Munculnya kelompok-kelompok sesat dan para pengusungnya, merupakan petaka bagi kehidupan beragama umat manusia. Keberadaannya di tengah-tengah umat, ibarat duri dalam daging yang semakin lama semakin merusak dan membahayakan. Syubhat-syubhat yang digulirkan pun, kian hari kian mendangkalkan tonggak-tonggak keimanan yang telah terhunjam dalam sanubari mereka. Tak pelak, dengan kemunculannya terburailah ikatan persatuan umat yang telah dirajut sebaik-baiknya oleh baginda Rasul shallallahu alaihi wa sallam.
Di antara kelompok sesat yang telah menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya ialah kelompok Murjiah. Ia merupakan kelompok sempalan yang berorientasi pada pendangkalan keimanan. Syubhat-syubhatnya amat berbahaya bagi tonggak-tonggak keimanan yang telah terhunjam dalam sanubari umat. Dasar pijakannya adalah akal dan pengetahuan bahasa Arab yang dipahami sesuai dengan hawa nafsu mereka, layaknya kelompok-kelompok bid’ah lainnya. Mereka berpaling dari keterangan-keterangan yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta perkataan para sahabat dan tabiin. (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/118)
Murjiah adalah nisbah pada irja` (إِرْجَاء), yang artinya mengakhirkan. Kelompok ini disebut dengan Murjiah karena dua hal:
Di antara sekian nama yang diidentifikasi sebagai pelopor utamanya adalah:
Murjiah tergolong kelompok sesat yang tua umurnya. Ia muncul pada akhir-akhir abad pertama Hijriah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud ath-Thayalisi, dari Syu’bah, dari Zubaid, ia berkata, ‘Ketika muncul kelompok Murjiah, aku mendatangi Abu Wail dan aku tanyakan kepada beliau perihal mereka.’ Tampaklah dari sini bahwa pertanyaan tersebut berkaitan dengan akidah mereka (Murjiah), dan disampaikan (kepada Abu Wail) pada masa kemunculannya. Sementara itu, Abu Wail sendiri wafat pada 99 H, ada pula yang mengatakan pada 82 H. Dari sini terbukti, bahwa bid’ah irja` tersebut sudah lama adanya.” (Fathul Bari 1/137)
Kelompok sesat Murjiah ini kemudian tampil secara lebih demonstratif di negeri Kufah (Irak, pen.). Mereka pun menjadi rival (tandingan) bagi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah, dengan pahamnya bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan. (Lihat Majmu’ Fatawa 13/38)
Baca juga:
Murjiah sendiri terpecah menjadi beberapa sekte. Masing-masing memiliki bentuk kesesatan tersendiri. Di antara mereka, ada yang murni Murjiah dan ada pula yang tidak.
Secara garis besar, kesesatan Murjiah dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hakikat keimanan, menjadi tiga versi:
Pertama: Kesepakatan mereka bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan, sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak ulama salaf serta yang mengikuti jejak mereka.
Dalam Al-Qur’an, seringkali Allah subhanahu wa ta’ala menyebut amalan saleh sebagai ‘iman’. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah (semoga Allah menjaganya) berkata, “Seringkali Allah subhanahu wa ta’ala menyebut amalan salih dengan sebutan ‘iman’. Allah berfirman-Nya,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah keimanan mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (al-Anfal: 2—4)
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan keimanan kalian.” (al-Baqarah: 143)
Yang dimaksud dengan ‘keimanan kalian’ di sini adalah shalat kalian dengan menghadap Baitul Maqdis. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutnya dengan iman.” (Min Ushuli Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hlm. 19—20)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ ٢ وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ ٣ وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِلزَّكَوٰةِ فَٰعِلُونَ ٤ وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ ٥ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ٦ فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ ٧ وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ ٨ وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَوَٰتِهِمۡ يُحَافِظُونَ ٩
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman itu. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (al-Mu`minun: 1—9)[3]
Dalam As-Sunnah, Rasul shallallahu alaihi wa sallam pun seringkali menyebutkan bahwa amalan adalah bagian dari iman. Di antaranya ialah sabda beliau,
الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ
“Iman itu mempunyai enam puluh sekian cabang. Cabangnya yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, cabangnya yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu (juga) cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 58, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Dalam hadits ini diterangkan bahwa iman mempunyai cabang yang banyak jumlahnya. Ada yang berupa ucapan (amalan) lisan, seperti ucapan ‘Laa ilaaha illallah’. Ada yang berupa amalan tubuh, seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Ada pula yang berupa amalan hati, seperti sifat malu.
Baca juga:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah mengganggu tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau lebih baik diam (kalau tidak bisa berkata yang baik, -pen.).” (HR. al-Bukhari no. 5672, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan tidak mengganggu tetangga, memuliakan tamu, dan bertutur kata dengan baik merupakan bagian dari keimanan.
Baca juga:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga dengan lisannya, dengan hatinya; itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 78, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu)
Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan mengingkari kemungkaran merupakan bagian dari iman.
Baca juga:
Adapun ijmak adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Merupakan ijmak (kesepakatan) para sahabat, tabiin, dan yang kami jumpai dari para ulama (dunia), bahwa iman meliputi perkataan, amalan, dan niat (keyakinan hati). Tidaklah mencukupi salah satu darinya tanpa sebagian yang lain.”[4] (Majmu’ Fatawa 7/308)
Kedua: Adapun tiga versi hakikat keimanan yang ada pada kaum Murjiah, semuanya bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak. Bahkan, bertentangan dengan fitrah yang suci.
Hal ini bisa dibuktikan dengan memperhatikan poin-poin berikut:
Apakah surga itu diraih dengan santai-santai tanpa amalan dan kesungguhan?! Kalau begitu, untuk apa kita diperintah melakukan shalat, zakat, puasa Ramadhan, haji, dan amalan saleh lainnya?!
Lantas apa bedanya iman kita dengan ‘iman’ sebagian orang-orang kafir?![5]
Kalau begitu, apa bedanya dengan iman kaum munafik yang dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala?!
Baca juga:
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa iman meliputi perkataan, amalan, dan keyakinan hati. Ia bisa bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa berkurang dengan sebab kemaksiatan.
Iman bukan sekadar perkataan dan amalan tanpa adanya keyakinan di hati. Sebab, yang demikian merupakan keimanan kaum munafik.
Iman bukan pula sebatas makrifat (wacana) tanpa ada perkataan dan amalan. Sebab, yang demikian merupakan ‘iman’ orang-orang kafir durjana…
Iman juga bukan hanya keyakinan hati belaka, atau perkataan dan keyakinan hati tanpa amalan. Sebab, yang demikian merupakan iman Murjiah.” (Min Ushuli Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hlm. 19)
Pertama: Pernyataan mereka bahwa iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang, sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak ulama.
Dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang menjelaskan bahwa iman dapat bertambah disebabkan ketaatan dan dapat berkurang disebabkan kemaksiatan. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنًا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ
(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya manusia (orang-orang kafir Quraisy, -pen.) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kalian kepada mereka.” Maka perkataan itu justru menambah keimanan mereka dan menjawab, “Cukuplah Allah sebagai Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran: 173)
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٢ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ حَقًّاۚ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (al-Anfal: 2—4)
Baca juga:
فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَزَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنًا وَهُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ
“Adapun orang-orang yang beriman, maka (surah Al-Qur’an yang diturunkan Allah tersebut) menambah iman mereka, dalam keadaan mereka merasa gembira.” (at-Taubah: 124)
لِيَزۡدَادُوٓاْ إِيمَٰنًا مَّعَ إِيمَٰنِهِمۡۗ
“Agar keimanan mereka bertambah, di samping keimanan yang sudah ada pada mereka.” (al-Fath: 4)
وَيَزۡدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِيمَٰنًا
“Dan supaya orang-orang yang beriman itu semakin bertambah keimanannya.” (al-Muddatstsir: 31)
Baca juga:
Di dalam As-Sunnah, banyak juga sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Di antaranya adalah sabda beliau,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga dengan lisannya, dengan hatinya; itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 78, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu)
Tidaklah iman itu dikatakan lemah/berkurang, kecuali karena dia bisa kuat/bertambah.
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing ada kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Adanya mukmin yang kuat dan mukmin yang lemah menunjukkan bahwa iman setiap orang berbeda-beda, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas (bertambah atau berkurang).
Baca juga:
Adapun ijmak ulama, sebagaimana yang dikatakan Musa bin Harun al-Hammal,
“Telah mendiktekan (imla) kepada kami Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, ‘Tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa iman meliputi perkataan dan amalan,[7] bisa bertambah dan bisa berkurang. Hal itu berdasarkan riwayat-riwayat dan atsar yang sahih lagi pasti, serta pernyataan-pernyataan individu dari para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para tabiin, dan para ulama generasi setelah tabiin. Mereka semua bersepakat dan tak berselisih dalam hal ini.
Demikian pula pada masa al-Auza’i di Syam, Sufyan ats-Tsauri di Irak, Malik bin Anas di Hijaz, dan Ma’mar bin Rasyid di Yaman. (Pernyataan) mereka semua sama dengan kami, yaitu iman meliputi perkataan dan amalan, bisa bertambah dan bisa berkurang’.”[8] (Majmu’ Fatawa 7/308)
Kedua: Perkataan mereka (Murjiah) bahwa ‘dosa besar (kemaksiatan) tidak dapat mengurangi/merusak keimanan sedikit pun, sebagaimana pula suatu ketaatan tak akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu, pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasik, melainkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan azab apa pun dari Allah subhanahu wa ta’ala’,
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan,
“Ahli fikih dan hadits telah bersepakat bahwa iman meliputi perkataan dan amalan, dan tidak ada amalan kecuali berdasarkan niat. Demikian pula, iman bisa bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan.” (at-Tamhid, 9/238)
Bahkan, Imam al-Auza’i rahimahullah mengatakan,
“Iman itu meliputi perkataan dan amalan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Barang siapa menyatakan bahwa iman itu bisa bertambah, tetapi tidak bisa berkurang. Maka dari itu, berhati-hatilah darinya karena dia adalah seorang ahli bid’ah (mubtadi’).” (asy-Syari’ah, hlm. 113)
ini adalah batil dan sesat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim merupakan kefasikan, dan memeranginya merupakan kekufuran.” (HR. al-Bukhari no. 48, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu)
Baca juga:
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Baththah dengan sanadnya yang sampai kepada Mubarak bin Hassan, ia berkata, “Aku pernah berkata kepada Salim al-Afthas (salah seorang pelopor Murjiah, -pen.),
‘Ada seseorang yang taat kepada Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Ada pula seseorang yang bermaksiat kepada Allah dan tidak menaati-Nya. Kemudian keduanya meninggal dunia. Allah memasukkan seorang yang taat tersebut ke dalam jannah (surga) dan memasukkan si pelaku maksiat ke dalam neraka. Apakah antara keduanya ada perbedaan dalam hal keimanan?’
Dia (Salim al-Afthas) menjawab, ‘Tidak ada perbedaan antara keduanya.’
Akhirnya, kejadian ini kusampaikan kepada Atha’ (salah seorang imam tabiin, -pen.). Beliau berkata, ‘Tanyakan kepadanya, apakah iman itu sesuatu yang baik ataukah sesuatu yang buruk? Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِيَمِيزَ ٱللَّهُ ٱلۡخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِ وَيَجۡعَلَ ٱلۡخَبِيثَ بَعۡضَهُۥ عَلَىٰ بَعۡضٍ فَيَرۡكُمَهُۥ جَمِيعًا فَيَجۡعَلَهُۥ فِي جَهَنَّمَۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ
‘Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagian di atas yang lain, lalu semuanya Dia tumpuk dan Dia masukkan ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.’ (al-Anfal: 37)
Lalu kutanyakan kepada mereka (Murjiah, pen.) apa yang disarankan oleh Atha’. Tak seorang pun dari mereka (kaum Murjiah) yang mampu menjawabnya.”[11] (Majmu’ Fatawa 7/180)
Para pembaca yang mulia, dari pembahasan yang telah lewat, amatlah jelas bahaya kelompok sesat Murjiah ini. Prinsip-prinsipnya benar-benar mendangkalkan keimanan umat, membuat mereka malas beramal saleh dan bermudah-mudah melakukan kemaksiatan, dengan penuh keyakinan bahwa imannya sempurna dan dia aman dari azab Allah subhanahu wa ta’ala.
Baca juga:
Tak mengherankan apabila Imam Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah mengatakan, “Sungguh, fitnah (keburukan) Murjiah ini lebih aku khawatirkan terhadap umat daripada fitnah Azariqah (Khawarij).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, 3/1061)
Akhir kata, demikianlah yang dapat kami sajikan seputar kelompok Murjiah dan kesesesatannya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi para pencari kebenaran. Selanjutnya, para pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang kesesatan Murjiah berikut jawabannya, silakan merujuk
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Musyabbihah adalah kelompok yang menyamakan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
[2] Lihat Majmu’ Fatawa (7/195, 387).
[3] Ayat di atas termasuk beberapa ayat yang disebutkan Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, “Bab Umuril Iman”, sebelum beliau menyebutkan hadits-hadits tentang amalan keimanan.
[4] Demikian pula yang dikatakan oleh Imam al-Ajurri dalam asy-Syari’ah (hlm. 114). Untuk mengetahui nama-nama para ulama tersebut, lihatlah Majmu’ Fatawa (7/308—311) dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya al-Lalikai (4/913—933, 5/955—959).
[5] Sebagaimana firman Allah,
وَجَحَدُواْ بِهَا وَٱسۡتَيۡقَنَتۡهَآ أَنفُسُهُمۡ ظُلۡمًا وَعُلُوًّاۚ
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakininya.” (an-Naml: 14)
[6] Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah karya Syaikh Shalih al-Fauzan (hlm. 113—114) dan Syarh Lum’atul I’tiqad karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (hlm. 162—163).
[8] Untuk mengetahui lebih rinci nama-nama para ulama tersebut beserta perkataan mereka, lihatlah Majmu’ Fatawa (7/309—311) dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah karya Imam al-Lalikai (5/960—1036).
[9] Yaitu prinsip mereka bahwasanya iman tidak bisa bertambah dan tidak berkurang, melainkan satu kesatuan yang tak berbilang.
[10] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushabi hafizhahullah berkata,
“Dalil-dalil tentang bertambahnya iman ini, sekaligus juga sebagai dalil tentang berkurangnya. Sebab, sebelum iman itu bertambah, ia berkurang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang secara tersurat menunjukkan tentang bertambahnya iman, secara tersirat ia pun menunjukkan tentang berkurangnya iman.” (al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hlm. 62)
[11] Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Ahlus Sunnah Wal Jamaah berada di tengah-tengah. Mereka menyatakan bahwasanya pelaku dosa besar (di bawah syirik, -pen.) adalah seorang yang berdosa. Dia terancam azab (dari Allah subhanahu wa ta’ala). Imannya berkurang dan dihukumi sebagai orang fasik. (Tidak seperti Murjiah yang menyatakan bahwasanya pelaku dosa besar itu sempurna imannya dan tidak terancam azab dari Allah subhanahu wa ta’ala).
Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, pelaku dosa besar tersebut belum keluar dari keimanan dan tidak kekal di dalam neraka jika ia dimasukkan ke dalamnya. Dia berada di bawah kehendak (masyi’ah) Allah subhanahu wa ta’ala; jika Allah berkehendak untuk mengampuninya, ia akan mendapatkan ampunan-Nya (dan dimasukkan ke dalam surga secara langsung, tanpa melalui proses azab, -pen.). Jika Allah berkehendak untuk mengazabnya, dia akan diazab terlebih dahulu sesuai dengan kadar dosa yang dilakukannya, kemudian dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. (Tidak seperti yang dinyatakan oleh Wa’idiyah [Khawarij dan Mu’tazilah, -pen.] bahwasanya pelaku dosa besar tersebut telah keluar dari keimanan dan kekal di dalam neraka).
Murjiah hanya mengambil dalil-dalil ampunan/pahala, sedangkan Wa’idiyah (Khawarij dan Mu’tazilah, -pen.) hanya mengambil dalil-dalil ancaman/azab. Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah menggabungkan (mengambil) dalil-dalil ampunan/pahala dan dalil-dalil ancaman/azab.” (Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, hlm. 113)