(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Pengikut Rasulullah n adalah orang yang memiliki kewajiban mendakwahkan risalah suci, Islam. Mendakwahkan apa yang telah dibawa oleh Rasulullah n. Allah l berfirman:
Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)
Allah l berfirman kepada hamba dan Rasul-Nya yang Dia utus kepada manusia dan jin. Allah l memerintahkan kepada beliau n untuk mengabarkan kepada segenap manusia bahwasanya inilah jalan-Nya, yaitu thariqah (cara), jejak, dan sunnah-Nya yang menyeru dan mengajak kepada syahadah (persaksian) bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah saja. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah memerintahkan kepada beliau n untuk menyeru (mengajak) ke jalan Allah dengan kalimat syahadat tersebut atas dasar bashirah (ilmu), keyakinan, dan burhan (penerangan). Rasulullah n dan setiap orang yang mengikutinya, mengajak kepada apa yang didakwahkan oleh beliau n berdasarkan bashirah, keyakinan, burhan yang syar’i, dan (bisa diterima oleh) akal yang jernih. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/430)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t—ketika menjelaskan kalimat ilallah pada ayat di atas—mengatakan, “Sungguh, du’at (orang-orang yang menyeru dan mengajak) ke jalan Allah l terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah orang yang menyeru kepada Allah, sedangkan yang kedua adalah orang yang menyeru kepada selain Allah. Seorang dai yang menyeru ke jalan Allah l adalah yang benar-benar ikhlas, menginginkan terjalinnya hubungan manusia dengan Allah l. Adapun dai yang menyeru kepada selain Allah l, bisa jadi dia menyeru untuk kepentingan dirinya. Dia menyeru kepada kebenaran agar dirinya diagungkan dan dihormati oleh manusia. Karena itu, jika perintahnya tidak ditunaikan, dia pun marah.” (al-Qaulul Mufid, 1/118)
Adapun asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah al-Jabiri hafizhahullah menyampaikan bahwa para dai dan orang-orang yang terkait dengan dakwah ada tiga golongan.
1. Ahlul bashirah
Mereka adalah orang-orang yang memahami agama Allah, mendakwahkannya dengan penuh hikmah, dan menasihati dengan cara yang baik, disertai hujjah dan burhan. Mereka adalah orang-orang yang paling bahagia. Mereka mendapatkan pujian dari Allah melalui firman-Nya kepada Nabi-Nya n:
Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)
2. Dai yang jahil
Mereka memimpin lapangan dakwah namun tidak memiliki kefaqihan (pemahaman) tentang agama Allah. Kalau pun dia paham, dia masih tidak termasuk orang yang cakap dalam mengamalkan agama. Mereka adalah orang-orang yang merusak di muka bumi dan tidak melakukan upaya perbaikan. Mereka hakikatnya adalah tangga pijakan bagi para pengikut hawa nafsu.
3. Dai penyebar fitnah dan kesesatan
Mereka adalah para dai yang menyeleweng.
Maka dari itu, sangatlah berbahagia orang-orang yang termasuk golongan pertama, para dai yang menyeru ke jalan Allah di atas bashirah, bayyinah (penjelasan), dan kefaqihan tentang agama Allah l. Sungguh Rasulullah n telah bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah baik, Allah akan memahamkan padanya agama.” (HR. al-Bukhari no. 71, Muslim no. 2386) (Ithafu al-’Uqul bi Syarhi Tsalatsatil Ushul hlm. 24—25)
Dakwah dengan ilmu merupakan keharusan karena sejatinya, dakwah adalah menyebarkan ilmu yang telah diwariskan oleh Rasulullah n.
Makna ‘ala bashirah dalam ayat di atas, menurut asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin adalah ilmu. Meliputi dakwah secara ikhlas dan diiringi dengan ilmu. Karena senyatanya, kebanyakan sebab timbulnya kerusakan dalam dakwah lantaran ketiadaan sikap ikhlas atau ketiadaan ilmu. yang dimaksud ilmu dalam ayat di atas bukan semata-mata ilmu syar’i, tetapi meliputi pula ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi dan ilmu yang bisa menyampaikan kepada tujuan, yaitu berupa al-hikmah. (al-Qaulu al-Mufid, 1/119)
Makna ‘ala bashirah yang berarti atas dasar ilmu dikemukakan pula oleh asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t. Menurut beliau t, makna ‘ala bashirah adalah dari agama. Pengertiannya atas dasar ilmu dan keyakinan, tanpa disertai syak, keraguan, dan kebimbangan. (Taisir al-Karim ar-Rahman, 430)
Ketika memberikan pengantar pada kitab Manhaju al-Anbiya’ fi ad-Da’wati ilallah fihi al-Hikmah wal ‘Aql karya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi bin ‘Umair al-Madkhali hafizhahullah, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan beberapa penopang yang menegakkan dakwah yang benar sebagaimana telah ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah. Beberapa penopang tersebut secara ringkas disebutkan sebagai berikut.
1. Ilmu tentang materi yang dia dakwahkan. Seorang yang jahil (tidak memiliki pemahaman agama yang benar) tidak diperkenankan menjadi juru dakwah (dai). Allah l berfirman kepada Nabi-Nya n:
“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku; aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah’.” (Yusuf: 108)
Yang dimaksud bashirah adalah ilmu. Sungguh, seorang dai bisa saja harus menghadapi para ulama sesat yang akan melontarkan beragam syubhat dan mendebatnya dengan cara yang batil, guna meruntuhkan kebenaran. Allah l berfirman:
“Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)
Nabi n bersabda kepada Muadz z:
إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari kalangan ahli kitab.” (HR. al-Bukhari no. 4347)
Jika seorang dai tidak memiliki senjata yang berupa ilmu, setiap syubhat dan perdebatan yang diarahkan kepadanya bisa membuatnya terpukul mundur dan terdiam di awal langkah.
2. Mengamalkan apa yang dia serukan sehingga bisa menjadi teladan yang baik. Perbuatan-perbuatan yang ditampilkannya merupakan perwujudan dari apa yang dikatakannya. Dengan demikian, para ahli batil tidak memiliki celah (hujjah) untuk mencelanya. Allah l berfirman perihal Nabi Syu’aib q yang berkata kepada kaumnya:
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.” (Hud: 88)
Allah l berfirman kepada Nabi Muhammad n:
Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’am: 162-163)
Juga firman-Nya:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’.” (Fushshilat: 33)
3. Ikhlas
Hendaknya ia ikhlas dalam berdakwah, menjadikannya untuk wajah Allah, tidak ditujukan untuk riya (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar), popularitas, kedudukan dan ketamakan dalam meraup dunia. Jika dakwah telah tercemari dengan hal-hal di atas maka dakwah tersebut bukan lagi karena Allah. Dakwah tersebut sudah berubah menjadi dakwah karena hawa nafsu dan ketamakan akan apa yang menjadi tujuan pribadinya. Allah l mengabarkan keadaan para nabi-Nya yang mengatakan kepada umat mereka:
“Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan.” (al-An’am: 90)
“Aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku.” (Hud: 29)
4. Memulai dengan sesuatu yang teramat penting dari yang terpenting.
Hendaknya dia mengawali dakwah dengan sesuatu yang menuju perbaikan akidah, dengan memerintahkan berbuat ikhlas kala beribadah semata-mata karena Allah l dan mencegah perbuatan syirik. Selanjutnya dia memerintahkan menegakkan shalat dan menunaikan zakat, mengerjakan hal-hal yang wajib dan menjauhi hal-hal yang haram. Ini adalah cara yang ditempuh oleh seluruh rasul. Allah l berfirman:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (an-Nahl: 36)
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya “Tidak ada ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (al-Anbiya: 25)
Saat Nabi n mengutus Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau berpesan, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari kalangan ahli kitab. Maka dari itu, jadikanlah pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat bahwasanya tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah. Jika mereka menerima seruanmu, beritahu mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam ….” (HR. al-Bukhari no. 4347)
Perjalanan dakwah Nabi n adalah contoh terbaik dan manhaj (metodologi) yang paling sempurna. Saat menetap di Makkah, selama tiga belas tahun beliau n berdakwah mengajak manusia kepada tauhid dan melarang perbuatan kesyirikan. Itu dilakukan sebelum beliau n memerintahkan mereka untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa, dan berhaji. Juga sebelum mereka dilarang melakukan riba, zina, mencuri, dan membunuh manusia tanpa alasan yang benar.
5. Bersabar atas segala kesulitan yang dijumpai saat menunaikan dakwah menyeru ke jalan Allah. Sungguh, jalan dakwah itu bertabur onak, duri, dan bahaya. Teladan terbaik dalam hal ini adalah para rasul r yang telah mengalami gangguan dan cemoohan. Allah l berfirman:
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokan mereka.” (al-An’am: 10)
Allah l juga berfirman:
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka.” (al-An’am: 34)
6. Hendaknya seorang juru dakwah berhias dengan akhlak yang baik dan menggunakan (cara-cara) hikmah dan bijak dalam dakwahnya. Cara-cara semacam itu akan menjadikan dakwahnya diterima. Allah l juga memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun r untuk menempuh cara-cara tersebut kala menghadapi manusia yang paling kafir di muka bumi, Fir’aun, yang mengaku sebagai tuhan. Allah memerintahkan dalam firman-Nya:
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)
Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir’aun), “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan) dan kamu akan kupimpin ke jalan Rabbmu supaya kamu takut kepada-Nya?” (an-Nazi’at: 17—19)
Allah l juga berfirman tentang Nabi Muhammad n:
“Disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali Imran: 159)
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)
7. Seorang dai hendaknya memiliki ketangguhan dalam mewujudkan cita-cita. Tidak mudah patah arang untuk memberi pengaruh dengan dakwahnya dan menyampaikanpetunjuk kepada kaumnya. Tidak mudah berputus asa dari mengharapkan pertolongan dan bantuan Allah l meski harus menanti dalam waktu yang lama. Dalam hal ini, para rasul Allah merupakan sebaik-baik teladan. (Lihat hlm. 20-22)
Seseorang yang berdakwah dengan penuh hikmah adalah orang yang berdakwah atas dasar ilmu ang bermanfaat, amal saleh, memulai dari yang teramat penting disusul oleh hal yang penting, serta memahami karakteristik individu dan lingkungan yang didakwahi. Dengan demikian, diharapkan dakwah yang diserukan bisa diterima dengan sebaik-baiknya. Hal di atas dibarengi oleh metodologi dakwah yang menggunakan cara lemah lembut dan menanggalkan
cara-cara yang kasar dan praktik-praktik kekerasan. Dakwah hikmah yang memuat unsur kesantunan dalam bertutur kata, bersikap, dan berperilaku. Berbahagialah seseorang yang dikaruniai hikmah. Allah l berfirman:
ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯﯰ
“Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (al-Baqarah: 269)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t menyatakan, seluruh urusan tidak akan menjadi baik melainkan jika diiringi sikap hikmah, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Meletakkan segala urusan pada posisi yang tepat. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 108)
Serulah ke jalan Allah dengan penuh hikmah ….
Wallahu a’lam.