أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْبَشِيْرُ النَّذِيْرُ وَالسِّرَاجُ المُنِيْرُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
أَيُّهَا النَّاسُ، لَقَدْ قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ هَلۡ مِنۡ خَٰلِقٍ غَيۡرُ ٱللَّهِ يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ فَأَنَّىٰ تُؤۡفَكُونَ
“Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain dia, maka mengapa kalian berpaling?” (Fathir: 3)
Di dalam ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala memerintah seluruh manusia agar mereka mengingat nikmat-nikmat-Nya, karena yang demikian ini akan mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Ketahuilah, bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan menyebabkan terjaganya nikmat yang dikaruniakan kepada seseorang dan menyebabkan datangnya nikmat-nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang lainnya. Namun, sebagaimana diterangkan oleh Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, syukur itu tidak akan terwujud kecuali jika terbangun di atas lima perkara, yaitu dengan (1) merendahkan dirinya kepada Allah, (2) mencintai-Nya, (3) mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan karunia dari Allah, (4) memuji Allah dengan lisannya, dan (5) tidak menggunakan nikmat tersebut untuk perkara yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, sudah semestinya kita melihat kembali usaha kita dalam mewujudkan rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila salah satu dari lima perkara yang harus dipenuhi tersebut tidak dilakukan, belum dikatakan orang tersebut telah bersyukur.
Dengan demikian, bersyukur itu tidaklah cukup dengan mengucapkan alhamdulillah atau dengan sekadar menyadari bahwa nikmat tersebut datangnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan, tidak cukup pula dia tunjukkan dengan menghinakan diri serta tidak menyombongkan dirinya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi, harus dilengkapi dengan mencintai Allah subhanahu wa ta’ala dan membuktikan cintanya tersebut dengan menggunakan nikmat-nikmat tersebut di jalan yang diridhai-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah memberitakan dalam ayat-Nya bahwa keridhaan-Nya hanya akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bersyukur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِن تَشۡكُرُواْ يَرۡضَهُ لَكُمۡۗ
“Jika kalian bersyukur, niscaya Dia akan meridhai kalian (dari perbuatan syukur tersebut).” (az-Zumar: 7)
Oleh karena itu, orang-orang yang mengharapkan surga Allah subhanahu wa ta’ala sudah semestinya memperbaiki dirinya dalam bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kalau tidak demikian, bisa jadi seseorang menyangka dirinya telah bersyukur, tetapi ternyata tidak demikian kenyataannya. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya, telah membagi manusia menjadi dua kelompok, yaitu kelompok orang-orang yang bersyukur dan kelompok orang-orang yang kufur.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا هَدَيۡنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, maka (manusia) ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insan: 3)
Maka dari itu, marilah kita berusaha melihat pada diri kita masing-masing. Pada kelompok yang mana kita berada? Sudahkah kita mensyukuri nikmat waktu, nikmat sehat, penglihatan, pendengaran, lisan, dan lain-lainnya dengan menggunakannya untuk beribadah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala?
Sudahkah kita mensyukuri nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada kita, kemudahan dalam sarana transportasi dan komunikasi serta yang semisalnya untuk digunakan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala? Ataukah justru sarana tersebut digunakan untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala?
Ingatlah, bahwa nikmat-nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang dikaruniakan kepada kita sangat banyak. Kita akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Oleh karena itu, marilah kita mensyukuri nikmat-nikmat Allah subhanahu wa ta’ala dan jangan mengkufurinya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mencontohkan kepada umatnya dan menganjurkan umatnya untuk mensyukuri nikmat. Tersebut di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah dalam Shahih keduanya, melalui jalan sahabat Anas radhiallahu anhu, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melewati sebiji kurma ketika sedang berjalan.
Beliau shallallahu alaihi wa sallam lalu bersabda,
لَوْلاَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الصَّدَقَةِ لَأَكَلْتُهَا
“Kalaulah bukan (karena aku takut) kurma tersebut adalah sedekah, sungguh aku akan memakannya.”
Dari satu hadits ini saja, kita bisa mengetahui betapa besarnya perhatian Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau tidak membiarkan meskipun hanya sebiji kurma untuk dibuang dan rusak tanpa dimanfaatkan.
Kalau kita bandingkan dengan keadaan sebagian kita, akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh. Makanan yang dibuang sia-sia merupakan pemandangan yang mungkin setiap hari dijumpai di sebagian rumah kita. Bisa jadi, karena berlebihan dalam memasak atau membelinya yang kemudian menjadi rusak dan busuk sehingga kemudian dibuang sia-sia. Padahal terkadang makanan tersebut bukanlah makanan yang murah harganya atau mudah didapatkan. Sementara itu, di sekitar rumahnya banyak orang-orang fakir miskin yang tidak memiliki makanan. Sudah semestinya kita semua berusaha memperbaiki diri dalam bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Ketahuilah bahwa apabila seseorang tidak mensyukuri nikmat Allah subhanahu wa ta’ala, dia akan berada pada satu dari dua keadaan. Kemungkinan yang pertama, Allah subhanahu wa ta’ala akan mencabut nikmat tersebut darinya. Kemungkinan yang kedua, nikmat tersebut akan terus bersamanya, tetapi akan menambah beratnya siksa di akhirat kelak. Tentu kita semua tidak ingin terjatuh pada salah satu dari kedua keadaan tersebut.
وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَنَّمَا نُمۡلِي لَهُمۡ خَيۡرٌ لِّأَنفُسِهِمۡۚ إِنَّمَا نُمۡلِي لَهُمۡ لِيَزۡدَادُوٓاْ إِثۡمًاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa dibiarkannya mereka (terus mendapat nikmat) adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami membiarkan mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka dan bagi mereka nantinya azab yang menghinakan.” (Ali Imran: 178)
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مَالِكُ يَوْمِ الدِّيْنِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَعَثَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْن وَحُجَّةً عَلَى الْمُعَانِدِيْنَ وَمِنَّةً عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ أَجمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
أيُّهَا النَّاسُ، يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كِتَابِهِ الكَرِيْم: فَٱذۡكُرُونِيٓ أَذۡكُرۡكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِي وَلَا تَكۡفُرُونِ
“Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku, dan bersyukurlah kalian kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (al-Baqarah: 152)
Ketahuilah bahwa nikmat yang paling besar yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada hamba-hamba-Nya adalah nikmat berIslam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Seseorang yang telah mendapatkan nikmat tersebut berarti dia telah mengikuti satu-satunya jalan yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Jalan tersebut akan mengantarkan dirinya pada kebahagiaan yang abadi.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينًاۚ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Besarnya nikmat berIslam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar tersebut akan dirasakan oleh seseorang, ketika dia melihat bagaimana keadaan orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat ini. Betapa banyak orang yang tersesat sehingga mengikuti akidah orang-orang kafir dan musyrikin. Betapa banyak orang yang menyimpang karena mengikuti aturan-aturan yang diada-adakan oleh pemimpinnya atau pendiri kelompoknya. Begitu pula, betapa banyak orang yang tersesat karena hanya mengikuti kebiasaan atau tradisi masyarakatnya yang mengada-adakan amal ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Jadi, orang-orang yang benar-benar mengikuti ajaran Islam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar, sungguh dirinya telah diselamatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari berbagai bentuk kesesatan.
Besarnya nikmat Islam dan hidayah memahami agama Islam dengan benar juga akan dirasakan manakala seseorang mengetahui janji Allah subhanahu wa ta’ala bagi orang-orang yang mendapatkan nikmat ini dan ancaman-Nya bagi orang-orang yang tidak mendapatkannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلۡمُتَّقِينَ فِي مَقَامٍ أَمِينٍ ٥١ فِي جَنَّٰتٍ وَعُيُونٍ ٥٢ يَلۡبَسُونَ مِن سُندُسٍ وَإِسۡتَبۡرَقٍ مُّتَقَٰبِلِينَ ٥٣ كَذَٰلِكَ وَزَوَّجۡنَٰهُم بِحُورٍ عِينٍ ٥٤ يَدۡعُونَ فِيهَا بِكُلِّ فَٰكِهَةٍ ءَامِنِينَ ٥٥ لَا يَذُوقُونَ فِيهَا ٱلۡمَوۡتَ إِلَّا ٱلۡمَوۡتَةَ ٱلۡأُولَىٰۖ وَوَقَىٰهُمۡ عَذَابَ ٱلۡجَحِيمِ ٥٦ فَضۡلًا مِّن رَّبِّكَۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ٥٧
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman. (Yaitu) di dalam taman-taman dan banyak mata air. Mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan. Demikian pula Kami berikan kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran). Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia dan Allah memelihara mereka dari azab neraka. Sebagai karunia dari Rabb-mu. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar.” (ad-Dukhan: 51—57)
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan balasan bagi orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat Islam di dalam firman-Nya,
وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يَتَمَتَّعُونَ وَيَأۡكُلُونَ كَمَا تَأۡكُلُ ٱلۡأَنۡعَٰمُ وَٱلنَّارُ مَثۡوًى لَّهُمۡ
“Orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang dan neraka Jahanam adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)
Maka dari itu, marilah kita berusaha untuk mensyukuri nikmat yang paling besar ini. Meskipun nikmat yang lainnya pun tidak boleh disepelekan, nikmat mengikuti agama Islam merupakan nikmat yang paling besar dan tidak bisa dikalahkan oleh nikmat apa pun. Sekalipun dibandingkan dengan orang mendapatkan nikmat dunia dan seisinya, tetapi tidak mendapatkan nikmat Islam.
Marilah kita bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengamalkannya. Tidak sekadar mengikuti kebanyakan atau keumuman orang. Tidak pula dengan mengandalkan semangat tanpa dilandasi ilmu. Namun, harus didasarkan kepada Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam serta memahami keduanya dengan bimbingan para ulama yang mengikuti jalan generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat Nabi. Mereka adalah orang-orang yang telah mempelajari agama ini dari lisan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengetahui bagaimana beliau mempraktikkan agama ini.
Dengan demikian, kita akan diselamatkan dari berbagai ajaran yang menyimpang dan selanjutnya mendapatkan janji Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu kenikmatan surga pada kehidupan yang selamanya nanti.
Wallahu a’lam bish-shawab.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه أَجْمَعِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ