Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin pernah ditanya tentang orang yang menghadapi kejadian pada masing-masing pendapat masyarakat di negerinya yaitu:
1. Berpuasa dan beridulfitri bersama arab saudi
2. Berpuasa dan beridulfitri bersama negara di tempat tinggal
3. Berpuasa Ramadan bersama negara di tempat tinggal. Adapun puasa Arafah, bersama Arab Saudi
Syekh menjawab,
اختلف العلماء رحمهم الله فيما إذا رؤي الهلال في مكان من بلاد المسلمين دون غيره، هل يلزم جميع المسلمين العمل به، أم لا يلزم إلا من رأوه ومن وافقهم في المطالع، أو من رأوه، ومن كان معهم تحت ولاية واحدة، على أقوال متعددة، وفيه خلاف آخر.
والراجح أنه يرجع إلى أهل المعرفة، فإن اتفقت مطالع الهلال في البلدين صارا كالبلد الواحد، فإذا رؤي في أحدهما ثبت حكمه في الآخر، أما إذا اختلفت المطالع فلكل بلد حكم نفسه، وهذا اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية - رحمه الله تعالى - وهو ظاهر الكتاب والسنة ومقتضى القياس:
أما الكتاب فقد قال الله تعالى: {فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} فمفهوم الآية: أن من لم يشهده لم يلزمه الصوم.
وأما السنة فقد قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا» مفهوم الحديث إذا لم نره لم يلزم الصوم ولا الفطر.
وأما القياس فلأن الإمساك والإفطار يعتبران في كل بلد وحده وما وافقه في المطالع والمغارب، وهذا محل إجماع، فترى أهل شرق آسيا يمسكون قبل أهل غربها ويفطرون قبلهم، لأن الفجر يطلع على أولئك قبل هؤلاء، وكذلك الشمس تغرب على
أولئك قبل هؤلاء...إلى
ولكن إذا كان البلدان تحت حكم واحد وأمر حاكم البلاد بالصوم، أو الفطر وجب امتثال أمره؛ لأن المسألة خلافية، وحكم الحاكم يرفع الخلاف.
وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه.
Para ulama rahimahumullah terjadi perbedaan pendapat apabila hilal terlihat di suatu tempat dari negeri-negeri kaum muslimin dan tidak tampak di negeri lain. Apakah semua kaum muslimin harus beramal dengannya atau tidaklah diharuskan melainkan orang yang melihatnya dan yang sama dengan mereka dalam mathla' (tempat munculnya hilal) atau untuk orang yang melihatnya dan yang bersamanya di bawah satu naungan. Dalam hal ini terdapat banyak pendapat dan terdapat pula perbedaan pendapat dalam hal yang lain.
Pendapat yang kuat adalah hal ini dikembalikan kepada yang ahli. Jika mathla' hilal terlihat pada dua negara, maka itu sama dengan satu negara, apabila terlihat pada salah satunya, tetap pula pada yang sama dengannya. Adapun apabila mathla'nya berbeda, maka masing-masing negara berlaku padanya hukum tersendiri. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh syeikhul islam Ibnu Taimiah rahimahullah, dan pendapat ini sesuai dengan yang nampak dari al-Quran dan sunah serta kias.
Adapun di dalam al-Quran, maka sungguh Allah ta'ala berfirman,
"Barangsiapa di antara kalian menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka hendaknya dia mengganti sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, agar kalian bersyukur" (al-Baqarah: 185).
Yang difahami dari ayat ini bahwa barang siapa yang tidak menyaksikannya, maka tidak wajib berpuasa.
Adapun dalil dari sunah, sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,
'Apabila kalian melihat hilal, maka hendaknya kalian berpuasa dan apabila kalian melihat hilal, hendaknya kalian beridulfitri.'
Yang difahami dari hadis ini, apabila tidak melihat hilal, tidak wajib berpuasa dan beridulfitri.
Adapun kias, karena berpuasa dan beridulfitri teranggap pada setiap negeri masing-masing dan yang sama dengannya dalam hal terbit dan terbenamnya, ini merupakan hal yang disepakati. Oleh karena itu, engkau saksikan penduduk timur asia, mereka berpuasa sebelum penduduk di bagian baratnya dan beridulfitri sebelum mereka karena waktu subuh nampak bagi mereka sebelum mereka, demikian pula mataharinya terbenam pada mereka sebelum mereka.
Namun apabila negeri tersebut di bawah satu naungan dan hakim dalam suatu negeri memerintahkan berpuasa atau beridulfitri, maka wajib untuk menaatinya karena masalah perselisihan ini, menjadi hilang dengan keputusan hakim.
Atas dasar ini, berpuasalah dan beridulfitrilah sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk negeri tempat kalian bermukim baik ketetapannya sama atau berbeda dengan negeri asal kalian. Hal ini juga berlaku pada hari Arafah, ikutilah negeri tempat kalian bermukim."
Sumber: Majmu' al-Fatawa, 19/39-41.
Alih bahasa: Abu Fudhail Abdurrahman bin Umar
#nasihat
Sumber: https://www.alfudhail.com/apakah-harus-sama-penentuan-puasa-arafah-dan-ramadan-dengan-arab-saudi/
-----------------------
Pertanyaan:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ: مَاضِيَةٍ وَمُسْتَقْبَلَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً
“Puasa hari Arafah akan menghapus dosa dua tahun, setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. Adapun puasa hari Asyura akan menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR. al-Bukhari)
Apabila tanggal 9 Dzulhijjah berbeda dengan di Indonesia, misalnya, bagaimana yang harus kita laksanakan terkait dengan puasa Arafah?
Jawaban:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab sebagai berikut.
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, apakah munculnya hilal dianggap serempak di seluruh dunia atau berbeda-beda karena adanya perbedaan matlak?
Yang benar adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan matlak.
Contohnya, apabila hilal sudah terlihat di Makkah, misalnya, sekarang hari tanggal sembilan (hari Arafah). Sementara itu, hilal di negara lain terlihat sehari sebelum terlihat di Makkah. Jadi, ketika hari Arafah di Makkah, mereka (di negara lain) sudah tanggal sepuluh. Mereka (yang di negara lain itu) tidak boleh berpuasa pada hari itu karena hari itu adalah hari id (bagi mereka).
Demikian juga sebaliknya, ketika rukyat hilal mereka tertinggal (satu hari) dari rukyat di Makkah. Artinya, ketika tanggal sembilan di Makkah, mereka baru masuk tanggal delapan. (Dalam keadaan ini) mereka berpuasa Arafah pada tanggal sembilan di negara mereka, yang bertepatan dengan tanggal sepuluh di Makkah.
Ini menurut pendapat yang rajih (kuat). Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
“Apabila kalian melihatnya (hilal), berpuasalah. Apabila kalian melihatnya, berbukalah (masuk Idul Fitri).”
Mereka yang hilalnya tidak terlihat dari arah mereka, berarti mereka belum melihatnya. Hal ini sebagaimana telah disepakati, terbit fajar dan terbenam matahari menyesuaikan dengan daerah masing-masing. Demikian pula penetapan waktu bulanan, ia seperti penetapan waktu harian.
(Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasaail Ibni Utsaimin)
Hal ini juga sesuai dengan prinsip yang diajarkan oleh ulama salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu beribadah bersama pemerintah negaranya.
Imam Ibnu Baththah al-Ukbari berkata,
“Para ulama ahli fikih, ilmu, ahli ibadah, dan orang-orang zuhud sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini telah bersepakat bahwa shalat Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan kurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (al-Ibanah, hlm. 276—281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hlm. 16)
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar Hafizhahullah)
https://asysyariah.com/jika-9-dzulhijjah-di-indonesia-berbeda-dengan-arab-saudi/amp/