BERIBADAH DI RUMAH SAAT TERJADI WABAH
Berdasarkan himbauan Pemerintah yang mempertimbangkan seluruh aspek dan dampaknya terkait pencegahan sebaran virus corona lebih meluas, maka sebagai warga negara yang baik tidak ada alasan untuk mengatakan tidak dalam merealisasikan himbauan-himbauan tersebut.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memegang teguh prinsip as sam’u wat tho’ah (mendengar dan taat) kepada pemerintah, apalagi untuk kemaslahatan umat dan kepentingan orang banyak.
Ulama telah menerbitkan fatwa yang sejalan, selaras dan saling menguatkan dengan himbauan-himbauan pemerintah tersebut, antara lain beribadah di rumah, termasuk shalat jum’at dan shalat berjama’ah. Shalat lima waktu dikerjakan di rumah, sedangkan shalat jum’at maka diganti dengan shalat zhuhur 4 rakaat di rumah.
Ada beberapa hal yang bersifat pertanyaan dan cukup mengganjal di hati, bahkan sampai muncul kerancuan, bagaimanakah sebenarnya?
Kerancuan Pertama
Ketika pecah perang, ada rasa takut muncul, rasa takut tersebut nyata dan realita, shalat jamaah tidak lantas gugur. Kenapa shalat jamaah gugur hanya karena kekhawatiran virus corona yang masih bersifat kemungkinan ?
Jawaban :
Justru wabah virus corona lebih nyata!
Dalam perang musuh dapat terlihat, sedangkan virus corona tidak terlihat
Ketika perang, posisi musuh dapat diperkirakan dan diperhitungkan, sementara virus corona susah ditebak.
Wabah virus corona bukan lagi sebuah kekhawatiran tanpa alasan, korban meninggal dunia telah banyak berjatuhan.
Orang Dalam Pengawasan (ODP) , Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan status suspect pun meningkat tajam. Banyak negara telah menerapkan lockdown (isolasi wilayah), sehingga wabah virus corona adalah sesuatu yang nyata.
Terkait praktek shalat khauf (shalat di saat pecah perang), ada juga opsi shalat sendiri-sendiri, tidak berjama’ah ketika situasi tidak memungkinkan.
Al-Hafizh Ibnu Katsir (Tafsir 2/398) telah mengulas :
”Praktek shalat khauf itu banyak caranya, terkadang arah musuh dari arah kiblat, bisa juga dari arah berlawanan kiblat. Shalat itu sendiri ada yang 4 rakaat, 3 rakaat seperti Maghrib, 2 rakaat semacam Shubuh dan shalat musafir. Kadang-kadang ditegakkan secara berjamaah. Saat perang berkecamuk kadang-kadang mereka tidak bisa melaksanakan shalat berjama’ah, maka shalatlah sendiri-sendiri, menghadap ke arah kiblat maupun tidak ke arah kiblat”
Kerancuan kedua
Wabah virus corona terjadi karena dosa-dosa hamba, kenapa justru meninggalkan shalat jum’at dan shalat jama’ah?
Jawaban :
Benar! Apapun yang terjadi pada diri kita dikarenakan dosa-dosa kita sendiri. Oleh sebab itu kita diperintahkan untuk banyak-banyak bertaubat dan beristighfar.
Apakah taubat dan istighfar itu tidak bisa dilakukan di rumah ?
Apakah taubat dan istighfar itu harus dikerjakan di masjid ?
Dalam kondisi semacam ini, yaitu shalat dikerjakan di rumah justru semakin membantu untuk semangat taubat dan istighfar, kenapa ?
Bagi yang cinta masjid, untuk yang senang berjamaah di masjid, dengan shalat di rumah terasa berat dan susah di hatinya. Ia bisa menghayati betapa efek buruk dan dampak negatif dari dosa-dosa itu sangat menakutkan
Beberapa kondisi Syariat Islam memberikan rukhsah (keringanan). Sementara Rasulullah memerintahkan supaya kita melaksanakan rukhsah tersebut, beliau bersabda :
هُوَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا رُخصَتَهُ
Artinya : “Itu adalah sedekah yang Allah sedekahkan untuk kalian, terimalah keringanan yang Allah berikan”
Hadits Umar bin Khatab dishahihkan Al Albani dalam At Ta’liqaatul Hisan 2729
BERIBADAH DI RUMAH SAAT TERJADI WABAH (Bagian #2)
Shalat berjama’ah di masjid disepakati sebagai amalan yang memiliki keutamaan besar. Sebagian ulama mengatakan hukumnya sunnah muakkadah, dan sebagian yang lainnya menegaskan bahwa hukumnya wajib. Namun ulama juga menjelaskan adanya udzur (alasan-alasan syar’i) yang membolehkan pelaksanaannya di rumah, antara lain ketika tersebarnya wabah penyakit.
Al Mardaawi Al Hanbali (Al Inshaf 4/464) menjelaskan :
”Ada udzur untuk meninggalkan shalat jum’at dan shalat jama’ah bagi orang sakit, tidak ada perselisihan dalam hal ini. Ada udzur juga untuk tidak ikut shalat jum’at dan shalat jama’ah karena khawatir tertular penyakit”
Kerancuan ketiga
Kita beriman kepada qadha dan qadar. Oleh sebab itu, kita tidak boleh meninggalkan kewajiban karena kekhawatiran terhadap wabah penyakit.
Jawaban :
Beriman kepada qadha dan qadar tidak menafikan ikhtiar, berusaha malah menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dari beriman kepada qadha dan qadar
Orang sakit misalkan, Ia diperintahkan untuk berobat, bahkan Rasulullah pernah ditanya :
”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh berobat ketika sakit?”.
Beliau menjawab : ”Wahai hamba-hamba Allah, berobatlah! Sungguh, tidaklah Allah turunkan satu penyakit melainkan Allah turunkan obatnya, kecuali satu jenis penyakit”
Beliau maksudkan adalah penyakit tua, penyakit yang tidak dapat diobati.
(HR Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan Al Albani)
Adapun keterangan yang menjelaskan secara khusus terkait wabah penyakit adalah ketika kita membaca riwayat khalifah Umar bin Khatab yang disebutkan oleh Bukhari (5729) Muslim (2219) :
Beliau bersama rombongan sedang menuju Syam, di tengah perjalanan, ada informasi bahwa wabah penyakit tha’un sedang menjangkit di negeri Syam. Khalifah Umar lalu meminta pendapat kaum muhajirin, sahabat Anshar dan sesepuh-sesepuh Quraisy.
Setelah mendengar berbagai pendapat, Khalifah Umar memutuskan untuk pulang, tidak melanjutkan perjalanan
Abu Ubaidah bin al-Jarrah bertanya, “Apakah untuk menghindari takdir Allah?”
Khalifah Umar menjawab, “Kalau saja bukan engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah (tentu aku tidak akan heran –pen.). Ya, kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain
Apa pendapatmu seandainya engkau mempunyai seekor unta yang turun di sebuah lembah yang memiliki dua lereng, salah satunya subur dan yang kedua tandus. Jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, bukankah engkau menggembalakannya dengan takdir Allah? Begitu pun sebaliknya. Kalau engkau menggembalakannya di tempat yang tandus, bukankah engkau menggembalakannya juga dengan takdir Allah?”
Dengan demikian, usaha yang dilakukan dengan membatasi kontak fisik dengan orang banyak pun termasuk taqdir yang kita jalani, termasuk tidak shalat jamaah dan tidak shalat jum’at.
Kerancuan keempat
Rasulullah telah menjelaskannya cara penanganan saat wabah penyakit tersebar yaitu dengan karantina, namun beliau tidak pernah mengajarkan umatnya untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jama’ah akibat wabah virus.
Jawaban :
Jangan karena tidak ada keterangan eksplisit, lantas disimpulkan demikian!
Bimbingan Rasulullah adalah menerapkan sistem isolasi dan konsep karantina. Apa tujuannya? Mencegah penyebaran wabah. Jika di suatu daerah sudah dipastikan wabah penyakit telah masuk, bukankah bimbingan Rasulullah untuk isolasi harus dilakukan? Isolasi itu termasuk isolasi individu dengan tetap tinggal di rumah.
Cobalah berlapang dada dengan menyimak fatwa-fatwa ulama yang menjabarkan keterangan Rasulullah. Fatwa-fatwa ulama menunjukkan bahwa shalat jum’at dan shalat jama’ah dapat ditinggalkan ketika wabah penyakit menyebar.
Baca Juga :
Kisah Umar bin Khaththab Saat Memasuki Wilayah Wabah
InsyaAllah Bersambung…
Sumber : https://www.inifaktabukanfitnah.com/menjawab-kerancuan-beribadah-di-rumah-saat-terjadi-wabah/