“Sabar, ya?” demikian ucapan yang biasa kita dengar dari orang yang hendak menenangkan seseorang yang sedang emosi atau tengah dilanda duka. Sebenarnya apa hakikat sabar yang biasa terucap itu?
Menurut syariat, sabar adalah menahan diri dalam tiga urusan:
Kita lihat satu per satu macam kesabaran di atas.
Sabar Menjalankan Ketaatan
Seorang insan harus bersabar ketika menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, ketaatan itu sebenarnya berat dan sulit bagi jiwa. Terkadang, berat pula bagi jasmani karena pada diri seseorang ada kelemahan dan kepayahan. Ibadah yang harus mengeluarkan harta juga berat, seperti mengeluarkan zakat dan berhaji.
Intinya, dalam ketaatan itu ada rasa berat bagi jiwa dan jasmani sehingga dibutuhkan kesabaran untuk menjalankannya.
Sabar Menjauhi Larangan
Seseorang harus menahan jiwanya dari berbuat maksiat. Sementara itu, jiwa itu ammarah bis su’, suka mengajak kepada kejelekan. Oleh karena itu, seorang insan harus membuat sabar jiwanya. Contoh hal yang diharamkan ialah berdusta, berkhianat, ghibah, memakan riba, mendengarkan musik, zina, mencuri, dan sebagainya.
Seseorang harus menahan jiwanya agar tidak melakukan semua itu. Dia harus berjuang untuk melawan ajakan berbuat haram dan mesti mengekang hawa nafsunya. Sabar di atas ketaatan lebih utama daripada sabar dalam menjauhi maksiat.
Sabar Menghadapi Takdir
Ketahuilah, ada dua macam takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang mengenai manusia: mula’imah dan mu’limah. Mula’imah adalah yang sesuai dengan keinginan dan menyenangkan seorang insan. Orang yang menerima takdir ini harus bersyukur. Syukur termasuk amal ketaatan. Dengan demikian, sabar dalam hal ini termasuk jenis kesabaran yang pertama.
Mu’limah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, pahit dirasakan. Seseorang diuji pada tubuh, harta, dan keluarganya. Dia harus bersabar menghadapi musibah tersebut dengan tidak melakukan apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu berkeluh kesah, menampakkan marah atas musibah tersebut, apakah diucapkan dengan lisan, disimpan dalam kalbu, ataupun ditunjukkan dengan perbuatan anggota badan.
Tingkatan Manusia Menghadapi Musibah
Saat terjadi musibah, manusia berada di antara salah satu dari empat keadaan berikut.
Kemurkaan tersebut bisa terjadi dalam hati, terucap dengan lisan, atau diperbuat oleh anggota badan. Marah dengan kalbu terwujud dengan tersimpan dalam hatinya protes kepada Allah subhanahu wa ta’ala, marah, tidak terima, serasa ingin menuntut, menyalahkan Allah subhanahu wa ta’ala, dan merasa dizalimi dengan musibah tersebut. Na’udzu billah.
Marah dengan lisan terwujud dengan terucap doa kejelekan untuk dirinya karena musibah tersebut, “Duhai, celaka aku!”, “Betapa sengsaranya diri ini!”, atau “Mengapa harus datang musibah ini?”
Marah dengan anggota tubuh, terwujud dengan menampar pipi, menarik-narik rambut, merobek baju, meraung-raung, berguling-guling di lantai sambil meratap, dan sebagainya.
Orang yang berbuat hal-hal seperti di atas kala musibah melandanya adalah orang yang diharamkan mendapatkan pahala. Sudah pun tidak “sukses” dengan musibah tersebut, dia justru berdoa kejelekan untuk dirinya. Akhirnya, dia tertimpa dua musibah, yaitu musibah pada agamanya dengan marah tersebut dan musibah pada dunianya dengan ditimpa hal yang menyakitkan.
Kesabaran ini dilakukan dengan menahan diri dari apa yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Sebenarnya dia benci dan tidak suka dengan musibah tersebut, tetapi dia menyabarkan dirinya. Lisannya ditahan agar tidak mengucapkan kata-kata yang mengundang kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala. Anggota tubuhnya dikekang agar tidak berbuat sesuatu yang mendatangkan kemarahan Allah subhanahu wa ta’ala. Di hatinya tidak ada prasangka yang buruk kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dia sabar walau dia tidak suka dengan musibah tersebut.
Sabar yang seperti ini wajib dimiliki oleh setiap muslim saat menghadapi musibah.
Dadanya merasa lapang dengan musibah yang menimpanya. Dia ridha sepenuhnya atas musibah, seakan-akan dia tidak tertimpa musibah.
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ditimpa apa yang tidak disenangi, beliau berucap,
“Segala puji bagi Allah atas seluruh keadaan.”
Dia bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas pahala yang diterimanya karena musibah tersebut jauh lebih besar dari musibah itu sendiri.
Syukur merupakan tingkatan yang tertinggi. Hukumnya sunnah sebagaimana halnya tingkatan ketiga, yaitu ridha.
Sabar Hukumnya Wajib
Sebagaimana disebutkan bahwa sabar itu hukumnya wajib karena diperintahkan oleh agama ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam tanzil- Nya,
“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian (dalam menjauhi apa yang Allah haramkan), perkuatlah kesabaran (dalam menjalani ketaatan kepada-Nya), dan perbanyaklah kebaikan serta terus meneruslah di atasnya….” (Ali ‘Imran: 200)
Musibah merupakan keniscayaan sebagai ujian kehidupan. Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,
“Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.” (al-Baqarah: 155)
Dengan ujian, akan tampak para pemenang dan nyata orang-orang yang kalah.
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui (menampakkan) orang-orang yang berjihad dan orang-orang yang bersabar di antara kalian.” (Muhammad: 31)
Pemenangnya adalah orang-orang yang bisa bersabar. Mereka dijanjikan akan beroleh pahala yang sangat besar tanpa perhitungan sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (az-Zumar: 10)
Itulah pahala berlipat ganda dari Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak mungkin manusia membilangnya. Bergembiralah orang-orang yang mau bersabar dengan kebersamaan Allah subhanahu wa ta’ala yang khusus, yaitu kebersamaan-Nya dengan para hamba pilihan-Nya,
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (al-Baqarah: 153)
Perlu diketahui, ma’iyatulah (kebersamaan Allah dengan hamba-Nya) ada dua macam.
Kebersamaan yang umum ini mencakup seluruh hamba-Nya. Contohnya seperti tersebut dalam ayat,
“Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Kemudian dia beristiwa di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit, dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (al-Hadid: 4)
“Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dialah yang keempat. Dan tidak ada pembicaraan rahasia antara lima orang melainkan Dia yang keenamnya. Dan tidak pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada.” (al-Mujadilah: 7)
Tidak ada satu makhluk pun kecuali Allah subhanahu wa ta’ala bersamanya dengan ilmu-Nya, yang meliputi mendengar, menguasai, mengatur, dan melihat seorang hamba dari makna rububiyah-Nya.
Ini adalah kebersamaan yang berkonsekuensi pertolongan dan pengokohan dari-Nya. Ma’iyah ini khusus untuk para rasul dan pengikut mereka.
Contohnya ialah ayat yang mengabarkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bersama orang-orang yang bersabar. Seorang yang bersabar akan beroleh pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala menguatkan dan membantunya hingga sempurna kesabarannya sesuai dengan yang Allah subhanahu wa ta’ala cintai.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberi kabar gembira kepada orang yang sabar. Siapakah mereka yang sabar itu?
“Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. Yaitu orang-orang yang apabila mereka ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang beroleh pujian dari Rabb mereka (dipuji-puji di hadapan para malaikat) dan rahmat. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (al-Baqarah: 155—157)
Berikanlah kabar gembira, wahai Nabi dan orang-orang yang sampai kepadanya ayat ini. Berilah kabar gembira kepada orang yang sabar atas musibah yang menimpa, tidak menghadapinya dengan kemarahan tetapi dengan kesabaran. Lebih sempurna lagi dari itu adalah orang yang menghadapi musibah dengan perasaan ridha. Lebih sempurna lagi adalah yaitu menghadapinya dengan rasa syukur.
Karena itu, apabila Anda ingin menjadi hamba yang utama dan mendapat pahala tiada batas, jika Anda ditimpa suatu musibah yang membutuhkan kesabaran, bersabarlah dan tanggunglah semuanya karena Allah subhanahu wa ta’ala. Ketahuilah dan ingatlah selalu,
“Pertolongan itu bersama kesabaran. Kelapangan itu bersama musibah. Sungguh bersama kesulitan itu ada kemudahan.”
Jadi, tiada rugi Anda menyabar-nyabarkan diri.
(Faedah dari keterangan Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarhu Riyadhis Shalihin, Bab “ash-Shabr”, hlm. 89—99)
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah