Asysyariah
Asysyariah

zakat biji-bijian dan buah-buahan

4 tahun yang lalu
baca 12 menit
Zakat Biji-Bijian dan Buah-Buahan

Tidak semua hasil tanaman yang beraneka ragam itu terkena zakat. Kewajiban zakat hanya terbatas pada beberapa jenis biji-bijian dan buah-buahan menurut pendapat yang benar.

Jenis Biji-Bijian & Buah-Buahan yang Terkena Zakat

Tidak ada khilaf (perselisihan) di antara ulama bahwa jenis biji-bijian berupa gandum sya’ir dan gandum burr (hinthah)[1], serta jenis buah-buahan berupa kurma kering (tamr) dan kismis (zabib) terkena kewajiban zakat. Jadi empat jenis ini, berdasarkan kesepakatan ulama, dikenai zakat, walhamdulillah.

Namun, ada khilaf dalam hal batasan jenis biji-bijian dan buah-buahan tersebut.  Ada beberapa mazhab dalam permasalahan ini. Mazhab yang terbaik ada tiga, yaitu:

  1.  Terbatas pada empat hasil tanaman tersebut

Dalilnya hadits Abu Musa al-Asy’ari dan Muadz bin Jabal radhiallahu anhuma bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda saat mengutus keduanya ke negeri Yaman,

لاَ تَأْخُذَا فِى الصَّدَقَةِ إِلاَّ مِنْ هَذِهِ الْأَصْنَافِ الْأَرْبَعَةِ: الشَّعِيرِ، وَالْحِنْطَةِ، وَالزَّبِيبِ، وَالتَّمْرِ

“Janganlah kalian berdua memungut zakat dari selain empat jenis ini: gandum sya’ir, gandum hinthah (burr), kismis, dan kurma kering.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, al-Hakim, ad-Daruquthni, dan al-Baihaqi)

Hadits ini datang dari banyak jalan riwayat yang berbeda-beda bentuknya. Ada yang maushul (bersambung) dan ada yang mursal (terputus). Kesimpulannya, hadits ini dinilai sahih oleh al-Hakim dan dibenarkan oleh adz-Dzahabi serta Syaikh al-Albani[2]. Demikian pula al-Baihaqi, asy-Syaukani dalam Nailul Authar, dan Syaikh Muqbil al-Wadi’i sebagaimana dalam Ijabatus Sa’il menguatkan hadits ini dengan gabungan seluruh jalan riwayat yang ada. Wallahu a’lam.

Hadits ini mengkhususkan keumuman dalil-dalil yang bersifat umum bahwa hal itu terbatas hanya pada empat jenis hasil tanaman tersebut. Dalil-dalil yang bersifat umum itu seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ

“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah apa-apa yang baik dari penghasilanmu dan dari apa-apa yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi.” (al-Baqarah: 267)

وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ

“Dan hendaklah kalian mengeluarkan zakatnya pada hari panennya.” (al-An’am: 141)

Baca juga: Adab Pembayaran Zakat

Hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma,

فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ، وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ

“Tanaman yang pengairannya dengan air hujan dan mata air, atau mengisap air dengan akarnya, zakatnya sepersepuluh. Sedangkan tanaman yang pengairannya dengan nadh[3], bantuan binatang (unta atau sapi) untuk mengangkut air, zakatnya seperdua puluh.” (HR. al-Bukhari, no. 1483)

Hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu,

فِيمَا سَقَتِ الْأَنْهَارُ وَالْغَيْمُ الْعُشُورُ، وَفِيمَا سُقِيَ باِلسَّانِيَةِ نِصْفُ الْعُشْرِ

“Tanaman yang diairi dengan air sungai dan air hujan zakatnya sepersepuluh, sedangkan tanaman yang pengairannya dengan as-saniyah[4] zakatnya seperdua puluh.” (HR. Muslim, no. 981)

Hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu,

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada hasil tanaman yang takarannya kurang dari lima wasaq.” (HR. al-Bukhari, no. 1447, 1484, dan Muslim, no. 979)

Ini adalah pendapat Ibnu Umar, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibnul Mubarak, Sufyan ats-Tsauri, Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh asy-Syaukani, ash-Shanani, al-Albani, dan guru besar kami al-Wadii.

  1. Terbatas pada biji-bijian dan buah-buahan yang ditakar dan disimpan lama untuk dikonsumsi sebagai makanan pokok sehari-hari keumuman manusia.

Pendapat ini juga berdalilkan dengan hadits Abu Musa al-Asy’ari dan Muadz bin Jabal radhiallahu anhuma di atas, dengan pemahaman bahwa hadits ini menunjukkan pembatasan pada hasil tanaman yang sifatnya seperti empat jenis hasil tanaman tersebut, yaitu yang bersifat sebagai makanan pokok sehari-hari. Namun, dengan syarat hasil tanaman itu merupakan sesuatu yang ditakar berdasarkan hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu di atas. Sebab, hadits tersebut menunjukkan diperhitungkannya takaran pada zakat hasil tanaman.

Ini adalah pendapat asy-Syafii dan Malik, dirajihkan oleh Ibnu Utsaimin dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram. Menurut pendapat ini, beras dan jagung terkena zakat.

Baca juga: Golongan yang Berhak Menerima Zakat

Adapun buah-buahan, dalam pandangan asy-Syafii dan Malik, tidak ada yang terkena zakat kecuali kurma kering dan kismis. Sebab, tidak ada buah selain keduanya yang ditakar dan dikonsumsi sebagai makanan pokok sehari-hari.

  1. Terbatas pada biji-bijian dan buah-buahan yang ditakar dan disimpan lama, meskipun tidak dikonsumsi sebagai makanan pokok sehari-sehari.

Pendapat ini berdalilkan dengan keumuman hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu di atas yang memperhitungkan takaran tanpa memperhitungkan sifatnya sebagai makanan pokok.

Ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dirajihkan oleh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’.

Pendapat pertama dan kedua lebih kuat dari pendapat yang ketig. Kami lebih condong kepada pendapat yang pertama. Wallahu a’lam.

Nishab Biji-Bijian & Buah-Buahan yang Terkena Zakat

Dalil yang menetapkan nisab biji-bijian dan buah-buahan adalah hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu di atas,

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada hasil tanaman yang takarannya kurang dari lima wasaq.” (Muttafaq ‘alaih)

Berdasarkan hadits ini, nisabnya senilai lima wasaq. Satu wasaq senilai enam puluh sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan ijmak (kesepakatan) ulama.

Satu sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam senilai 4 mud. Jadi, 5 wasaq senilai 300 sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Untuk menjaga takaran sha’ Nabi, para ulama mengalihkannya ke dalam berat timbangan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/76) bahwa 1 sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam senilai dengan 2,04 kg gandum burr berkualitas bagus.

Dalam Majmu’ ar-Rasa’il (18/274) beliau menyatakan, “Nilai ini telah dikiaskan ke beras dan hasilnya senilai 2,1 kg.”

Jika ingin membuat alat takar yang senilai dengan sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ambil saja beras berkualitas bagus senilai 2,1 kg. Lalu masukkan dalam wadah yang hendak dibuat sebagai alat takar. Wadah sepenuh 2,1 kg itulah alat takar yang senilai satu sha’.[5]

Baca juga: Harta, Antara Nikmat dan Fitnah

Nisab 300 sha’ yang diperhitungkan pada buah anggur adalah 300 sha’ zabib (kismis/anggur kering), bukan 300 sha’inab (anggur basah) yang belum mengering jadi kismis.

Demikian pula pada kurma, yang diperhitungkan adalah 300 sha’ tamr (kurma kering), bukan 300 sha’ ruthab (kurma basah) yang belum mengering jadi tamr. Jadi, buah anggur tidak terkena zakat hingga takaran kismisnya mencapai 300 sha’. Demikian pula, tidak ada zakat pada kurma hingga takaran tamr-nya mencapai 300 sha’.

Nisab yang diperhitungkan pada biji-bijian adalah 300 sha’ setelah dibersihkan dari jeraminya dan yang lainnya. Sementara itu, kulitnya terbagi dalam tiga jenis:

  • Kulit yang dikupas sebelum penyimpanan biji dan tidak dimakan bersama bijinya.

Kulit seperti ini tidak masuk dalam perhitungan nisab. Jadi, biji tersebut ditakar dalam keadaan murni biji tanpa kulit. Jika takarannya mencapai 300 sha’, berarti mencapai nisab dan terkena zakat.

  • Kulit yang ikut disimpan bersama biji serta dimakan bersamanya.

Kulit seperti ini masuk dalam perhitungan nisab karena kulit tersebut merupakan makanan. Meskipun terkadang kulit tersebut dikupas dan dibuang, pada asalnya ia dimakan bersama bijinya.

Contohnya, jagung. Jika takaran biji jagung bersama kulitnya mencapai 300 sha’, berarti mencapai nisab dan terkena zakat.

  • Kulit yang ikut disimpan bersama biji, tetapi tidak dimakan bersama bijinya.

Kulit tersebut tidak masuk dalam perhitungan nisab, tetapi bijinya ditakar dalam keadaan masih berkulit. Para ulama pun mengatakan bahwa bijinya mencapai nisab jika takarannya bersama bijinya mencapai sepuluh wasaq, yaitu 600 sha’. Artinya, bijinya keluar dengan nilai setengah takaran.

Contohnya, beras dan ‘alas (sejenis gandum hinthah). Jika takaran biji beras atau ‘alas bersama kulitnya mencapai 600 sha’, berarti mencapai nisab dan terkena zakat.

Baca juga: Jenis-Jenis Harta yang Diperselisihkan Zakatnya

Biji-bijian dan buah-buahan sejenis yang merupakan hasil panen dalam setahun digabungkan jadi satu dalam perhitungan nisab dan pengeluaran zakatnya, meskipun waktu panennya tidak serentak.

Adapun yang berbeda jenis tidak disatukan dalam perhitungan nisab dan zakat. Jadi, gandum sya’ir, gandum hinthah, dan beras (menurut pendapat yang menganggap beras terkena zakat)—misalnya—tidak disatukan dalam perhitungan nisab dan zakat.

Adapun jika ditanam dua kali dalam setahun, hasil panen yang kedua digabungkan dengan hasil panen yang pertama dalam perhitungan nisab dan pengeluaran zakat. Demikian menurut pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa keduanya tidak disatukan.

Memperhatikan Nishab

  1. Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni (2/440) berkata,

“Nisab ini dianggap sebagai batas yang harus tercapai. Ketika kurang dari nisab, tidak terkena zakat. Kecuali jika hanya kurang sedikit, seperti kurang satu ons dan semisalnya yang masuk dalam takaran, tidak dianggap berpengaruh (tetap dianggap mencapai nisab). Hal ini seperti kekurangan satu jam atau dua jam pada haul.”

  1. Tidak ada waqas pada zakat hasil tanaman, yaitu kelebihan dari nisab yang tidak terkena zakat

(Silakan lihat kembali keterangan tentang waqas dalam Zakat Hewan Ternak, red.). Jadi, berapa pun kelebihan takarannya dari nisab, tetap keluar zakatnya, meskipun hanya lebih satu sha’. Jadi cara mengeluarkan zakatnya adalah 1/10 atau 1/20 dari seluruh takaran yang ada.

Waktu Wajibnya Zakat pada Tanaman & Waktu Wajibnya Pembayaran

Jika tanaman biji-bijian dan buah-buahan sudah menampakkan hasil, yaitu sudah ada sebagian biji yang mengeras dan sudah ada sebagian buah yang matang yang ditandai dengan berwarna merah atau kuning, berarti hasil tanaman sudah terkena kewajiban zakat jika mencapai nisab. Hal ini merupakan waktu wajibnya zakat pada tanaman menurut pendapat yang rajih. Artinya, pada tanaman itu sudah ada bagian yang merupakan hak ahli zakat (yang berhak dapat zakat).

Namun, tidak berarti zakatnya wajib dikeluarkan saat itu, karena hal itu bukan waktu wajibnya pembayaran zakat. Jika dia menjual tanahnya bersama tanamannya sebelum waktu wajibnya zakat, dia tidak terkena kewajiban zakat dan yang terkena kewajiban zakat adalah pembelinya[6]. Apabila pemilik tanaman itu meninggal sebelum waktu wajibnya zakat, dia tidak terkena kewajiban zakat. Yang terkena kewajiban zakat adalah ahli warisnya yang mewarisi tanaman tersebut.

Baca juga: Golongan yang Berhak Menerima Zakat

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana cara mengetahui bahwa hasil tanaman yang belum dipanen mencapai nisab?

Jawabannya, hal itu diketahui dengan cara kharsh (perkiraan) yang dilakukan oleh ahlinya. Ahlinya menaksir apakah hasil tanaman yang ada takarannya dalam bentuk kismis, tamr, biji yang telah bersih (dari jerami dan selainnya) mencapai nisab atau tidak.

Jika hasil tanaman telah dipanen, lalu buah anggur mengering jadi kismis, buah kurma mengering jadi tamr, biji dibersihkan dari jerami dan selainnya, itulah waktu diwajibkannya pembayaran zakat. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ

“Dan hendaklah kalian mengeluarkan zakatnya pada hari panennya.” (al-An’am: 141)

Perlu diketahui bahwa biaya pengurusan hasil tanaman hingga anggur menjadi kismis, kurma menjadi tamr, biji dibersihkan dari jerami, dan selainnya, seluruhnya merupakan tanggung jawab pemilik tanaman. Hal itu tidak ada kaitannya dengan ahli zakat.

Ukuran Zakat yang Wajib Dikeluarkan

Kadar (ukuran) zakat hasil tanaman yang wajib dikeluarkan telah diatur oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam beberapa hadits. Di antaranya, hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma dalam Shahih al-Bukhari dan hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu dalam Shahih Muslim yang telah disebutkan di atas, hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Sunan al-Baihaqi yang telah kami sebutkan pada Syarat-Syarat Wajibnya Zakat.

Pada hadits-hadits tersebut, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membagi dua kadar zakat yang wajib dikeluarkan sesuai dengan cara pengairannya. Berikut ini rinciannya.

1. Tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/10 dari seluruh hasil tanaman yang ada, yaitu tanaman yang diairi tanpa alat pengangkut air dan beban biaya yang besar.

Jenis ini meliputi tiga hal:

  • Yang diairi dengan air hujan (tadah hujan).
  • Yang diairi dengan air sungai atau mata air secara langsung, tanpa butuh biaya dan alat untuk mengangkutnya. Meskipun pada awalnya seseorang butuh untuk membuat saluran di tanah sebagai tempat aliran air sungai itu ke areal tanamannya di mana hal ini butuh sedikit biaya, tetapi setelahnya air mengalir ke tanaman secara langsung dan tidak butuh untuk diangkut dengan alat dan biaya yang besar.
  • Yang mengisap air dengan akar-akarnya, karena ditanam di tanah yang permukaannya dekat dari air atau ditanam di dekat sungai, sehingga akar-akarnya mencapai air dan mengisapnya.2

2. Tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/20 dari seluruh hasil tanaman yang ada, yaitu tanaman yang diairi dengan bantuan alat pengangkut air dan beban biaya yang besar.

Jenis ini meliputi beberapa hal:

  • Yang diairi dengan bantuan unta/sapi/kerbau untuk mengangkutnya.

Hal ini disebutkan pada hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma dalam Shahih al-Bukhari dan hadits Jabir radhiallahu anhu dalam Shahih Muslim.

  • Yang diairi dengan bantuan alat timba

Hal ini disebutkan pada hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Sunan al-Baihaqi.

  • Yang diairi dengan bantuan alat kincir air atau mesin air.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam al-Mughni (2/438—439),

“Jika air sungai mengalir melalui saluran air menuju suatu tempat yang jaraknya dekat dari tanaman dan tertampung di tempat itu, kemudian air tersebut harus diangkut ke tanaman dengan bantuan timba atau kincir air, hal ini merupakan beban biaya yang menggugurkan setengah kadar zakat yang wajib dikeluarkan (dari sepersepuluh menjadi seperdua puluh). Sebab, perbedaan besar kecilnya biaya serta jauh dekatnya air yang diangkut tidak berpengaruh. Kriterianya adalah butuhnya air itu untuk diangkut ke tanaman dengan bantuan alat berupa timba, binatang, kincir, dan semacamnya.”

Wallahu a’lam.


Catatan Kaki

[1] Juga dikenal dengan qamh. Lihat Lisanul ‘Arab dan kamus-kamus Arab lainnya.

[2] Al-Albani rahimahullah mengingatkan bahwa dalam hadits ini ada tambahan riwayat yang mungkar, yaitu lafaz الذُّرَةِ artinya ‘jagung’. Lihat Irwa’ul Ghalil (3/278), Tamamul Minnah (hal. 369—371).

[3] An-nadh adalah cara mengairi tanaman dengan menggunakan bantuan binatang unta atau sapi untuk mengangkut air dari sumur atau sungai. Yang jantan disebut an-nadhih dan yang betina disebut an-nadhihah. Dinamakan juga dengan as-saniyah seperti pada hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu setelahnya.

[4] Lihat catatan kaki sebelumnya.

[5] Adapun al-Lajnah ad-Daimah berfatwa sebagaimana dalam Fatawa al-Lajnah (9/371) bahwa satu sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam senilai kurang lebih 3 kg beras. Sebenarnya tidak ada pertentangan antara fatwa al-Utsaimin dengan fatwa al-Lajnah. Sebab, ketika nilai satu sha’ yang merupakan satuan takaran dialihkan ke satuan timbangan, berat jenis biji yang ditimbang memengaruhi nilai berat timbangan yang dihasilkan. Wallahu a’lam.

[6] Perhatian: Adapun menjual tanamannya saja tanpa dijual bersama tanahnya, tidaklah diperbolehkan sebelum tanaman itu menampakkan hasil dengan mengerasnya biji dan matangnya buah (praktik terlarang seperti ini biasanya dijumpai dalam sistem ijon, red.).

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari