Saudariku yang mulia… semoga rahmat Allah subhanahu wa ta’ala selalu besertamu… Kita masih melanjutkan pembicaraan tentang beberapa golongan yang diperkenankan memandang perhiasan/tubuh wanita sebagaimana termaktub dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat an-Nur ayat 31. Dan kita dapatkan golongan terakhir yang disebutkan dalam ayat adalah anak laki-laki yang belum mengerti aurat wanita. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka…
sampai pada firman-Nya,
Atau (di hadapan) anak laki-laki kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (an-Nur: 31)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
(atau (di hadapan) anak laki-laki kecil yang belum mengerti aurat wanita) yakni karena kecilnya, anak-anak ini tidak memahami keadaan wanita dan aurat mereka baik berupa ucapan mereka yang merdu, gemulainya langkah/ jalan mereka, gerak-gerik dan diamnya mereka. Apabila anak laki-laki kecil tidak memahami hal itu maka tidak apa-apa ia masuk menemui para wanita (ajnabiyyah, bukan mahramnya).” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/402)
Karena usia yang masih kecil, ketika anak-anak ini melihat tubuh wanita tidak terlintas di benak mereka (bayangan) untuk melakukan jima’. (Tafsir ath-Thabari 18/124, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, al-Qurthubi, 12/157)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata menafsirkan ayat ini: “Yang dimaksudkan di sini anak-anak laki-laki yang belum tamyiz[1], mereka dibolehkan melihat wanita ajnabiyyah (non mahram). Allah subhanahu wa ta’ala memberi alasan (dalam ayat ini) karena mereka itu belum mengetahui aurat wanita dan belum didapatkan adanya syahwat terhadap wanita pada diri mereka.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hlm. 566)
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, Jabir bin Abdillah rahimahullah, mengabarkan:
“Ummu Salamah radhiallahu ‘anha minta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbekam. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.” Perawi hadits ini mengatakan, Abu Thayyibah adalah saudara susu Ummu Salamah atau anak laki-laki yang belum ihtilam[2]. (HR. Muslim no. 2206)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berdalil dengan hadits di atas untuk menyatakan bolehnya wanita menampakkan perhiasannya di depan anak laki-laki yang belum mengerti aurat wanita. (as-Sunanul Kubra, 7/96)
Ada seseorang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas rahimahullah, “Apakah engkau menyaksikan (apa yang diperbuat para wanita dalam) Shalat Idul Adha atau Idul Fithri bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
“Ya. Kalaulah bukan karena keberadaanku yang masih kecil ketika itu niscaya aku tidak dapat menyaksikannya,” jawab Ibnu ‘Abbas. Kemudian Ibnu ‘Abbas berkisah,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (ke lapangan) lalu beliau shalat dan setelahnya berkhutbah, (dan shalat ‘id itu) tanpa dikumandangkan adzan dan tanpa iqamah. Kemudian beliau mendatangi (tempat) para wanita, untuk menasihati mereka, mengingatkan dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka aku melihat mereka menjulurkan tangan mereka ke telinga dan leher mereka (untuk melepaskan perhiasan yang ada padanya-pen.) lalu melemparkan perhiasan tersebut kepada Bilal (yang ditugasi mengumpulkannya-pen.). Kemudian beliau dan Bilal kembali ke rumahnya.” (HR. al-Bukhari no. 5249 dan Muslim no. 884)
Hadits di atas di tempatkan al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya dengan judul bab firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“dan anak-anak yang belum baligh di antara kalian.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata mengomentari judul bab yang diberikan al-Imam Al-Bukhari rahimahullah di atas: “Yang diinginkan dari bab ini adalah menerangkan hukum anak-anak yang belum baligh bila masuk menemui para wanita (ajnabiyyah –pen.) dan hukum mereka memandang para wanita.” Al-Hafizh juga menyatakan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma masih kecil ketika melihat para wanita yang melepaskan perhiasan mereka tersebut dan karena kecilnya usia Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mereka tidak berhijab darinya. (Fathul Bari, 9/415—416)
Al-Imam Ibnul Qaththan al-Fasi rahimahullah berkata, “Adapun anak laki-laki yang belum mengerti daya tarik wanita, maka dibolehkan bagi seorang wanita untuk menampakkan perhiasannya di hadapan si anak dan tidak wajib baginya berhijab (menutup dirinya) dari si anak, kecuali bagian aurat dari tubuhnya (tentunya harus ditutupi) karena kita diperintah untuk menutup aurat ini dari penglihatan orang lain.” (Kitabun Nazhar fi Ahkamin Nazhar Bihassatil Bashar, hlm. 231).
Dengan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan keterangan ahlul ilmi di atas menjadi jelaslah bagi kita apa hukumnya bila seorang wanita tidak berhijab dan menampakkan perhiasannya di hadapan anak laki-laki yang masih kecil dan apa hukumnya bila anak laki-laki ini memandang wanita yang bukan mahramnya.
Namun permasalahannya sekarang, bagaimana bila anak laki-laki itu bisa membedakan antara aurat dengan selain aurat dan ia telah mendekati masa ihtilam?
Kita dapatkan ahlul ilmi berbeda pendapat tentang boleh tidaknya anak laki-laki yang seperti ini melihat wanita ajnabiyyah (nonmahram) dengan tanpa hijab.
Ini pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan yang paling sahih dari mazhab Syafi’i. Dalil mereka adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka…” sampai pada firman-Nya, “atau (di hadapan) anak laki-laki kecil yang belum mengerti aurat wanita[3].” (an-Nur: 31)
Demikian satu sisi dari pendapat sebagian pengikut al-Imam asy-Syafi’i dan satu riwayat dari al-Imam Ahmad. Pendapat lain dari beliau (al-Imam Ahmad) menyatakan; anak laki-laki yang mendekati baligh boleh melihat apa yang ada di atas pusar dan di bawah lutut dari wanita ajnabiyyah, sebagaimana batasan aurat yang boleh dilihat oleh sesama wanita.
Karena adanya perbedaan dua riwayat inilah maka pengikut al-Imam Ahmad menyatakan perbedaan ini didasarkan adanya dua keadaan. Pertama: bila anak laki-laki yang mendekati baligh itu telah memiliki syahwat terhadap wanita maka batasan yang boleh dilihatnya dari wanita ajnabiyyah adalah sebagaimana batasan yang boleh dilihat oleh mahram si wanita. Kedua: bila anak laki-laki tersebut belum memiliki syahwat maka ia boleh memandang apa yang ada di di atas pusar dan di bawah lutut dari tubuh si wanita.
Dalil pendapat yang kedua ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak yang kalian miliki dan anak-anak yang belum baligh di antara kalian, meminta izin untuk masuk menemui kalian tiga kali dalam sehari, yaitu sebelum shalat Subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian luar kalian di tengah hari dan setelah shalat ‘Isya. Inilah tiga aurat bagi kalian. Dan tidak ada keberatan bagi kalian dan bagi mereka di selain tiga waktu ini. Mereka adalah orang-orang yang biasa keluar masuk menemui kalian, sebagian kalian ada keperluan kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. Dan apabila anak-anak kecil di kalangan kalian telah sampai usia baligh, maka hendaklah mereka meminta izin seperti orang-orang sebelum mereka meminta izin[5].” (an-Nur: 58—59)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala membedakan antara anak yang sudah baligh dengan yang belum baligh. Anak yang belum baligh diperintahkan untuk meminta izin hanya di tiga waktu yang tersebut dalam ayat, sementara anak yang sudah baligh diperintahkan meminta izin di setiap waktu. Dengan begitu bila anak yang mendekati baligh (yang berarti ia belum baligh) tidak dibolehkan melihat perhiasan wanita ajnabiyyah, berarti tidak ada bedanya antara dia dengan anak yang sudah baligh, sementara dalam ayat Allah subhanahu wa ta’ala membedakannya.
Adapun dari as-Sunnah, mereka berdalil dengan hadits Jabir radhiallahu ‘anhu di atas tentang permintaan izin Ummu Salamah radhiallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbekam. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyuruh Abu Thayyibah, seorang anak laki-laki yang belum baligh kata perawi hadits ini, untuk membekam istri beliau.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Selama anak laki-laki itu belum mumayyiz (belum memasuki usia tamyiz), sama sekali tidak wajib berhijab darinya. Namun bila sudah berakal, bisa membedakan aurat atau bukan, ada dua riwayat. (1) Dalam hal memandang seorang wanita, anak ini hukumnya sama dengan laki-laki yang memiliki hubungan mahram dengan si wanita. (2) Anak ini boleh melihat bagian tubuh di atas pusar si wanita dan di bawah lututnya, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan tidak ada keberatan bagi kalian dan bagi mereka di selain tiga waktu ini. Mereka adalah orang-orang yang biasa keluar masuk menemui kalian, sebagian kalian ada keperluan kepada sebagian yang lain.” (an-Nur: 58)
Sampai pada firman-Nya,
“Dan apabila anak-anak kecil di kalangan kalian telah sampai usia baligh, maka hendaklah mereka meminta izin seperti orang-orang sebelum mereka meminta izin.” (an-Nur: 59)
Ayat ini menunjukkan dibedakannya antara anak yang sudah baligh dengan yang belum baligh.
Abu Abdillah (yakni al-Imam Ahmad rahimahullah –red.) berkata, “Abu Thayyibah membekam istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara Abu Thayyibah ini seorang anak laki-laki.” (al-Mughni, 9/496)
Yang kami pandang rajih dalam masalah ini, wallahu a’lam wal ‘ilmu ‘indallah, adalah pendapat yang menyatakan bila anak laki-laki telah mengetahui keindahan tubuh wanita, senang dengan wanita dan suka memerhatikan gerak-gerik wanita, maka ia tidak diperkenankan masuk menemui wanita ajnabiyyah tanpa hijab dan si wanita tidak boleh menampakkan perhiasan/tubuhnya di hadapan anak laki-laki tersebut. Berikut dua fatwa ‘alim kabir (ulama besar) yang mendukung pendapat yang kami pandang rajih ini:
Beliau rahimahullah menjawab, “Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan orang yang dibolehkan melihat perhiasan wanita,
“atau (di hadapan) anak laki-laki kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (an-Nur: 31)
Dengan demikian bila seorang anak laki-laki telah mengetahui aurat wanita, suka memandang wanita dan banyak berbicara dengan wanita maka tidak boleh seorang wanita (ajnabiyah) membuka hijabnya di hadapan si anak.
Hal seperti ini tidak bisa diberi patokan usia karena setiap anak berbeda-beda keadaannya dari sisi tabiat/wataknya dan dari sisi dengan siapa anak itu bergaul. Terkadang seorang anak mengerti tentang wanita karena ia biasa duduk-duduk (bermajelis) dengan orang-orang yang banyak membicarakan wanita. Seandainya ia tidak bermajelis dengan mereka niscaya ia tidak akan mengerti hal tersebut dan tidak akan memerhatikan wanita.
Yang penting dalam perkara ini, Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan batasannya dengan firman-Nya,
“Atau (di hadapan) anak laki-laki kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (an-Nur: 31)
Jadi, selama anak itu belum mengetahui aurat wanita dan tidak mementingkan perkara wanita, maka dihalalkan bagi seorang wanita untuk menampakkan perhiasannya di hadapan si anak.” (Majmu’atul As’ilah Tuhimmul Usratil Muslimah, hlm. 148—149)
Di antara isi fatwa tersebut, beliau rahimahullah menyatakan, “Pengajaran yang dilakukan guru-guru wanita terhadap anak laki-laki pada tingkat ibtidaiyah akan mengantarkan guru tersebut kepada ikhtilath (campur baur tanpa hijab) dengan anak laki-laki yang mendekati baligh maupun yang sudah baligh, karena sebagian anak tidaklah ia masuk sekolah ibtidaiyah kecuali dalam keadaan ia telah mendekati baligh bahkan sebagian mereka telah baligh. Karena seorang anak bila telah mencapai usia 10 tahun, ia teranggap mendekati baligh dan telah mempunyai kecenderungan terhadap wanita, dan anak yang seperti ini mungkin baginya untuk menikah dan melakukan apa yang dilakukan oleh lelaki dewasa.”
Dari fatwa asy-Syaikh rahimahullah di atas kita pahami bahwa hijab sudah harus ditegakkan terhadap anak laki-laki yang mendekati baligh.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
[1] Belum bisa membedakan aurat wanita.
[2] Mimpi basah/keluar mani sebagai pertanda baligh.
[3] Sementara itu, anak yang menjelang baligh umumnya telah mengerti aurat wanita.
[4] Boleh bagi seorang wanita untuk menampakkan kepala/rambut, wajah, leher, telinga, lengan, kedua telapak tangan, dan telapak kakinya –beserta perhiasan dari luar tubuhnya yang ia letakkan pada bagian-bagian tubuh tersebut– di depan mahramnya. (Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah lil Ifta’, sebagaimana dirangkum dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 421)
[5] Orang-orang sebelum mereka yaitu orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتًا غَيۡرَ بُيُوتِكُمۡ حَتَّىٰ تَسۡتَأۡنِسُواْ وَتُسَلِّمُواْ عَلَىٰٓ أَهۡلِهَاۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk ke dalam rumah yang bukan rumah kalian sampai kalian minta ijin dan memberi salam kepada penghuninya….” (an-Nur: 27)