Asysyariah
Asysyariah

sifat shalat nabi (bagian 10)

13 tahun yang lalu
baca 11 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari)

Keadaan Masbuk Terkait dengan Kewajiban Membaca al-Fatihah
Apabila orang yang masbuk dalam shalat berjamaah mendapati imam masih berdiri, ia membaca al-Fatihah karena hukumnya wajib baginya. Namun, apabila ia mendapati imam telah ruku’, ia bertakbir kemudian ruku’, tanpa membaca al-Fatihah. Saat imam bangkit dari ruku’, ia pun mengikutinya. Dengan ini, ia terhitung beroleh rakaat shalat tersebut walaupun ia tidak membaca al-Fatihah, karena keadaannya sebagai masbuk yang mendapati imam telah ruku’ menggugurkan kewajibannya untuk membaca al-Fatihah.
Demikian pula apabila orang yang masbuk ini sempat mendapati imam masih berdiri untuk membaca surah dalam Al-Qur’an, namun tidak memungkinkan baginya menyelesaikan bacaan al-Fatihah karena imam ternyata telah ruku’. Ia pun bertakbir dan ikut ruku’ bersama imam. Adapun al-Fatihah yang belum selesai dibacanya telah gugur darinya. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Abu Bakrah z dalam Shahih al-Bukhari berikut ini.
أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ n وَهُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ n فَقَالَ: زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
“Ia sampai ke Nabi n (ketika masuk ke masjid) dalam keadaan Nabi sedang ruku’. Ia pun ruku sebelum sampai ke dalam shaf1. Lalu diceritakan hal itu kepada Nabi n. Beliau pun bersabda, ‘Semoga Allah menambah semangatmu untuk berbuat kebaikan, namun jangan kamu ulangi perbuatanmu2’.” (HR. al-Bukhari no. 783)
Ketika Abu Bakrah z masuk ke dalam shalat berjamaah, ia tidak mendapati qiyam (berdiri untuk membaca surah) karena imam telah ruku’, padahal qiyam merupakan saat dibacanya al-Fatihah. Berarti, gugur darinya kewajiban membaca al-Fatihah karena telah berlalu tempatnya. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 2/69—70)
Kita katakan kewajibannya gugur karena Nabi n tidak menyuruh Abu Bakrah z menambah satu rakaat dari shalatnya tersebut. Artinya, Abu Bakrah teranggap beroleh rakaat pertama yang didapatkannya dalam keadaan imam telah ruku’ dan ia sendiri sempat ruku’ bersama imam. Inilah pendapat yang rajih (kuat) menurut kami.
Dalam masalah ini ada pendapat yang lain, yaitu ketika masbuk tidak mendapatkan al-Fatihah sama sekali ataupun tidak sempurna membacanya, ia tidak teranggap mendapatkan satu rakaat dalam shalat. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian muta’akhirin (orang-orang yang belakangan) seperti al-Imam asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/67—69) dan yang lainnya—semoga Allah l merahmati mereka semua—.

Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz t
Al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang wajibnya membaca al-Fatihah bagi makmum. Yang rajih, makmum3 wajib membacanya berdasarkan keumuman sabda Nabi n:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” (Muttafaqun alaihi)
Juga sabda beliau n:
لَعَلَّكُمْ تَقْرَؤُوْنَ خَلْفَ إِمَامِكُمْ؟ قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ: لاَ تَفْعَلُوا إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا
”Tampaknya di antara kalian ada yang membaca di belakang imam kalian?” Mereka menjawab, “Ya, kami melakukannya, wahai Rasulullah.” Beliau pun bersabda, “Jangan kalian lakukan hal itu selain pada Fatihatul Kitab, karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya.” (HR. Abu Dawud dan selainnya dengan sanad yang hasan)
Jika imam tidak diam dalam shalat jahriah maka makmum membaca al-Fatihah ini walaupun dalam keadaan imam sedang membaca Al-Qur’an. Setelahnya, dia diam agar bisa mengamalkan dua hadits yang disebutkan di atas. Apabila makmum lupa atau tidak tahu tentang wajibnya membaca al-Fatihah, gugur darinya kewajiban tersebut, seperti orang yang masuk dalam jamaah dalam keadaan imam sedang ruku’, ia ruku’ bersama imam dan ia mendapat satu rakaat bersama imam, menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat ulama. Ini adalah pendapat mayoritas ahlul ilmi berdasarkan hadits Abu Bakrah ats-Tsaqafi z. Disebutkan bahwa beliau z mendatangi masjid dalam keadaan Nabi n sedang ruku’. Ia pun ruku’ sebelum masuk ke dalam shaf, kemudian berjalan dalam keadaan ruku’ untuk bergabung dalam shaf. Nabi n pun bersabda kepadanya setelah mengucapkan salam dari shalat beliau:
زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
“Semoga Allah menambah semangatmu untuk berbuat kebaikan, namun jangan kamu ulangi perbuatanmu.”
Nabi n tidak menyuruh Abu Bakrah z mengganti rakaat tersebut. Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahih-nya.
Adapun hadits:
قِرَءَةُ الْإِمَامِ قِرَاءَةٌ لِمَنْ خَلْفَهُ
“Bacaan imam adalah bacaan bagi orang yang di belakangnya.”
adalah hadits dhaif yang tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya. Hal ini telah diperingatkan oleh ulama hadits. Seandainya hadits ini sahih, dia ditempatkan sebagai hadits umum yang dikhususkan dengan perintah membaca al-Fatihah (yakni selain al-Fatihah maka bacaan imam adalah bacaan makmum). Wabillahi at-taufiq.” (Majmu’ Fatawa libni Baz, 11/226—227)

Al-Fatihah Lebih Penting daripada Doa Istiftah
Ditanyakan kepada al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t tentang makmum yang mendapati imam hampir ruku’, apakah ia membaca al-Fatihah atau membaca doa istiftah? Apabila imam telah ruku’ sementara ia belum selesai membaca al-Fatihah, apa yang harus dilakukannya?
Samahatusy Syaikh menjawab, “Membaca istiftah adalah sunnah, sedangkan membaca al-Fatihah hukumnya wajib bagi makmum, menurut pendapat yang benar. Apabila engkau khawatir luput dari membaca al-Fatihah, mulailah dengan membaca al-Fatihah. Ketika imam ruku’ sebelum engkau menyempurnakan bacaan al-Fatihah, ruku’lah bersama imam dan gugur darimu kewajiban membaca al-Fatihah yang tersisa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi n:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوْا عَلَيْهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا
“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Oleh karena itu, janganlah kalian berbeda/ketinggalan darinya. Apabila ia bertakbir, ikutlah bertakbir. Apabila ia ruku’, ruku’lah kalian.”
Hadits ini muttafaqun alaihi.” (Majmu’ Fatawa libni Baz, 11/243—244)
Peringatan
Yang sunnah bagi makmum adalah membaca dengan samar (cukup ia dengar untuk dirinya sendiri/tidak memperdengarkannya kepada orang lain). Demikian pula ketika membaca zikir-zikir dan doa-doa di dalam shalat. Tidak ada dalil yang membolehkan membaca dengan suara keras/jahr. Selain itu, apabila ia menjahrkan bacaannya niscaya akan mengganggu orang-orang yang sedang shalat di sekitarnya. (Majmu’ Fatawa libni Baz, 11/238)

Kapan Makmum Membaca al-Fatihah dalam Shalat Jahriyah?
Al-Imam Makhul4 t berkata, “Bacalah al-Fatihah di setiap rakaat dengan sirr apabila imam sedang diam/tidak membaca. Namun, apabila imam tidak diam, al-Fatihah dibaca sebelum imam membacanya, atau bersamaan dengan bacaan imam, atau setelah imam membaca. Jangan engkau tinggalkan bacaan al-Fatihah ini sama sekali.” (Muhadzdzab fi Ikhtishar as-Sunan al-Kubra, 2/614)

Mengucapkan Amin
Seselesainya membaca al-Fatihah, diucapkan amin dengan jahr/suara keras oleh imam, apabila shalatnya adalah shalat jahriyah, seperti shalat fardhu maghrib, isya, dan subuh. Demikian pula shalat Jum’at, shalat Idul Fithri dan Adha, shalat istisqa, shalat kusuf, serta tarawih. Menjahrkan bacaan dalam shalat jahriyah dan mensirrkan (kebalikan dari jahr) dalam shalat sirriyah adalah pendapat Atha’, Ahmad, Ishaq, Dawud, Sulaiman bin Dawud, Yahya ibnu Yahya, Abu Khaitsamah, Abu Bakr ibnu Abi Syaibah, Ibnul Mundzir, dan jumhur ashabul hadits. (al-Isyraf, 2/64)
Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (2/294—295). Beliau mengatakan, “Demikian yang sahih dari Rasulullah n. Ini adalah amalan para sahabat g dan ini yang rajih menurut kami.”5
Abu Hurairah z berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا فَرَغَ مِنْ قِرَاءَةِ أُمِّ الْقُرْآنِ رَفَعَ صَوْتَهُ وَ قَالَ: آمِيْن
“Adalah Rasulullah n bila selesai dari membaca Ummul Qur’an (al-Fatihah), beliau mengeraskan suara mengucapkan amin.” (HR. ad-Daraquthni, 1/311, ia menghasankannya dan al-Hakim, 1/223, ia berkata, “Ini hadits yang sahih di atas syarat Syaikhan dan ini disepakati oleh adz-Dzahabi)
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya imam mengucapkan amin dengan suara keras setelah membaca al-Fatihah. (Subulus Salam, 2/196)
Nabi n bersabda:
إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ، فَأَمِّنُوا
“Apabila imam telah mengucapkan amin, ucapkanlah amin.” (HR. al-Bukhari no. 780 dan Muslim no. 914)
Al-Imam Ibnul Mundzir t mengatakan, “Di sini ada dalil bahwa imam menjahrkan/mengeraskan ucapan amin kepada makmum dan imam tidak boleh mengamalkan selain menjahrkan, karena jika ia mengucapkan amin dengan perlahan niscaya makmum tidak mengetahuinya. Makmum bisa mengucapkan amin ketika imamnya mengucapkan amin. Ini adalah masalah yang jelas dan tampak bagi orang yang diberi taufik oleh Allah l untuk memahami sabda Rasulullah n. Mustahil beliau n memerintahkan makmum untuk mengucapkan amin apabila imam mengatakan amin (sementara ucapan amin dari sang imam tidak terdengar).” (al-Isyraf, 2/23)
Amin ini diucapkan setelah mengucapkan:
“Bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (al-Fatihah: 7)
Hal ini ditunjukkan dalam hadits Wail ibn Hujr z yang mengabarkan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا قَرَأَ { ﭲ ﭳ} قَالَ: آمِيْن؛ وَرَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ
“Apabila Rasulullah n selesai membaca ‘waladh dhallin’, beliau mengucapkan amin dengan mengeraskan suaranya.” (HR. Abu Dawud. Kata guru kami, asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i t, dalam al-Jami’ ash-Shahih, 2/102, “Hadits ini sahih, perawinya adalah perawi ash-Shahih kecuali Hujr. Ibnu Ma’in mentsiqahkannya sebagaimana dalam Tahdzibut Tahdzib)
Ta’min ini diucapkan dengan lafadz آمِيْن, tidak dengan lafadz آمِّيْن dengan mentasydid huruf mim. Ini adalah bahasa yang jelek sekali karena makna آمِّيْن adalah orang-orang yang bertujuan/memaksudkan. Boleh pula mengucapkannya dengan memendekkan hamzah أَمِين, namun ini bahasa yang lemah sekali, hanya saja masih lebih baik daripada lafadz آمِّيْن. Oleh karena itu, yang paling benar ini adalah mengucapkannya dengan lafadz آمِيْن. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 2/74)
Mustahab (sunnah) hukumnya bagi imam memanjangkan suaranya saat mengucapkan amin, sebagaimana hadits Abu Hurairah z yang diriwayatkan al-Hakim (1/357) dan al-Baihaqi (2/46) yang disahihkan oleh al-Baihaqi. Abu Hurairah z berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا بَلَغَ { ﭲ ﭳ} يَقُوْلُ: آمِين، يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ حَتَّى يَسْمَعَ أَهْلُ الصَّفِّ الْأَوَّلِ، فَيَرْتَجُّ الْمَسْجِدُ
“Apabila Rasulullah n sampai pada ucapan ‘waladh dhallin’ beliau mengatakan, ‘Amin’, beliau memanjangkan suaranya (dengan mengeraskannya) sehingga orang-orang yang di shaf pertama mendengarnya dan bergetarlah masjid (dengan suara amin tersebut).”
Makmum pun disyariatkan mengucapkan amin. Sebagian ulama mengatakan, makmum mengucapkan amin apabila imam telah selesai mengucapkannya. (al-Inshaf, 3/447)
Dalilnya adalah zahir sabda Nabi n:
إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا
“Jika imam telah mengucapkan amin maka ucapkanlah amin.” (HR. al-Bukhari no. 780 dan Muslim no. 914)
Namun, yang rajih adalah secara beriringan, karena dalam lafadz lain dari hadits di atas (dalam riwayat al-Bukhari no. 782) disebutkan:
إِذَا قَالَ الْإِمَامُ: { ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ } فَقُوْلُوْا: آمِيْن
“Apabila imam membaca ‘Ghairil maghdzhubi ‘alaim waladh dhallin,’ ucapkanlah amin.”
Maknanya, apabila imam sampai pada ucapan:
“Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (al-Fatihah: 7)
atau imam mulai mengucapkan amin, kalian hendaknya mengucapkan amin agar ucapan amin kalian bersamaan dengan ucapan amin imam. Ini adalah pendapat jumhur ulama. (Taudhihul Ahkam, 2/201)
Abu Muhammad al-Juwaini—sebagaimana dinukil al-Hafizh t dalam Fathul Bari (2/342)—mengatakan, “Tidak disenangi beriringan dengan imam dalam amalan/gerakan shalat selain ucapan amin.”
Akan tetapi, kita biasa mendengar sebagian jamaah terburu-buru mengucapkan amin. Sebelum imam sampai pada bacaan ﭲ ﭳ, mereka telah mengatakan amin. Ini jelas menyelisihi sunnah dan termasuk mendahului imam karena imam belum sampai pada batasan boleh diucapkan amin setelahnya. (asy-Syarhul Mumti’, 3/68—69)
Orang yang shalat sendiri (munfarid) juga mengucapkan amin seselesainya membaca al-Fatihah karena pensyariatan bagi makmum juga mencakup munfarid.
Adapun makna amin adalah “Ya Allah, kabulkanlah.” Amin adalah isim fi’il yang menempati kedudukan doa. (Subulus Salam, 2/196—197)
Mengapa diucapkan amin setelah membaca al-Fatihah? Karena seluruh al-Fatihah adalah doa. Awalnya adalah doa ibadah, yaitu pujian dan sanjungan kepada Allah l. Akhirnya adalah doa yang berisi permintaan, yaitu ayat:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)
Dengan demikian, surah al-Fatihah mengandung dua macam doa, doa ibadah dan doa mas’alah (permintaan). Apabila seseorang mengatakan amin setelah membaca surah ini berarti ia memohon kepada Allah l agar mengabulkan dua macam doa tersebut darinya. (Tashilul Ilmam, 2/225)

Keutamaan Amin
Abu Hurairah z menyampaikan sabda Rasulullah n:
“Apabila salah seorang dari kalian mengatakan amin dan para malaikat di langit mengucapkan amin, lalu ucapan salah satunya bersamaan dengan yang lainnya, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari no. 781)
Aisyah x menyatakan bahwa Nabi n bersabda:
مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُوْدُ عَلَى شَيْءٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَى السَّلاَمِ وَالتَّأْمِيْنِ
“Tidaklah orang-orang Yahudi hasad kepada kalian atas sesuatu sebagaimana hasad mereka kepada kalian atas ucapan salam dan ta’min (ucapan amin) kalian.” (HR. Ibnu Majah no. 856, dalam al-Jami’ush Shahih, 2/102, hadits ini dinyatakan hasan sesuai dengan syarat Muslim)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Insya Allah bersambung)

 

Catatan Kaki:

1 Sebelum bergabung dalam shaf, Abu Bakrah z telah bertakbiratul ihram, lalu ruku’ dan berjalan masuk ke dalam shaf dalam keadaan ruku’.
2 Dengan terburu-buru ingin bergabung dengan shaf/tidak ingin ketinggalan rakaat, kemudian melakukan ruku’ sebelum sampai ke dalam shaf lalu berjalan dalam keadaan ruku’ untuk bergabung dalam shaf. (Fathul Bari, 2/347)

3 Adapun bagi imam dan munfarid (yang shalat sendirian), membaca al-Fatihah adalah amalan rukun, menurut jumhur ahlul ilmi. Dia tidak bisa gugur sama sekali selama keduanya mampu/bisa membacanya. (Majmu’ Fatawa libni Baz, 11/236)

4 Beliau adalah tabi’in yang mulia, Makhul asy-Syami Abu Abdillah ad-Dimasyqi al-Faqih. Beliau adalah alim negeri Syam. Beliau seangkatan dengan Ibnu Syihab az-Zuhri. (as-Siyar, 5/155—160)

5 Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan ashabur ra’yi berpendapat bahwa imam mengucapkan amin dengan sir, sedangkan Malik berpendapat bahwa imam tidak membaca amin sama sekali. (al-Muhalla 2/295, al-Isyraf 2/24)