Asysyariah
Asysyariah

fatwa seputar al-qur’an

13 tahun yang lalu
baca 6 menit

Berikut ini kami bawakan beberapa pertanyaan terkait dengan Al-Qur’anul Karim yang dijawab oleh al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’1 yang saat itu diketuai oleh Samahatul Walid asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz t dengan wakil asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi2.

Sebagian buletin ataupun tabloid yang padanya tertulis bismillahir rahmanir rahim, didapatkan terbuang di jalanan, bahkan digunakan sebagian orang untuk mengelap kaca. Apakah hal ini dibolehkan?
Jawab:
Menuliskan bismillahir rahmanir rahim disyariatkan di awal kitab-kitab ilmu dan di awal surat. Demikian yang dilakukan oleh Rasulullah n dalam surat-surat yang beliau kirimkan. Kebiasaan ini berlanjut dilakukan oleh para khalifah Rasulullah n serta para sahabat g sepeninggal beliau n. Demikian pula kaum muslimin sampai pada hari kita ini berjalan di atas kebiasaan ini.
Menjaga dan memelihara lembaran yang di dalamnya terdapat tulisan basmalah hukumnya wajib dan menghinakannya adalah haram. Orang yang menghinakannya mendapatkan dosa, karena basmalah termasuk ayat yang berdiri sendiri dalam Kitabullah dan termasuk sebagian ayat dari surah an-Naml. Maka dari itu, seseorang tidak boleh menggunakannya sebagai sarana pembersih kotoran, alas makanan, atau pembungkus barang, sebagaimana tidak boleh membuangnya di tempat sampah. Wabillahi at-taufiq. (Fatwa no. 1283)
Apakah kami boleh membakar lembaran/tabloid yang di dalamnya terdapat ayat-ayat Al-Qur’an setelah kami selesai membacanya? Apa pula hukumnya membakar lembaran Al-Qur’an yang berceceran?
Jawab:
Boleh membakar lembaran/tabloid tersebut untuk menjaga ayat Al-Qur’an yang ada di dalamnya, hadits Nabi n, atau hal lain yang wajib dihormati. Sebagaimana boleh pula membakar lembaran mushaf dalam rangka menjaganya dari penghinaan dan menjaga kehormatannya. Bisa juga dengan cara memendamnya dalam tanah yang bersih. Wabillahi at-taufiq. (Fatwa no. 3916)

Manakah yang lebih utama, membaca Al-Qur’an dengan mushaf atau tanpa mushaf?
Jawab:
Yang paling afdhal adalah yang paling memberi manfaat kepada Anda dan paling khusyuk bagi hati Anda. (Fatwa no. 9770)
Manakah yang lebih afdhal di sisi Allah l, membaca Al-Qur’an, shalat nafilah, ataukah berdoa?
Jawab:
Membaca Al-Qur’an adalah amalan yang utama. Demikian pula ibadah-ibadah sunnah dan doa yang merupakan inti ibadah. Keutamaan amalan-amalan ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan, waktu, dan sebabnya. Maka dari itu, kami nasihatkan kepada Anda agar memperbanyak tilawah Al-Qur’an, mengerjakan shalat nafilah/sunnah dan berdoa sesuai dengan kemampuan, disertai oleh keikhlasan hanya untuk Allah l dalam beramal, dan bergembiralah dengan kebaikan serta pahala yang besar. Wabillahit taufiq. (Fatwa no. 5828)
Apa hukum mengucapkan shadaqallahul azhim setelah selesai membaca Al-Qur’an?
Jawab:
Ucapan shadaqallahul azhim setelah membaca Al-Qur’an adalah bid’ah karena Nabi n tidak pernah melakukan dan mencontohkannya. Demikian pula al-Khulafa’ ar-Rasyidun3 dan seluruh sahabat g. Hal ini juga tidak pernah pula dilakukan oleh para imam (ulama) dari kalangan salaf, padahal mereka adalah orang-orang yang banyak membaca Al-Qur’an, penuh perhatian terhadap Al-Qur’an, dan mengetahui kadarnya. Karena itu, mengucapkan kalimat itu dan terus-menerus mengucapkannya setiap selesai membaca Al-Qur’an adalah bid’ah yang diada-adakan. Di sisi lain, telah pasti kabar dari Nabi n bahwa beliau n bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara yang diada-adakan itu tertolak.” (HR. al-Imam al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Rasulullah n juga bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. al-Imam Muslim dalam Shahih-nya)
Wabillahit taufiq. (Fatwa no. 3303)
Apa hukumnya membaca Al-Qur’an secara bersama-sama?
Jawab:
Membaca Al-Qur’an adalah ibadah dan termasuk amalan yang paling utama yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah l. Hukum asal cara membaca Al-Qur’an adalah seperti cara yang dulunya dilakukan oleh Nabi n dan para sahabat beliau g. Dalam hal ini tidak ada keterangan yang pasti dari beliau dan juga para sahabat beliau bahwa mereka membaca Al-Qur’an secara bersama-sama dengan satu suara4. Justru yang ada adalah semua mereka membaca sendiri-sendiri (tidak bersama-sama), atau salah seorang dari mereka membaca dan orang yang hadir mendengarkan bacaannya. Telah pasti berita dari
Nabi n bahwa beliau n bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
“Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah ar-rasyidun setelahku.”
Beliau n bersabda pula, “Siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara yang diada-adakan itu bertolak.”
Sabdanya pula, “Siapa yang mengamalkan amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalan tersebut tertolak.”
Telah datang berita kepada kita dari Nabi n bahwa beliau n pernah menyuruh Abdullah ibnu Mas’ud z untuk memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada beliau. Ibnu Mas’ud z berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَأَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟ قَالَ: إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِيْ
“Apakah aku membacakan Al-Qur’an untukmu padahal Al-Qur’an ini turun kepadamu?” Beliau menjawab, “Aku suka mendengarnya dari orang lain.” (Fatwa no. 4394)

Apakah dibolehkan bagi seorang wanita menjahrkan bacaan Al-Qur’an dalam shalat subuh, maghrib, dan isya sebagaimana pria, atau hal ini tidak diperkenankan baginya?
Jawab:
Apabila si wanita berada sendirian dalam rumahnya atau ia bersama mahramnya atau bersama kaum wanita saja, dia boleh menjahrkan bacaannya.
Demikian pula jika ia mengimami para wanita di rumahnya, tanpa ada lelaki ajnabi, ia boleh menjahrkan bacaannya (dalam shalat jahriyah). Namun, jika ia shalat dan di sekitarnya ada lelaki ajnabi yang dapat mendengar suaranya, yang utama adalah ia tidak menjahrkan suaranya5.
Wabillahi at-taufiq. (Fatwa no. 2634)

 

Catatan Kaki:

1 Sebagaimana terangkum dalam kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah.
2 Beliau adalah Abdurrazzaq ibnu Afifi ibni Athiyah. Beliau lahir tahun 1323 H. Beliau belajar ilmu di al-Azhar Mesir. Allah l telah memberikan rezeki kepada beliau berupa kuatnya hafalan dan pemahaman yang mendalam sehingga jika beliau membicarakan sebuah bidang ilmu, para pendengarnya akan mengira bahwa beliau menghabiskan seluruh waktunya khusus untuk mempelajari ilmu tersebut. Setelah beberapa lama tinggal di Mesir, beliau pindah ke Saudi Arabia, berdakwah dan mengajar di negeri yang mubarak tersebut.

3 Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar ibnul Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib g.

4 Dalam fatwa no. 3302 disebutkan bahwa membaca Al-Qur’an secara bersama-sama jika tujuannya adalah untuk pengajaran/taklim, diharapkan hal itu tidak mengapa, dengan maksud mereka membaca secara bersama-sama guna menghafal atau mempelajarinya. Selain itu, yang disyariatkan adalah satu orang yang membacanya, sementara yang lain mendengarkan. Atau masing-masing membaca secara sendiri-sendiri tanpa menyengaja menjadikannya satu suara/berbarengan dengan yang lain sementara yang lain mendengarkan. Atau masing-masing membaca secara sendiri-sendiri tanpa menyengaja menjadikannya satu suara/berbarengan dengan yang lain.

5 Apalagi jika si wanita bersuara indah, ia tidak boleh mengeraskan bacaannya. Dikhawatirkan lelaki ajnabi yang mendengarnya akan tergoda karenanya, padahal syariat ini datang menutup jalan-jalan yang bisa menyampaikan kepada keharaman, sebagaimana dinyatakan dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah no. 4909 dan no. 5413.