Duka kembali menyelimuti kaum muslimin. Ratusan jamaah haji meninggal dalam sebuah insiden di Mina dalam rangkaian ibadah haji 1436 H. Musibah ini memang terasa menyesakkan, karena sudah terjadi sekian kali. Apalagi musibah ini didahului musibah ambruknya crane beberapa hari sebelumnya.
Peristiwa ini menimpa jamaah haji, di Tanah Suci pula. Tentu bisa dibayangkan, hal ini menjadi kabar gembira bagi kalangan nonmuslim. Bahkan, bisa dijadikan pembenar bagi keyakinan atau akidah mereka.
Namun, sebagai seorang muslim, sikap pertama yang mesti dikedepankan, walaupun tampaknya pahit, adalah bertawakal. Ini adalah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak bisa kita tolak. Berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menentukan yang terbaik.
Salah satunya, peristiwa ini kemudian menyingkap siapa dan bagaimana peristiwa ini terjadi. Lagi-lagi jamaah haji Iran (baca: Syiah) yang berada di balik ini semua. Peristiwa ini menambah daftar panjang aksi-aksi berdarah Syiah dalam musim haji di Tanah Suci. Makkah nyata-nyata tak dianggap suci oleh para penganut Syiah.
Sejarah menjadi saksi betapa Syiah telah melumuri tangan mereka dengan darah kaum muslimin. Tak hanya dalam satu, dua, atau tiga dekade silam, tapi berabad-abad yang lalu, Syiah telah menodai Masjidil Haram dengan darah ribuan kaum muslimin. (Lihat: Sejarah Berbicara)
Jamaah haji yang meninggal lebih dari seribu orang. Dengan gegap gempita, sebagian pihak menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan, lantas dengan nyaringnya menyalahkan pihak lain.
Orang-orang yang sangat membenci Arab Saudi atau Wahabi, kemudian ikut kegirangan saat banyaknya hujatan dialamatkan ke Arab Saudi, terutama kalangan sufi, pecinta kubur, dan sejenisnya.
Suara nyaring itu intinya menggugat “ketidakbecusan” pemerintah Arab Saudi sebagai khadimul haramain (pelayan dua tanah suci). Desakan internasionalisasi pelaksanaan ibadah haji dicitrakan menguat oleh media-media yang juga asbun, walaupun sejatinya hanya usulan segelintir pihak. Pelaksanaan ibadah haji “semestinya” tidak hanya melibatkan pemerintah Arab Saudi, tetapi juga negara-negara Islam lain yang tergabung dalam OKI. Demikian kata mereka. Sebuah opsi yang sangat berisiko ditunggangi kepentingan politis.
Untuk menegaskan “ketidakbecusan” Arab Saudi ini, ditampilkanlah berita bahwa musibah ini disebabkan iring-iringan putra Raja Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman. Berita ini “diperkuat” dengan tayangan video saat sang pangeran melakukan ibadah haji. Namun, kemudian terbukti bahwa berita ini tidak benar.
Yang lebih lucu adalah tuntutan transparansi pelaksanaan ibadah haji, seolah-olah dana pelaksanaan haji jadi ajang korupsi. Padahal pemerintah Arab Saudi tidak mencari profit apa pun dari pelaksanaan ibadah haji. Dana triliunan rupiah digelontorkan guna memperbaiki sarana dan prasarana ibadah haji dari tahun ke tahun.
Semua itu gratis demi berkhidmat (pelayanan) kepada jamaah haji. Tuduhan bahwa pemerintah Saudi berambisi untuk meningkatkan devisa negara melalui proyek raksasa ini, jelas tuduhan tak bertanggung jawab.
Seluruh pemasukan selama pelaksanaan haji masuk ke pihak swasta atau masyarakat setempat. Dari hotel, penginapan, belanja jamaah, jelas tidak masuk ke kas negara. Padahal, secara kasatmata, pelaksanaan ibadah haji jelas menyedot dana yang tidak sedikit.
Mampukah pemerintah negara lain menyelenggarakan ibadah haji secara swadana dan tanpa korupsi? Pertanyaan ini seharusnya menjadi pijakan kita becermin sebelum kita latah menyalahkan pihak lain.
Demi pelayanan haji ini, dana besar memang harus dikeluarkan. Memperluas Masjidil Haram berikut fasilitasnya, penataan kota Makkah, dan sebagainya, jelas bukan proyek kecil-kecilan. Apalagi ini dilakukan di tengah keramaian jamaah haji dan umrah di kota Makkah yang tak pernah sepi.
Beberapa flyover dibangun untuk mengurai risiko kemacetan. Itu pun selesai dalam waktu cepat. Hasilnya, kemacetan jarang sekali ditemui saat musim haji. Kalaulah ada, biasanya saat hari haji yang banyak kendaraan tidak tertib dan parkir di bahu jalan.
Soal air, Pemerintah Arab Saudi juga tak kurang-kurang memaksimalkan teknologi penyulingan air laut. Hasilnya, tak ada istilah kekurangan air di negara yang sejatinya sangat kering ini. Namun, asbun tetaplah asbun.
Ketika ada satu hotel jamaah haji yang krannya macet, beritanya demikian heboh sampai tanah air. Seolah-olah tragedi kemanusiaan bernama kran macet itu terjadi di seluruh Timur Tengah.
Demikian juga ketika ada satu kamar terbakar yang itu adalah faktor keteledoran jamaah haji sendiri. Berita di tanah air melebihi kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan.
Kesigapan tenaga, terutama tim kesehatan Arab Saudi, memang patut diapresiasi. Mengurus dan mengatur jamaah haji yang jumlahnya hampir 3 juta jiwa tidaklah mudah. Butuh kerja keras dan manajemen luar biasa, yang dilakukan atas dasar ikhlas semata-mata mengharap pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Peristiwa crane misalnya. Dalam hitungan 2 jam, area TKP sudah bisa dipergunakan kembali. Demikian juga dengan area Mina pascamusibah. Hanya dalam hitungan 5—6 jam, TKP bisa dilalui kembali. Padahal proses evakuasi ribuan jamaah dilakukan di tengah derasnya arus manusia. Bahkan, banyak jamaah haji yang tidak menyadari bahwa baru saja terjadi peristiwa yang menelan banyak korban jiwa.
Bayangkanlah kecelakaan di jalan raya yang melibatkan beberapa kendaraan bermotor saja. Butuh sekian jam agar lalu lintas bisa normal kembali. Ini tentu patut menjadi catatan kita semua.
Kronologis Kejadian Mina
Sejumlah saksi mata di lokasi tragedi Mina mengatakan bahwa insiden diawali ketika para jamaah haji dari Iran melakukan pelanggaran dengan melewati dan menerobos rute jamaah lainnya seraya menyerukan ide revolusi Iran.
Mereka menolak diatur saat diminta oleh para petugas haji untuk kembali ke rute yang sudah ditentukan. Otoritas keamanan Arab Saudi mengatakan bahwa penyebab insiden Mina lantaran jamaah haji dari Iran tidak mengikuti rute yang sudah ditentukan pemerintah Saudi. Hal seperti ini selalu terjadi setiap tahun.
“Jamaah Iran tidak mendengarkan dan mengabaikan instruksi, kemudian bentrok dengan kami dan meneriakkan slogan-slogan revolusi sebelum terjadinya musibah Mina,” ungkap seorang pejabat keamanan Saudi seperti dikutip akun @ SaudiNews50, Kamis (24/9).
Petugas haji IRAN mengatakan kepada harian Syarq Ausath bahwa 300 jamaah haji Iran menyalahi pengaturan gelombang melempar. Hal ini menyebabkan dorong-mendorong di jalan 204 yang mengakibatkan seribuan orang wafat (131 orang dari jamaah Iran).
Para saksi mata mengungkapkan bahwa mereka sering menyaksikan jamaah
haji Iran mempropagandakan hal yang mereka sebut “Revolusi Islam” kepada jamaah haji dari negara lain.
“Mereka juga kerap mengambil keuntungan dengan memprovokasi jamaah untuk bentrok antarjamaah dan pasukan keamanan Arab Saudi.”
Saksi mata di lokasi kejadian melaporkan bahwa jamaah haji Iran kembali dari jamarat melalui jalan yang sama, padahal seharusnya melalui jalur lain. Tentu saja, arus jamaah haji Iran ini berlawanan arah dengan arus jamaah yang hendak berangkat ke Mina untuk melontar jumrah…. Terjadilah musibah Mina tersebut.
Jadi, sangat ironis ketika pemerintah Iran menampilkan diri sebagai pihak yang menuntut, menghujat, dan menyalahkan pemerintah Arab Saudi.
(disarikan dari berbagai sumber)