Asysyariah
Asysyariah

sikap-sikap baik dalam bermuamalah

4 tahun yang lalu
baca 18 menit
Sikap-Sikap Baik dalam Bermuamalah

Transaksi jual-beli hendaklah mengandung empat hal. Dalam artikel sebelumnya telah dijelaskan dua hal: sah menurut agama dan mengandung keadilan. Berikut ini akan dibahas hal yang ketiga dan keempat: mengandung kebaikan dan sayang terhadap agama

MENGANDUNG KEBAIKAN

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk berbuat adil dan berbuat baik. Di antara bentuk kebaikan ialah sikap toleransi dalam berjual-beli dan tidak menipu saat mengambil untung. Apabila terkait masalah utang-piutang, di antara bentuk kebaikan ialah meminta pelunasan utang, menganggap lunas utang orang lain, menggugurkan sebagiannya, memberi tempo, dan bersikap lunak. Demikian pula apabila ada orang yang hendak meminta dibatalkan transaksinya, ia menerimanya.

Demikian ringkasan penjelasan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Mukhtashar Minhaj al-Qashidin.

Baca juga:

Jangan Meremehkan Satu Kebaikan Pun

Apa yang beliau sebut adalah gambaran sikap toleransi seorang muslim dalam bermuamalah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan sikap demikian karena hal itu akan menjalin hubungan yang baik di antara sesama anggota masyarakat.

Namun, kebaikan itu dilakukan oleh semua pihak, baik pihak penjual maupun pembeli; pihak yang mengutangi dan yang berutang; yang menyewakan dan yang menyewa. Hal ini hendaklah menjadi perhatian semua pihak, bukan hanya sebagian pihak sehingga terjadi ketimpangan.

Pada pembahasan ini kami akan memberikan sedikit perincian sikap-sikap ihsan atau baik dalam hal bermuamalah.

Khiyar

Khiyar adalah opsi atau pilihan antara melangsungkan akad dan membatalkannya. Di antara bentuk toleransi Islam dalam perkara jual-beli adalah adanya khiyar.

Khiyar ini bisa terjadi saat keduanya masih dalam majelis jual-beli—belum berpisah—sehingga keduanya masih memiliki kesempatan berpikir pada transaksi yang mereka langsungkan. Ini disebut khiyar majelis.

Khiyar bisa juga disebabkan adanya cacat pada barang yang dibeli. Ini disebut khiyar aib.

Bisa jadi pula, khiyar disebabkan adanya penipuan sehingga pembeli membelinya dengan harga terlalu tinggi. Ini disebut khiyar ghabn.

Masih ada jenis khiyar yang lain selain yang disebutkan di atas.

Seorang muslim yang taat mestinya tunduk pada aturan ini, baik dia sebagai pihak penjual maupun pembeli. Aturan ini ditetapkan tidak lain demi kemaslahatan semua pihak sehingga saling ridha dapat terwujud dan tidak ada pihak yang dirugikan.

Baca juga:

Berfikih Sebelum Berdagang

Disebutkan dalam hadits dari Hakim bin Hiradhiallahu anhuam radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا

“Penjual dan pembeli itu punya hak khiyar selama mereka belum berpisah.” (Sahih, HR. al-Bukhari)

Menerangkan Aib/Cacat

Pada pembahasan yang telah lewat telah diterangkan tentang larangan menutupi cacat pada barang dagangan. Telah dijelaskan pula bahwa perbuatan itu merupakan salah satu perbuatan zalim yang dapat menghilangkan keberkahan perdagangan.

Sebaliknya, di antara sikap ihsan atau kebaikan pedagang adalah menerangkan aib apabila barang yang dia jual memiliki cacat. Hal ini akan menyebabkan keberkahan dari Allah subhanahu wa ta’ala pada apa yang diperdagangkan.

Menepati Janji

Dalam perdagangan terkadang terdapat suatu perjanjian. Perjanjian ini bisa berupa prasyarat dalam jual-beli yang mereka sepakati. Selama persyaratan tersebut tidak mengandung pelanggaran terhadap agama, kedua belah pihak wajib memenuhinya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

“Kaum muslimin itu berada pada persyaratan-persyaratan mereka.” (HR. Abu Dawud)

Misalnya dalam bentuk jual-beli salam, yaitu pembelian dengan cara memesan suatu barang kepada pedagang dengan spesifikasi yang jelas dengan terlebih dahulu memberikan uangnya. Transaksi yang semacam ini tentu sangat menuntut adanya kejujuran dan menepati janji.

Baca juga:

Jual-Beli dengan Uang Muka

Segera Memberikan Gaji Pegawai

Setelah pegawai melakukan pekerjaannya, segeralah memberikan gajinya. Sebab, hal itu merupakan haknya, sedangkan si pegawai telah memberikan hak majikannya dengan ia melakukan pekerjaannya.

Oleh karena itu, apabila majikan menahan haknya, pada hari kiamat nanti Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadi lawannya sebagaimana hadits yang telah lalu.

Jujur

Kejujuran merupakan sifat yang terpuji. Jujur akan membawa kepada kebaikan.

Seorang pedagang dituntut untuk jujur dalam bertutur kata, menerangkan cacat yang ada pada barang yang diperdagangkan, dan tidak mengada-ada. Karena itu, dia tidak mengatakan bahwa barang itu telah ditawar sekian, sementara belum ditawar dengan harga tersebut atau bahkan belum ditawar sama sekali. Apabila dia harus mesti menyebutkan harga modalnya, dia sebutkan sejujurnya tanpa meninggikannya.

Baca juga:

Kejujuran dalam Jual Beli

Dengan kejujuran tersebut Allah subhanahu wa ta’ala akan memberkahi perniagaannya, sebagaimana hadits yang lalu. Dalam hadits yang lain dari Watsilah bin al-Asqa’ radhiallahu anhu, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ إِلَيْنَا وَكُنَّا تُجَّارًا وَكَانَ يَقُولُ: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami adalah para pedagang. Beliau mengatakan, “Wahai para pedagang, jauhi oleh kalian kedustaan.” (Shahih lighairihi, HR. at-Thabarani, lihat Shahih at-Targhib, 2/164 no. 1793)

Amanah

Amanah juga merupakan sifat yang sangat terpuji. Amanah adalah sifat yang dimiliki oleh orang-orang mulia. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah dijuluki sebagai al-Amin, orang yang sangat amanah, sejak sebelum diangkat sebagai nabi. Sementara itu, lawannya, yaitu khianat, adalah sifat orang-orang munafik.

Sifat amanah sangat dibutuhkan dalam praktik jual-beli, terlebih pada zaman ketika amanah telah diangkat dari umat ini. Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkisah,

“Sesungguhnya amanah itu turun pada pangkal kalbu orang-orang. Lalu turunlah Al-Qur’an sehingga mereka mengetahui ilmu dari Al-Qur’an dan dari As-Sunnah.”

Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan kepada kami tentang tercabutnya amanah. Beliau berkata,

“Seseorang tidur satu kali lalu dicabutlah amanah dari kalbunya, tetapi masih tersisa bekasnya sedikit. Lalu dia tidur sekali (lagi) dan dicabutlah amanah dari kalbunya hingga masih tersisa bekasnya seperti bekas kulit yang menonjol dan berair, seperti bara yang kamu jatuhkan pada kakimu lalu (kulitnya) menjadi berair. Kamu melihatnya meninggi, tetapi tidak ada apa-apanya.”

Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengambil kerikil dan beliau jatuhkan di kakinya.

“Sampai orang-orang saling berjual-beli, hampir-hampir tidak seorang pun yang menunaikan amanah. Sampai-sampai disebut bahwa ada seorang yang amanah dari bani Fulan. Orang pun mengatakan, ‘Betapa pandainya dia, betapa berakalnya dia’, padahal tidak ada dalam kalbunya sebiji sawi pun iman.” (Shahih, HR. Muslim dan yang lain. Lihat sedikit penjelasan dalam Shahih at-Targhib no. 2994)

Baca juga:

Kisah Sebatang Kayu, Amanah yang Nyaris Punah

Sedemikian mahalnya amanah. Oleh karena itu, Anas radhiallahu anhu menyebutkan,

مَا خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ قَالَ: لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ، وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ

Tidaklah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhotbah kepada kami kecuali berkata, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.” (Shahih, HR. Ahmad, al-Bazzar, ath-Thabarani, dan Ibnu Hibban; akan tetapi dalam lafaz beliau, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhotbah kepada kami dan mengatakan dalam khutbahnya, ‘Tidak ada iman…’ dst.” Lihat Shahih at-Targhib no. 3004)

Atas dasar itu, tak mengherankan apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjanjikan kedudukan yang tinggi bagi pedagang yang amanah. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

التَّاجِرَ الْأَمِيْنُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Seorang pedagang yang amanah, jujur, dan muslim, dia akan bersama para syuhada pada hari kiamat.” (Hasan Shahih, HR. Ibnu Majah, lihat Shahih at-Targhib, 2/162 no. 1783)

Seorang pedagang harus amanah dalam segala hal yang terkait dengan perdagangan, termasuk tentunya dalam hal takaran dan timbangan. Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata,

الصَّلاَةُ أَمَانَةٌ، وَالْوُضُوءُ أَمَانَةٌ، وَالْوَزْنُ أَمَانَةٌ، وَالْكَيْلُ أَمَانَةٌ، -وَأَشْيَاءُ عَدَّهَا- وَأَشَدُّ ذَلِكَ الْوَدَائِعُ

“Shalat adalah amanah. Wudhu adalah amanah. Timbangan adalah amanah. Takaran adalah amanah—beliau menyebutkan beberapa hal lain—dan yang paling berat adalah (amanah) titipan-titipan.” (Hasan, diriwayatkan al-Baihaqi. Lihat Shahih at-Targhib, 2/157 no. 1763)

Baca juga:

Berbuat Curang dalam Menakar dan Menimbang

Karena pentingnya amanah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruh kita untuk tetap amanah walaupun kepada orang yang berkhianat kepada kita. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah kewajiban amanah kepada orang yang mengamanahimu. Jangan kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (Hasan, HR. Abu Dawud no. 3535, lihat Shahih Sunan Abi Dawud)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisa: 58)

Tidak Menjual Barang kepada Orang yang Menggunakannya untuk Maksiat

Apabila kita mengetahui bahwa orang yang membeli barang dagangan kita akan mempergunakannya untuk maksiat, kita tidak boleh bagi menjualnya kepadanya. Sebab, hal itu termasuk tolong-menolong dalam perbuatan dosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (al-Maidah: 2)

Tidak boleh juga menjual senjata saat terjadi pertikaian di antara muslimin. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Senjata yang dijual oleh seseorang kepada orang yang dia ketahui bahwa akan menggunakannya untuk membunuh seorang muslim, hukumnya haram, tidak sah. Sebab, hal ini mengandung bantuan dalam perkara dosa dan permusuhan. Apabila dia menjualnya kepada orang yang menggunakannya untuk berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, hal itu merupakan ketaatan dan ibadah.” (al-Mulakhkhas al-Fiqhi, 2/12)

Iqalah

Iqalah artinya pembatalan akad jual-beli dengan kerelaan penjual dan pembeli. Ini merupakan kebaikan yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Penjual dengan rela mau membatalkan akad jual-beli ketika diminta oleh pembeli, saat pembeli membutuhkannya, sekalipun akad telah sah.

Sebagai gambarannya, disebutkan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud,

“Apabila seseorang membeli sesuatu dari orang lain lalu menyesali pembeliannya, mungkin karena ada penipuan, tidak lagi membutuhkannya, tidak punya uang lagi, sehingga ia mengembalikan barang kepada penjual dan penjual pun menerimanya, Allah subhanahu wa ta’ala akan menghilangkan kesusahannya pada hari kiamat nanti. Hal itu merupakan kebaikannya terhadap pembeli. Sebab, akad telah sempurna sehingga pembeli tidak dapat membatalkannya.”

Baca juga:

Membantu Kebutuhan Seorang Muslim

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا بَيْعَتَهُ أَقَالَهُ اللهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa mau membatalkan akad penjualan seorang muslim, Allah akan lepaskan dia dari kesulitannya pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan ini lafaznya, al-Baihaqi, dan yang lain; lihat Shahih at-Targhib no. 1758)

Samahah

Samahah berarti toleransi atau memudahkan urusan. Kita dianjurkan memiliki sikap toleransi terhadap orang lain dalam urusan jual-beli atau utang-piutang dan memudahkan urusan muamalah dengan mereka.

Dari Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

رَحِمَ الله رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang memudahkan urusan saat menjual, memudahkan urusan saat membeli, dan memudahkan urusan saat menagih haknya.” (HR. al-Bukhari)

Dalam riwayat Ibnu Hibban rahimahullah ada tambahan lafaz, “Memudahkan saat melunasi.”

Baca juga:

Hukum Menunda-Nunda Membayar Utang

Dalam riwayat lain dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

غَفَرَ اللهُ لِرَجُلٍ كَانَ قَبْلَكُمْ، كَانَ سَهْلًا إِذَا بَاعَ سَهْلاً إِذَا اشْتَرَى سَهْلاً إِذَا قَضَى سَهْلاً إِذَا اقْتَضَى

“Allah mengampuni seseorang sebelum kalian. Apabila menjual, dia memudahkan urusan. Apabila membeli, dia memudahkan urusan. Apabila melunasi, dia memudahkannya. Apabila menagih, dia juga memudahkannya.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 5/357)

Dalam hadits lain dari Utsman bin Affan radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَدْخَلَ اللهُ الْجَنَّةَ رَجُلًا كَانَ سَهْلًا بَائِعًا وَمُشْتَرِيًا

“Allah memasukkan ke dalam surga, seorang penjual atau pembeli yang memudahkan urusan.” (HR. Ibnu Majah)

Dari Ibnu Umar dan Aisyah radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ طَلَبَ حَقًّا فَلْيَطْلُبْ فِي عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرَ وَافٍ

“Barang siapa menuntut hak, hendaklah dia menuntut dengan menjaga (dari yang tidak halal), terpenuhi atau tidak terpenuhi.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi)

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan tentang hadits Jabir radhiallahu anhu di atas,

“Di dalamnya terdapat anjuran untuk mempermudah urusan muamalah dan berakhlak yang luhur. Tidak musyahah (saling menyulitkan) dan tidak menekan orang dalam menuntut hak, serta memaafkan mereka.” (Fathul Bari)

Wadh’ul Ja’ihah

Ini adalah sebuah istilah ahli fikih. Ja’ihah berarti bencana alam, bukan upaya manusia, semacam angin, hujan, atau hama. Wadh’u berarti menggugurkan. Maksud istilah ini ialah pengguguran akad karena tanaman/buah yang dibeli terkena hama atau bencana sehingga tidak panen.

Apabila terjadi hal semacam ini, kerugian ditanggung penjual. Jadi, penjual mengembalikan uang kepada pembeli sebesar kerugiannya. (Lihat penjelasan dalam kitab al-Mulakhkhas al-Fiqhi 2/41, Syarhul Buyu’ hlm. 64)

Hal tersebut adalah hukum yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟

“Seandainya engkau menjual buah kepada saudaramu lalu hama atau bencana menimpanya, tidak halal bagimu untuk mengambil apa pun darinya (pembeli). Dengan (imbalan) apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim)

Tidak Sering Bersumpah

Maksudnya, sering/banyak bersumpah demi melariskan dagangannya.

Seandainya pun sumpah ini dilakukan dengan jujur, ini adalah sifat tercela. Terlebih lagi jika bersumpah dengan kedustaan.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ: رَجُلٌ حَلَفَ بَعْدَ الْعَصْرِ عَلَى مَالِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ فَاقْتَطَعَهُ، وَرَجُلٌ حَلَفَ لَقَدْ أَعْطَى بِسِلْعَتِهِ أَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَى، وَرَجُلٌ مَنَعَ فَضْلَ الْمَاءِ، يَقُولُ اللهُ :الْيَوْمَ أَمْنَعُكَ فَضْلِي كَمَا مَنَعْتَ فَضْلَ مَا لَمْ تَعْمَلْهُ يَدَاكَ

“Tiga golongan manusia yang didak akan diajak bicara dan tidak dilihat oleh Allah:

  • seseorang yang bersumpah setelah asar[1] atas harta seorang muslim sehingga ia dapat mengambilnya,
  • seseorang yang bersumpah bahwa ia telah memberikan barangnya dengan harga lebih mahal daripada yang ia berikan, dan
  • seseorang yang menghalangi (orang lain) dari kelebihan airnya. Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan, ‘Hari ini Aku halangi kamu dari karunia-Ku sebagaimana kamu halangi (orang) sisa dari sesuatu yang tidak diupayakan oleh kedua tanganmu’.” ( Ibnu Hibban)

Baca juga:

Sumpah Atas Nama Allah dan Rasul-Nya

Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu berkata,

مَرَّ أَعْرَابِيٌّ بِشَاةٍ فَقُلْتُ: تَبِيعُنِيهَا بِثَلاثَةِ دَرَاهِمَ. قَالَ: لاَ، وَاللهِ. ثُمَّ بَاعَنِيهَا، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: بَاعَ آخِرَتَهُ بِدُنْيَاهُ

Seorang Arab badui melewatiku dengan membawa seekor kambing. Aku katakan, “Juallah kepadaku kambing itu dengan harga tiga dirham.” Ia menjawab, “Demi Allah, tidak.” Namun, setelah itu ia menjualnya kepadaku (dengan harga tersebut). Kutanyakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang hal itu. Beliau menjawab, “Dia telah menjual akhiratnya dengan imbalan dunianya.” (Hasan, HR. Ibnu Hibban, lihat Shahih at-Targhib no. 1792)

Dari Abdurrahman bin Syibl radhiallahu anhu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ. قَالَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ، أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ

“Sesungguhnya para pedagang itu adalah para penjahat.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual-beli?”

Beliau menjawab, “Ya, tetapi mereka berbicara lalu berdusta dan mereka bersumpah lalu mereka berdosa.”

(Shahih, HR. Ahmad, lihat Shahih at-Targhib no. 1786)

Dari Salman radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa telah bersabda,

ثَلاثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أُشَيْمِطٌ زَانٍ، وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ، وَرَجُلٌ جَعَلَ اللهَ بِضَاعَةً لاَ يَشْتَرِي إِلاَّ بِيَمِينِهِ وَلا يَبِيعُ إِلاَّ بِيَمِينِهِ

“Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat:

  • orang tua yang berzina,
  • orang miskin yang sombong, dan
  • seseorang yang menjadikan Allah sebagai dagangannya; dia tidak membeli kecuali dengan sumpah dan tidak menjual kecuali dengan sumpah.” (Shahih, ath-Thabarani, lihat Shahih at-Targhib no. 1788)

Dari Abu Dzar radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata,

ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، فَقُلْتُ: خَابُوا وَخَسِرُوا وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْـمُسْبِلُ، وَالْـمَنَّانُ، وَالْـمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ

“Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, tidak akan menyucikan mereka dan mereka mendapat azab yang pedih.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutnya tiga kali. Aku katakan, “Rugi mereka. Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang memanjangkan kainnya (sampai bawah mata kaki), orang yang mengungkit pemberian, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (Shahih, HR. Muslim dan Ashabus Sunan)\

Baca juga:

Larangan Isbal (Menjulurkan Pakaian di Bawah Mata Kaki)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْحَلْفُ مَنْفَقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مَمْحَقَةٌ لِلْكَسْبِ

“Sumpah itu (biasanya) membuat laris dagangan dan (biasanya) menghancurkan penghasilan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, “Menghancurkan berkah.” (Lihat Shahih at-Targhib no. 1794)

 

SAYANG TERHADAP AGAMANYA

Di antara bentuk sikap sayang seorang pedagang terhadap agamanya, baik yang terkait dengan dirinya atau yang mencakup urusan akhiratnya, ialah tidak semestinya ia tersibukkan dari urusan akihratnya karena urusan dunianya. Justru semestinya ia memperhatikan agamanya.

Rasa sayang terhadap agama itu akan terwujud sempurna dengan memperhatikan enam perkara:

Pertama, niat yang baik dalam berwirausaha.

Hendaklah ia meniatkan dengan wirausaha tersebut untuk menjaga dirinya agar meminta-minta dan mencegah rasa tamaknya terhadap milik orang lain. Dia berniat untuk mencukupi keluarganya agar dengan itu ia termasuk golongan mujahidin. Dia juga berniat untuk berbuat baik terhadap sesama muslimin.

Kedua, dengan usahanya dia meniatkan untuk menunaikan salah satu fardu kifayah.

Sebab, apabila perindustrian atau perdagangan terhenti, tentu kehidupan pun akan macet. Namun, di antara industri ada yang sangat penting, ada juga yang kurang perlu, misalnya terkait dengan perhiasan atau sekadar untuk bermewah-mewah. Maka dari itu, bekerjalah pada industri yang penting supaya usahanya bisa mencukupi kaum muslimin. Jauhilah segala industri yang dibenci oleh agama, apalagi yang maksiat.

Ketiga, janganlah pasar dunianya menyibukkannya dari pasar akhiratnya.

Pasar akhiratnya adalah masjid-masjid. Maka dari itu, hendaklah ia menjadikan awal siangnya untuk akhiratnya sampai ia masuk ke pasar dunia atau usahanya. Ia biasakan wirid-wiridnya.

Baca juga:

Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia

Dahulu orang-orang yang saleh dari kalangan ulama salaf yang berprofesi pedagang menjadikan awal siangnya dan akhirnya untuk akhiratnya. Apabila mendengar azan Zuhur dan Asar, hendaklah dia meninggalkan usahanya dan menyibukkan diri untuk melakukan yang wajib.

Keempat, hendaknya senantiasa berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala di pasar atau di tempat usahanya yang lain, membaca tasbih atau tahlil.

Kelima, tidak terlalu berambisi dengan pasar dan perdagangan.

Jadi, dia tidak menjadi orang yang pertama masuk pasar dan yang terakhir keluar darinya.

Keenam, tidak hanya menjauhi yang haram, tetapi juga menjauhi hal-hal yang syubhat.

(Diringkas dari penjelasan Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin)

Para Pedagang, Bersedekahlah…

Dalam praktik jual-beli, hampir tak lepas dari kata-kata yang tidak ada manfaatnya atau bermudah-mudah dalam bersumpah. Lebih parah, terkadang tercampuri oleh kata-kata yang haram, sumpah palsu, dan beragam ucapan dusta.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan para pedagang untuk bersedekah. Sebab, sedekah akan meredam kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam hadits dari Qais bin Gharazah radhiallahu anhu disebutkan,

كُنَّا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُسَمَّى السَّمَاسِرَةَ، فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلْفُ، فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ

Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kami disebut samasirah (yakni sebutan bukan dari bahasa Arab, artinya makelar). Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melewati kami dan menyebut kami dengan sebutan yang lebih bagus darinya. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Wahai para tujjar (kata berbahasa Arab yang berarti ‘para saudagar’), sesungguhnya jual-beli itu tercampuri kata-kata yang tidak manfaat dan sumpah-sumpah, maka campurilah dengan sedekah.” (Shahih, HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Lihat Shahih al-Jami’ no. 7974)

Dalam riwayat lain, “Tercampur dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan dusta.”

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الشَّيْطَانَ وَالْإِثْمَ يَحْضُرَانِ الْبَيْعَ فَشُوبُوا بَيْعَكُمْ بِالصَّدَقَةِ

“Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa mendatangi proses jual-beli. Maka dari itu, campurilah jual-beli kalian dengan sedekah.” (Shahih, HR. at-Tirmidzi, Shahih al-Jami’ no. 7973)

Wallahu a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki

[1] Penyebutan setelah asar secara khusus adalah karena mulianya waktu tersebut. Pada waktu itu berkumpul malaikat malam dan siang. (Fathul Bari)

 

Ditulis oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc.