Asysyariah
Asysyariah

hukum jual beli saham & obligasi

8 tahun yang lalu
baca 5 menit
Hukum Jual Beli Saham & Obligasi

Tidak diragukan bahwa banyak transaksi yang berlangsung di masa ini dalam bentuk jual beli saham dan obligasi. Ini merupakan salah satu aktivitas yang dijalankan oleh bank-bank komersial.

Oleh karena itu, kami akan menyebutkan definisi masing-masing dan perbedaan antara keduanya kemudian hukum memperjualbelikannya.

 Definisi Saham & Obligasi

Saham merupakan satuan nilai dari modal sebuah perusahaan dagang atau real estate, atau perusahaan industri perusahaan milik atau kontrak. Obligasi adalah surat berharga atau instrumen yang mengandung perjanjian dari sebuah perusahaan atau bank (penerbit obligasi), yang diberikan kepada pemegang obligasi untuk memberikan nominal tertentu pada waktu tertentu, dengan imbalan suku bunga yang ditentukan disebabkan transaksi pinjaman yang dilangsungkan oleh pihak perusahaan atau instansi pemerintah atau perseorangan.

Sebuah perusahaan terkadang membutuhkan modal dalam jumlah besar untuk memperluas usahanya. Perusahaan tersebut membutuhkan pihak yang meminjami modal dengan pelunasan dalam jangka panjang.

Maka dari itu, perusahaan terpaksa menawarkannya kepada publik dengan menerbitkan surat berharga dalam bentuk obligasi dan menjualnya kepada publik dengan perjanjian bahwa tiap obligasi akan mendapatkan suku bunga tertentu setiap tahun, sampai waktu yang disepakati, lalu pinjaman tersebut dikembalikan sepenuhnya.

Transaksi jual beli obligasi telah biasa terjadi antara perorangan, sehingga menjadi hal yang wajar ketika seorang pemilik obligasi menjualnya kepada pihak lain, dan begitu seterusnya.

 Perbedaan Saham & Obligasi

  1. Saham merupakan satu bagian dari modal perusahaan sehingga pemiliknya merupakan pemilik sebagian modal perusahaan seukuran dengan kadar sahamnya.

Adapun obligasi merupakan sebuah piutang atas perusahaan sehingga perusahaan berutang pada pembawa surat obligasi tersebut.

  1. Obligasi memiliki jangka waktu tertentu untuk dilunasi.

Adapun saham tidak diberikan kepada pemiliknya melainkan saat pembubaran atau likuidasi perusahaan tersebut.

 

  1. Pemegang saham merupakan seorang yang berserikat dalam perusahaan tersebut.

Dia berisiko rugi dan berkemungkinan untung, seiring dengan keberhasilan perusahaan atau kegagalannya. Nilai keberuntungannya tidak terbatas, bisa jadi untungnya besar, bisa jadi pula kerugiannya yang besar.

Para pemegang saham saling berbagi keuntungan perusahaan dan berbagi kerugiannya.

Adapun pemegang surat obligasi, dia memiliki keuntungan tetap yang terjamin saat memberi pinjaman sesuai dengan perjanjian dalam penerbitan obligasi tersebut, tidak bertambah atau berkurang. Selain itu, dia tidak menanggung risiko kerugian.

 

  1. Ketika terjadi likuidasi atau pembubaran, prioritas pertama adalah para pemegang surat obligasi, karena hal itu merupakan utang perusahaan.

Pemilik saham mendapat sisa setelah dilunasinya utang.

 

Hukum Jual Beli Saham

Dilihat dari sisi usaha perusahaan tersebut, saham dapat dibagi menjadi dua:

  1. Saham sebuah perusahaan yang haram, atau saham perusahaan yang berpenghasilan haram.

Contohnya, badan perbankan yang mengelola usaha-usaha ribawi, perusahaan judi, produsen visual pornografi atau pornoaksi, perusahaan miras, dan hal yang haram semisalnya. Jual beli saham perusahaan yang seperti ini hukumnya haram. Sebab, ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan sesuatu, Dia subhanahu wa ta’ala mengharamkan pula hasil penjualannya.

Selain itu, membeli saham perusahaan seperti ini termasuk ikut serta dalam dosa dan bantu-membantu padanya. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ

“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam hal dosa dan permusuhan.” (al-Maidah: 2)

 

  1. Saham sebuah perusahaan yang mubah.

Misalnya, sebuah perusahaan perdagangan yang mubah atau industri yang mubah. Pada perusahaan semacam ini, boleh kita menanam saham dengan syarat perusahaannya jelas dan tidak terdapat unsur penipuan atau kemajhulan yang parah. Sebab, saham merupakan bagian dari modal usaha yang memberi keuntungan pada pemilik modal dari usahanya tersebut, baik dalam bentuk industri maupun perdagangan. Hal ini jelas halal, tanpa keraguan.

 

Sanggahan

Pada jual beli saham, umumnya pembeli dan penjual tidak mengetahui semua milik perusahaan, sehingga jual beli ini ada unsur gharar atau jahalah, yakni ketidaktahuan terhadap barang yang diperjualbelikan.

 

Jawaban

Walaupun terdapat unsur jahalah dalam jual beli saham, tetapi jahalah pada kadar semacam itu dimaafkan karena jahalah pada kadar tersebut tidak mengakibatkan perselisihan. Jahalah yang menghalangi sahnya akad adalah yang berakibat tidak memungkinnya akad dilangsungkan atau menimbulkan perselisihan.

Contohnya, penjualan seekor kambing dari sekumpulan kambing yang berbeda-beda tanpa ditentukan kambing yang mana. Dalam kasus ini, penjual biasanya menginginkan untuk memberikan kambing yang terkecil, sementara pembeli umumnya menginginkan kambing yang paling bagus dan mahal. Akibatnya, keduanya akan bertikai dan menghambat terlaksananya transaksi jual beli.

Adapun jahalah dalam masalah ini tidak berakibat pertikaian, karena jual beli tersebut terjadi pada sebagian tertentu. Alasan lainnya adalah orang-orang membutuhkan transaksi jual beli ini. Apabila jual beli ini dilarang, akan terjadi mudharat yang cukup besar. Sementara itu, Penetap syariat tidak mengharamkan apa yang diperlukan manusia hanya karena ketidakjelasan yang kadarnya tidak banyak.

Oleh karena itu, dibolehkan menjual buah di pohon setelah tampak matangnya dan terus dibiarkan sampai dipetik, walaupun sebagian yang terjual belum ada. Sebagian ulama juga membolehkan jual beli yang masih ada dalam tanah, seperti wortel dan sejenisnya. Demikian pula jual beli buah yang kulitnya menjadi pelindungnya, seperti anggur, delima, pisang, semuanya masih dengan kulitnya. Ini adalah kesepakatan ulama.

Apalagi jika pada barang yang dijual ada sesuatu yang menunjukkan hal yang tidak terlihat, jual belinya diperbolehkan menurut kesepakatan ulama. Demikian pula tentang sebuah perusahaan yang keberhasilan atau kegagalannya bisa ditunjukkan oleh apa yang tampak.

Di samping itu, jual beli gharar dilarang karena mengakibatkan tindakan memakan harta manusia dengan cara yang batil. Apabila hal ini tidak dilakukan dan mengakibatkan mudarat yang lebih besar, hal tersebut boleh dilakukan demi menanggulangi mudarat yang lebih besar dengan melakukan mudarat yang lebih kecil. Ini merupakan kaidah yang telah tetap dalam syariat.

 

Hukum Jual Beli Obligasi

Telah dijelaskan di atas bahwa obligasi merupakan utang yang berbunga karena obligasi merupakan utang atas perusahaan. Pemegang obligasi berhak mendapatkan suku bunga tertentu setiap tahun, sama saja apakah perusahaan beruntung atau merugi.

Berdasarkan hal ini, obligasi merupakan transaksi ribawi sehingga sejak awal penerbitannya sudah tidak syar’i. Dengan demikian, jual belinya pun tidak syar’i, dan pemegangnya tidak boleh menjualnya.

(Diterjemahkan dan diringkas dari kitab ar-Riba wal Mu’amalat al-Mashrafiyyah, karya Dr. Umar bin Abdul Aziz al-Mutrik, wafat 1405 H)

Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi