Telah kita pahami dari pembahasan terdahulu bahwa ulama berbeda pendapat tentang hukum wanita muslimah menampakkan sesuatu dari bagian tubuhnya di hadapan wanita nonmuslimah tanpa keperluan. Dan tidak mengapa sebagai tambahan faedah, kami memaparkan kembali permasalahan ini, dengan rujukan dari Kitab an-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, karya al-Imam al-Hafizh Abul Hasan Ali bin Muhammad bin al-Qaththan al-Fasi dan kitab Fiqhun Nazhar, karya Mushthafa Abul Ghaith.
Kami dapati ahlul ilmi terbagi dua pendapat dalam masalah ini.
Pendapat pertama: Mereka memandang wajib bagi muslimah untuk berhijab di hadapan wanita nonmuslimah dan haram baginya untuk membuka sesuatu dari bagian tubuhnya di depan wanita Nasrani, Yahudi atau musyrikah, bila tidak ada keperluan yang darurat/mendesak. Sehingga dalam hal memandang ini, wanita kafirah sama dengan laki-laki ajnabi (bukan mahram) bagi seorang muslimah.
Demikian pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan yang paling sahih dari mazhab Syafi’i, serta satu riwayat dari al-Imam Ahmad[1]. Mereka berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat an-Nur ayat 31 yang artinya: “Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali di depan suami-suami mereka…. sampai pada firman-Nya, … atau di hadapan wanita-wanita mereka…..”
Kata wanita di dalam ayat disandarkan (di-idhafah-kan) kepada mereka, wanita-wanita mukminah. Hal ini menunjukkan pengkhususan. Ibnu Athiyyah berkata, “Seandainya wanita nonmuslimah boleh melihat ke tubuh muslimah, niscaya tidak tersisa faedah bagi pengkhususan tersebut.”
Selain itu mereka juga berdalil dengan atsar-atsar dari para sahabat dan ulama salaf, namun kebanyakan dari atsar-atsar ini lemah, wallahu a’lam.
Pendapat kedua: Mereka yang berpandangan bahwa dalam hal memandang, wanita nonmuslimah sama dengan wanita muslimah ketika memandang sesama muslimah, sehingga wanita nonmuslimah ini boleh melihat seluruh tubuhnya kecuali antara pusar dan lututnya.
Pendapat ini ada dalam mazhab Syafi’iyyah dan satu riwayat dari al-Imam Ahmad yang merupakan pendapat yang masyhur dalam mazhab pengikut beliau.
Mereka yang memegang pendapat kedua ini berdalil dengan hadits Asma bintu Abi Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Ia berkata “Ibuku datang menemuiku dalam keadaan ia musyrikah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka aku pun minta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Ibuku datang dalam keadaan raghibah[2], apakah boleh aku menyambung hubungan dengannya?” tanyaku.
“Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu,” jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. al-Bukhari no. 2620, 3183, 5978, 5979 dan Muslim no. 1003)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Asma radhiallahu ‘anha untuk menyambung hubungan dengan ibunya yang musyrikah, dan tidak dinukilkan adanya perintah ataupun berita bahwa Asma berhijab dari ibunya.
Hadits lain yang menjadi dalil pendapat kedua ini adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha: Seorang wanita Yahudi pernah masuk menemui Aisyah lalu ia menyebutkan tentang azab kubur, ia berkata, “Semoga Allah melindungimu dari azab kubur.”
Aisyah pun menanyakan tentang azab kubur kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Ya, memang ada azab kubur,” jawab beliau. Aisyah berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari mengerjakan satu shalat pun melainkan beliau mesti berlindung dari azab kubur.” (HR. al-Bukhari no. 1372 dan Muslim no. 586)
Hadits di atas menunjukkan wanita-wanita kafir biasa masuk menemui Ummahatul Mukminin untuk suatu keperluan, bersamaan dengan itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan istri-istri beliau untuk berhijab dari mereka.
Dari perselisihan pendapat yang ada, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab, yang rajih (kuat), dengan melihat dalil masingmasingnya, adalah pendapat kedua, sehingga tidak ada larangan bagi seorang muslimah untuk melepas hijabnya di hadapan wanita nonmuslimah[3], yang demikian ini kita beralasan sebagaimana ucapan Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah :
Adapun ayat ( أَوْ نِسَائِهِنَّ ), di mana dhamirnya (kata ganti yang artinya mereka para wanita) kembali pada wanita-wanita mukminah yang menjadi sasaran pembicaraan di dalam ayat, tidaklah menunjukkan pengkhususan sehingga wanita selain mukminah dikeluarkan darinya.
Namun sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakar ibnul Arabi rahimahullah: “Yang sahih menurutku, firman Allah subhanahu wa ta’ala ini boleh diarahkan kepada seluruh wanita. Adapun dhamir ( هنَّ ) dalam ayat ini didatangkan dalam rangka ittiba’ (pengikutan dengan lafadz sebelumnya bukan menunjukkan pengkhususan –pen.) karena ayat ini merupakan ayat dhamir di mana disebutkan di dalamnya 25 dhamir, tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang menyamainya dalam hal ini.” (Ahkamul Qur’an, 3/1359)
Untuk lebih memantapkan hati, berikut ini kami nukilkan fatwa dua ‘alim kabir dari kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mendukung pendapat kedua ini.
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Ayat أَوْ نِسَائِهِنَّ , mencakup seluruh wanita, mukminah ataupun non mukminah. Inilah pendapat yang paling sahih, sehingga tidak ada kewajiban bagi wanita mukminah untuk berhijab dari wanita kafir, berdasarkan keterangan yang tsabit (kokoh) tentang masuknya wanita-wanita Yahudi di Madinah di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula wanita-wanit penyembah berhala menemui istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tidak disebutkan keterangan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini berhijab dari mereka. Seandainya berhijab dari nonmuslimah ini terjadi dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari selain mereka (dari kalangan shahabiyah), niscaya akan dinukilkan. Karena para sahabat radhiallahu ‘anhum tidaklah meninggalkan sesuatu perkara melainkan mereka mesti menukilkannya. Inilah pendapat yang terpilih dan paling kuat.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 6/361).
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang permasalahan ini beliau menjawab, “Perkara ini dibangun di atas perbedaan pendapat ulama dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat an-Nur ayat 31 tentang dhamir dalam……
Beliau menyebutkan perbedaan pendapat yang ada, kemudian beliau berkata, “Kami sendiri condong kepada pendapat pertama (mencakup seluruh wanita, termasuk nonmuslimah) dan pendapat inilah yang lebih dekat kepada kebenaran karena wanita memandang sesama wanita tidaklah dibedakan antara muslimah dengan nonmuslimah.
Namun tentunya hal ini diperkenankan bila di sana tidak ada fitnah. Adapun bila dikhawatirkan terjadi fitnah seperti si wanita nonmuslimah itu akan menceritakan keberadaan si muslimah kepada kerabat-kerabatnya dari kalangan lelaki, maka ketika itu wajib untuk berhati-hati menjaga diri dari fitnah, sehingga si wanita muslimah tidak membuka sesuatu dari anggota tubuhnya seperti kedua kaki atau rambutnya di hadapan wanita lain, sama saja dalam hal ini (bila ada fitnah –pen.) apakah di hadapan wanita muslimah ataupun nonmuslimah.” (Fatawa al-Mar’ah, hlm. 177)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Di antara ulama mutaakhirin yang berpegang dengan pendapat ini adalah asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah. Beliau berkata, “Dzahir dari apa yang diinginkan dalam ayat ini adalah wanita-wanita dari kalangan muslimin karena wanita-wanita kafir bisa jadi ketika melihat seorang wanita muslimah, ia akan menceritakan/menggambarkan si muslimah kepada suaminya. Sementara itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seorang wanita ketika bergaul dengan wanita lain lalu ia menggambarkan wanita lain itu kepada suaminya….” (Ijabatus Sail ‘ala Ahammil Masail, hlm. 557)
[2] Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Maknanya, ibu Asma’ datang menemui putrinya meminta agar putrinya berbuat baik padanya dalam keadaan ia khawatir putrinya akan menolaknya sehingga ia pulang dengan kecewa, demikian penafsiran jumhur.” (Fathul Bari, 5/286)
[3] Jika sekiranya aman dari fitnah, kata asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya.