Perseteruan antara al-haq dan al-batil akan senantiasa ada dan terus berlangsung. Masing-masing memiliki penyokong dan bala tentara yang siap tanding.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan di dalam Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Dia memiliki para wali dari kalangan manusia. Begitu pun setan, ia memiliki para wali dari kalangan manusia. Oleh karena itu, terbedakanlah antara para wali ar-Rahman dan para wali setan.
Baca juga:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٦٢ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ٦٣ لَهُمُ ٱلۡبُشۡرَىٰ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۚ لَا تَبۡدِيلَ لِكَلِمَٰتِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (Yunus: 62—64)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱللَّهُ وَلِيُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَوۡلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّٰغُوتُ يُخۡرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَٰتِۗ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ
“Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman). Sementara itu, orang-orang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)
فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ ٩٨ إِنَّهُۥ لَيۡسَ لَهُۥ سُلۡطَٰنٌ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٩٩ إِنَّمَا سُلۡطَٰنُهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ يَتَوَلَّوۡنَهُۥ وَٱلَّذِينَ هُم بِهِۦ مُشۡرِكُونَ
“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Rabbnya. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” (an-Nahl: 98—100)
Firman-Nya,
وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ كَانَ مِنَ ٱلۡجِنِّ فَفَسَقَ عَنۡ أَمۡرِ رَبِّهِۦٓۗ أَفَتَتَّخِذُونَهُۥ وَذُرِّيَّتَهُۥٓ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِي وَهُمۡ لَكُمۡ عَدُوُّۢۚ بِئۡسَ لِلظَّٰلِمِينَ بَدَلًا
“(Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kepada Adam!’ Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Rabbnya. Patutkah kamu menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku, padahal mereka adalah musuhmu? Amat buruklah (Iblis itu) sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (al-Kahfi: 50)
Ibrahim alaihis salam berkata (dalam firman-Nya),
يَٰٓأَبَتِ إِنِّيٓ أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ ٱلرَّحۡمَٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيۡطَٰنِ وَلِيًّا
“Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa azab dari Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 45)
Apabila telah diketahui bahwa di antara manusia ada segolongan yang menjadi wali-wali ar-Rahman dan golongan lain menjadi wali-wali setan, dua kelompok tersebut wajib dibedakan, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya telah membedakan mereka.
Firman-Nya,
أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٦٢ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62—63)
Dalam hadits yang sahih, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ،
“Allah berfirman, ‘Barang siapa memusuhi para wali-Ku, sungguh dia telah menantang-Ku berperang—atau sungguh Aku telah mengumandangkan perang kepadanya. Tiadalah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku (melebihi) seperti ketika dia menunaikan sesuatu yang telah Aku wajibkan atasnya. Senantiasa pula hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan (amalan) nawafil (sunnah) hingga Aku mencintainya.
Apabila Aku telah mencintainya, Aku adalah pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, tangannya yang dengannya dia memukul, dan kakinya yang dengannya dia berjalan (melangkah). Sungguh, jika dia meminta kepada-Ku, Aku pasti akan memberinya; dan jika dia memohon perlindungan kepada-Ku, Aku pasti akan melindunginya.” (HR. al-Bukhari, no. 6502) (Lihat al-Furqan Baina Auliya’ ar-Rahman wa Auliya’ asy-Syaithan, hlm. 25—28)
Perseteruan itu akan terus berkobar, sebagaimana yang disaksikan dalam kehidupan para nabi. Mereka selalu dimusuhi bahkan diperangi lantaran al-haq (kebenaran) yang diemban dan didakwahkannya.
Baca juga:
Allah subhanahu wa ta’ala menggambarkan musuh para nabi-Nya melalui firman-Nya,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ يُوحِي بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٍ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورًاۚ وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُۖ فَذَرۡهُمۡ وَمَا يَفۡتَرُونَ
“Demikianlah untuk setiap nabi, Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah untuk menipu (manusia). Jika Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama apa yang mereka ada-adakan.” (al-An’am: 112)
Lihatlah sikap arogan dan sombong yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh alaihis salam. Mereka diseru untuk menaati Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi seruan tersebut tidak dihiraukan.
Al-Qur’an telah mengisahkan hal itu,
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوۡتُ قَوۡمِي لَيۡلًا وَنَهَارًا ٥ فَلَمۡ يَزِدۡهُمۡ دُعَآءِيٓ إِلَّا فِرَارًا ٦ وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوۡتُهُمۡ لِتَغۡفِرَ لَهُمۡ جَعَلُوٓاْ أَصَٰبِعَهُمۡ فِيٓ ءَاذَانِهِمۡ وَٱسۡتَغۡشَوۡاْ ثِيَابَهُمۡ وَأَصَرُّواْ وَٱسۡتَكۡبَرُواْ ٱسۡتِكۡبَارًا
“Nuh berkata, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, justru mereka lari (dari kebenaran). Sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya, dan menutupkan bajunya (ke wajahnya), dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri’.” (Nuh: 5—7)
Telah menjadi sebuah ketetapan bahwa pembawa dakwah al-haq akan selalu berbenturan dengan pemuja kebatilan. Nabi Ibrahim alaihis salam berhadapan dengan Namrud dan ayahnya sendiri karena mereka berdua enggan menerima dakwah beliau. Begitu pula Nabi Musa alaihis salam yang mesti menghadapi kesombongan Fir’aun yang mengaku tuhan. Dakwah beliau ditolaknya. Namun, tak sebatas penolakan. Lebih dari itu, Musa alaihis salam dan para pengikutnya hendak dibinasakan oleh Fir’aun dan bala tentaranya walaupun akhirnya justru mereka sendiri yang ditenggelamkan di lautan. Demikianlah kisah beberapa nabi Allah subhanahu wa ta’ala yang memberikan banyak faedah bagi insan yang mau berpikir dan mengambil pelajaran.
Begitu pula kisah dan perjuangan dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kisah nan sarat perseteruan; antara kebenaran dan kebatilan, antara dakwah tauhid dan kesyirikan, antara sinar kemilau Islam dan kejahiliahan nan gulita. Pergumulan melawan kebatilan akan senantiasa ada hingga kiamat nanti.
Baca juga:
Sungguh, kaum musyrikin Quraisy begitu bersemangat mengobarkan api permusuhan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu anhum. Kaum musyrikin Quraisy, dengan segala cara dan tipu daya, berusaha membungkam dakwah mulia yang diserukan oleh beliau. Tak sebatas itu, kaum musyrikin Quraisy juga berusaha keras dan tak segan untuk membunuh beliau dan para sahabatnya.
Namun, kebenaran tetap harus ditegakkan walaupun harus diwarnai oleh tetesan darah dan pengorbanan harta benda yang tak sedikit. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذۡ يَمۡكُرُ بِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِيُثۡبِتُوكَ أَوۡ يَقۡتُلُوكَ أَوۡ يُخۡرِجُوكَۚ وَيَمۡكُرُونَ وَيَمۡكُرُ ٱللَّهُۖ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلۡمَٰكِرِينَ
“(Ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkapmu, memenjarakanmu, membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (al-Anfal: 30)
Tiadalah perseteruan itu menjadi sedemikian dahsyatnya, kecuali hanya karena mereka (para sahabat) beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan keimanan yang sebenar-benarnya.
Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَا نَقَمُواْ مِنۡهُمۡ إِلَّآ أَن يُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ ٨ ٱلَّذِي لَهُۥ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ شَهِيدٌ
“Mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu kecuali hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (al-Buruj: 8—9)
Baca juga:
Kehidupan para ulama sebagai pewaris para nabi pun tak luput dari pergulatan melawan kesyirikan, bid’ah, dan penyimpangan lainnya. Kerasnya pertentangan mengantarkan beberapa ulama menuju penjara. Tidak hanya itu, ada pula di antara mereka yang harus bersabar menghadapi cemeti para penguasa. Ujian yang mereka hadapi dalam memperjuangkan kebenaran sedemikian beratnya.
Kisah masyhur mengenai keteguhan, kesabaran, keikhlasan, dan ketawakalan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah tentu menjadi cermin terbaik bagi kaum muslimin. Walaupun harus hidup di balik terali besi, pendirian beliau tidaklah goyah. Meski siksaan mendera tubuhnya, Imam Ahmad rahimahullah tak lantas menuruti apa yang dimaukan oleh para musuh dakwah. Imam Ahmad rahimahullah tetap bersikukuh bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk. Pendirian dan keyakinannya tetap kukuh dipeluk.
Permusuhan kalangan pengekor hawa nafsu dan kebid’ahan bisa ditilik pula melalui kisah Imam al-Hasan al-Barbahari rahimahullah. Pernyataannya yang tegas terhadap mereka membuat beliau diasingkan. Beliau hidup dalam keadaan terisolasi.
Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa pada saat Imam al-Barbahari rahimahullah meninggal dunia, yang berdiri menyalati jenazah beliau hanya satu orang. Beliau dishalati dalam sebuah rumah yang pintunya terkunci rapat. Ketika prosesi shalat jenazah berlangsung, wanita pemilik rumah itu mencoba mengamati dari satu celah. Ternyata, dia melihat rumah tersebut dipenuhi oleh para lelaki yang mengenakan pakaian putih dan hijau. Setelah shalat ditutup dengan salam, selesailah shalat jenazah. Wanita itu tak melihat seorang pun di dalam rumah itu. Kemudian, ia meminta agar jenazah beliau dikebumikan di rumahnya. (Syarhu as-Sunnah, Imam al-Barbahari, tahqiq Khalid bin Qasim ar-Raddadi, hlm. 20—21)
Tuduhan-tuduhan keji sering dilontarkan kepada para ulama yang istiqamah dalam menegakkan Sunnah. Sebut saja sosok ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab bin Sulaiman bin Ali at-Tamimi an-Najdi rahimahullah. Di antara tuduhan keji terhadap beliau adalah bahwa beliau memiliki pemikiran aneh dan bukan seorang alim. Tuduhan ini dinyatakan oleh pentolan Hizbut Tahrir, Muhammad al-Mis’ari. (Untuk selengkapnya, lihat Asy-Syariah, Vol. II/No. 22/1427 H/2006)
Hanya orang-orang jahil yang akan mencela para ulama. Inilah contoh kerusakan daya pikir. Akibat tercelup pemikiran yang memusuhi dakwah tauhid, seseorang akan membenci para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Di antara kelompok yang memusuhi Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah dan dakwah yang beliau sebarkan adalah kelompok Sufi, Syi’ah Rafidhah, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda. (Asy-Syariah, Vol. II/No. 22/1427 H/2006)
Padahal, para ulama yang berdiri tegak memperjuangkan dan menghidupkan Sunnah (ajaran Rasulullah) adalah orang-orang yang wajib dihormati. Mereka ditinggikan derajatnya karena ilmu dan amal yang mereka miliki, di samping upaya keras mereka untuk mendakwahkan kebaikan kepada umat. Para ulama adalah sosok yang diselimuti ketakwaan sekaligus keutamaan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٍۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٌ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujadilah: 11)
Para ulama adalah sosok yang selalu berusaha menjaga diri dari perbuatan-perbuatan durhaka kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka adalah sosok yang memiliki rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an,
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 28)
Baca juga:
Meski demikian, kita tidak diperbolehkan berlebihan dalam menyikapi para ulama, sebagaimana yang dilakukan kelompok Sufi yang bersikap ghuluw (ekstrem) terhadap orang-orang yang dianggap alim di kalangan mereka, bahkan sampai menjadikan kuburan mereka sebagai sesuatu yang diibadahi. Wal ‘iyadzu billah (kita memohon perlindungan kepada Allah).
Dari ‘Aisyah radhiallahu anha, bahwa Ummu Salamah radhiallahu anha pernah menceritakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang gereja yang pernah dilihatnya di Habasyah. Di dalam gereja tersebut ada gambar (makhluk bernyawa). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda,
أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ، أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ
“Apabila ada hamba saleh di antara mereka yang meninggal, mereka akan membangun masjid (tempat ibadah) pada kuburan tersebut dan membuat gambar-gambar di dalamnya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.” (HR. al-Bukhari, no. 434)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sungguh pernah bersabda,
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. al-Bukhari, no. 347)
Baca juga:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ وَلَا تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّۚ إِنَّمَا ٱلۡمَسِيحُ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ رَسُولُ ٱللَّهِ وَكَلِمَتُهُۥٓ أَلۡقَىٰهَآ إِلَىٰ مَرۡيَمَ وَرُوحٌ مِّنۡهُۖ فََٔامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦۖ وَلَا تَقُولُواْ ثَلَٰثَةٌۚ ٱنتَهُواْ خَيۡرًا لَّكُمۡۚ إِنَّمَا ٱللَّهُ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌۖ سُبۡحَٰنَهُۥٓ أَن يَكُونَ لَهُۥ وَلَدٌۘ لَّهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۗ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلًا
“Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan sesuatu kepada Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-Masih, Isa putra Maryam adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah mengatakan, ‘(Tuhan itu) tiga.’ Berhentilah (dari ucapan itu), (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah adalah Rabb Yang Maha Esa, Mahasuci Allah dari (anggapan) mempunyai anak. Segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai pelindung.” (an-Nisa: 171)
“Yahudi dan Nasrani bersikap melampaui batas terhadap para nabi mereka dan dalam menunaikan agama mereka. Sikap melampaui batas terhadap para nabi dari sisi:
(I’anatu al-Mustafid bi Syarhi Kitabi at-Tauhid, hlm. 245)
Wallahu a’lam.