikhwany pendedam (terhadap dakwah salafiyah, pen.), hampir-hampir rasa dendam keluar dari kedua matanya. Andaikata larangan (shalat berjamaah) keluar dari Erdogan niscaya engkau akan mendapati mereka akan menganggap kemaslahatan yang besar ada pada keputusan larangan (shalat berjamaah)

Diantara para pendendam tersebut adalah seorang yang berpemikiran Ikhwanul Muslimin Muhammad Al Hasan Ad Didu dan seorang yang berpemikiran Ikhwanul Muslimin Abdurrahman Abdul Khaliq, mereka itu tidaklah mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan dendam mereka melainkan akan mereka lampiaskan padanya dengan cara yang paling jelek.

(2). Kritikan ini tidaklah diarahkan melainkan kepada keputusan Menteri Urusan Wakaf di Negeri Yaman, Padahal sudah ada keputusan selain Negeri Yaman tentang larangan berkumpul di semua tempat, baik pasar, masjid-masjid atau selain kedua tersebut.

#bijak_saat_wabah_merebak

B. Di antara mereka ada orang-orang yang Allah gugurkan bagi mereka kewajiban shalat berjamaah, (karena adanya kendala yang muncul), dan akan berlaku lagi kewajiban itu bagi mereka seiring dengan hilangnya kendala tersebut.

Seperti adanya angin kencang, cuaca yang sangat dingin, sakit, merawat orang yang sakit, turun hujan, adanya lumpur (di jalan), memakan bawang putih dan bawang merah, dan hutang, apabila seorang yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya -bukan karena dia seorang yang mengulur-ulur dalam membayar hutang- dan dia khawatir dipenjara.

C. Di antara mereka ada orang yang Allah syariatkan untuk menunda shalat berjamaah karena adanya udzur yang mengharuskannya untuk menunda, seperti di saat makanan telah terhidang sedangkan keinginan untuk menyantapnya sangat kuat, dan seperti pula orang yang sedang menahan buang air.

Dari paparan yang telah lalu, jelaslah bagi kita poin-poin berikut ini:

1. Bahwa kewajiban shalat berjamaah di masjid berlaku jika terpenuhi beberapa syarat, yaitu;
• Keamanan yang sempurna,
• Kemampuan untuk menunaikannya secara berjamaah,
• Berdomisili (muqim) di suatu tempat.

Apabila tidak terpenuhi sebagian dari syarat-syarat tersebut, seperti situasi yang mencekam, tidak ada kemampuan menunaikannya secara berjamaah, atau tersibukkan dengan safar, maka tidak wajib baginya shalat berjamaah.

2. Bahwa Allah yang Maha Mulia Sang Pembuat Syariat telah membolehkan sebagian orang untuk meninggalkan shalat berjamaah, karena maslahat ketidakhadirannya dalam shalat berjamaah lebih dominan dari pada kerusakan yang di akibatkan ketidakhadirannya dalam shalat berjamaah seperti seorang budak yang menjaga harta tuannya.

Atau karena kerusakan yang diakibatkan kehadirannya dalam shalat berjamaah lebih dominan dari pada kerusakan yang diakibatkan ketidakhadirannya dalam shalat berjamaah, seperti seorang muslim yang memakan bawang putih atau bawang merah atau seorang muslim yang jalannya menuju masjid berlumpur atau sedang turun hujan. Tentu, tidak diragukan lagi, bahwa melindungi jiwa manusia lebih utama daripada semua halangan (udzur) ini.

Jika ada yang mengatakan, “Sesungguhnya semua udzur ini berlaku untuk individu tertentu saja, tidak untuk semua orang.”

Maka dijawab, “Sesungguhnya apa yang disyariatkan pada individu tertentu, maka berlaku pula bagi orang selainnya apabila didapati sebab yang sama pada mereka. Barang siapa membedakannya, maka hendaknya mendatangkan dalil.”

5. UJI KELAYAKAN TERHADAP KRITIKAN YANG MENENTANG KEPUTUSAN BOLEHNYA MENINGGALKAN MASJID DAN MENUNAIKAN SHALAT DI RUMAH

Apa yang kami katakan terkait bolehnya meninggalkan shalat berjamaah di masjid karena adanya maslahat yang dominan, itu pula yang kami katakan terkait penutupan masjid-masjid.

Secara hukum asal, masjid-masjid semestinya senantiasa terbuka untuk shalat lima waktu, namun terkadang ada sebuah kondisi yang mana shalat berjamaah di luar masjid jauh lebih besar maslahatnya dari pada ditunaikan secara berjamaah di masjid-masjid.

Diantara contohnya, Allah Yang Maha Mulia Sang Pembuat Syariat telah menyunnahkan kepada kita (dalam hal shalat dua hari raya) untuk menunaikannya secara berjamaah di tanah lapang di luar kampung, dan tidak ditunaikan secara berjamaah di masjid-masjid.

Yang demikian itu, demi terwujudnya beberapa maslahat seperti :
• Berkumpulnya manusia,
• Saling bertemu antara kaum muslimin,
• Menampakkan syiar-syiar Islam

Padahal telah disepakati bahwa masjid-masjid itu lebih utama dari pada tanah lapang.

Tentu, tidak di ragukan lagi bahwa melindungi jiwa manusia (dengan mengarahkan mereka shalat di rumah di masa covid-19 ini, pen.) lebih utama dari pada beberapa maslahat yang telah disebutkan.

A. Terkadang ada kondisi-kondisi tertentu (seperti fitnah pertikaian yang terjadi di antara kaum muslimin) yang menyebabkan kaum muslimin tidak shalat berjamaah di masjid-masjid karena takut terbunuh.

Sebagaimana hal ini pernah terjadi di Kota Madinah ketika terjadi peristiwa al Harrah di masa Yazid Bin muawiyah. Ketika itu kaum muslimin tak ada yang shalat di Masjid Nabawi kecuali yang di nukilkan dari Said bin al-Musayyib bahwa beliau tetap shalat di Masjid Nabawi.

B. Bisa pula terjadi penyerangan terhadap negeri-negeri kaum muslimin, sehingga menuntut untuk meninggalkan shalat berjamaah karena takut terhadap keselamatan diri-diri mereka.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah telah menyebutkan dalam kitab “Al-Bidayah Wan Nihayah” peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun (656 H), tentang penyerangan pasukan Tartar ke Irak, yang telah menyebabkan kerusakan yang dahsyat, seperti mangkraknya masjid-masjid dan terhentinya pelaksanaan shalat berjamaah dan shalat Jumat di Kota Baghdad selama berbulan-bulan.

6. PELARANGAN PENGUASA UNTUK MENGHADIRI SHALAT BERJAMAAH

Terkadang ada sebuah kejadian yang menuntut pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan larangan shalat berjamaah di masjid karena kondisi yang ada.

Al Imam Al Bukhari rahimahullah berkata di dalam kitab Shahihnya, “Kitabul Hajji” Bab : Bolehnya Menutup Pintu Ka’bah, dan Shalat Di Bagian Mana Saja Yang Dimaukan Padanya.”

Asy Syaikh al Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh Shahih Al Bukhari :

Perkataan penulis rahimahullah, Bab : “Bolehnya Menutup Pintu Ka’bah, dan Shalat Di Bagian Mana Saja Yang Dimaukan Padanya.”

Beliau rahimahullah hendak menjelaskan bahwa menutup masjid-masjid dan Ka’bah serta yang semisal itu diperbolehkan manakala dibutuhkan, dan tidak bisa dikatakan bahwa ini termasuk menghalangi masjid-masjid Allah dari penyebutan nama Allah di dalamnya, mengingat adanya maslahat atau kebutuhan atau bisa jadi karena darurat, maka yang demikian ini tidaklah mengapa.(1)

Aku katakan : Atas dasar itu, boleh jadi secara terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menutup masjid-masjid karena adanya kebutuhan untuk menutupnya.

Seperti misalnya ada sekelompok penjahat di beberapa kota (yang meresahkan masyarakat, pen.) sehingga dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan jalan-jalan, atau larangan keluar rumah, atau penutupan masjid-masjid, atau yang semisal itu.

Maka apa yang aneh dari kebijakan-kebijakan ini?!(2)

Catatan Kaki :

(1) Syarh Shahih al Bukhari 5/308.

(2) Telah terjadi yang demikian itu pada peristiwa pemberontakan Juhaiman (di Saudi Arabia, pen.), yang mana saat itu terjadi baku tembak antara pasukan pemerintah dengan para pemberontak – Juhaiman dan para pengikutnya -, maka kaum muslimin pun dilarang pergi ke Masjidil Haram selama beberapa hari karena dikhawatirkan ada yang terbunuh atau menjadi korban.

Bantahan Terhadap Berbagai Syubhat Yang Berkembang

A. Adapun perkataan mereka, “Pada shalat berjamaah terdapat kebaikan yang sangat besar.”

Maka dijawab :

Tidak ada seorangpun yang mengingkari hal itu, namun kerusakan yang timbul ketika shalat berjamaah (di masjid) pada saat tersebarnya wabah dan di hari-hari seperti ini, jauh lebih besar dari pada kemaslahatan menghadiri shalat berjamaah. Sedangkan kerusakan-kerusakan yang besar ini kaitannya dengan nyawa dan harta yang tidak sedikit jumlahnya dalam rangka untuk membiayai pengobatan para penderita covid-19 itu.

B. Adapun perkataan mereka, “Shalat berjamaah tetap disyariatkan pada saat terjadi ketakutan yang nyata (yaitu shalat khauf), maka tentunya shalat berjamaah itu lebih di syariatkan pada kondisi yang tingkat ketakutannya masih bersifat perkiraan.”

Maka dijawab :

Tidaklah shalat berjamaah di syariatkan pada saat terjadi ketakutan yang nyata tersebut melainkan karena padanya terdapat maslahat yang lebih besar dari pada kerusakan akibat meninggalkannya.

C. Adapun perkataan mereka, “Semestinya pelarangan itu untuk orang yang terinfeksi virus saja, bukan untuk semua orang.”
Maka dijawab :

Sesungguhnya orang yang terinfeksi virus covid-19 ini bisa jadi tidak merasa bahwa dirinya sedang terinfeksi. Dia baru mengetahui terinfeksi manakala ada korban yang dia tulari. Oleh karena itu, yang lebih utama adalah pelarangan shalat berjamaah secara total.

Insyaallah bersambung..

Sumber tulisan : inifaktabukanfitnah.com || Telegram : https://t.me/inifaktabukanfitnah