Al-Muqaddim dan al-Muakhkhir adalah dua nama dari asmaul husna. Dalam hadits disebutkan,
أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Engkaulah al-Muqaddim dan Engkaulah al-Muakhkhir. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Muttafaqun alaih)
Syaikh Muhammad Khalil Harras menerangkan,
“Di antara nama Allah adalah al-Muqaddim dan al-Muakhkhir. Keduanya termasuk nama yang saling berpasangan, tidak boleh salah satunya dipisahkan dari yang lain.
Allah subhanahu wa ta’ala adalah al-Muqaddim, yakni yang mendahulukan sebagian sesuatu atas sebagian yang lain, baik pendahuluan dalam hal penciptaan—seperti pendahuluan sebagian makhluk atas yang lain dalam menciptakannya—maupun dalam hal mendahulukan sebab atas akibatnya, syarat atas yang dipersyaratkan; atau pendahuluan dalam hal maknawi atau dalam hal syariat, seperti diutamakannya sebagian nabi atas seluruh manusia yang lain, diutamakannya nabi atas sebagian nabi yang lain, dan diutamakan sebagian hamba atas hamba yang lain.
Allah subhanahu wa ta’ala adalah al-Muakhkhir, yakni yang mengakhirkan sebagian dari sebagian yang lain, baik dalam sisi waktunya maupun dalam sisi syariat.
Baca juga: Mengenal Allah
Dua sifat Allah subhanahu wa ta’ala (yang terkandung dalam dua nama ini) termasuk yang disebut dengan sifat fi’liyah (sifat perbuatan) yang mengikuti kehendak Allah dan hikmah-Nya, (yakni kapan Allah menghendaki, Dia akan melakukannya sesuai dengan hikmah-Nya, pen.). Keduanya juga termasuk yang disebut dengan sifat dzatiyah. Keduanya berada pada sebuah zat (yakni tidak berdiri sendiri, -pen.).
Demikianlah semua sifat fi’liyah, dari sudut pandang ini termasuk sifat dzatiyah. Zat (Allah subhanahu wa ta’ala) bersifat dengannya dan dari sisi keterkaitan sifat itu dengan sumber munculnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang disebut sifat fi’liyah.” (Syarah Qashidah Nuniyah, 2/120)
Dengan mengimani dua nama Allah subhanahu wa ta’ala tersebut, akan bertambah kepasrahan seorang hamba kepada-Nya dalam hal kemajuannya atau kemundurannya, keutamaannya atau berkurangnya keutamaan itu. Semuanya, Allah subhanahu wa ta’ala yang menentukan.
Meski demikian, maju atau mundur, utama atau tidak, semuanya ada sebabnya. Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkannya dengan sebab tersebut. Oleh karena itu, kita mesti melakukan segala sebab keutamaan dan kemajuan serta menghindari sebab kemunduran. Kemudian, Allah lah yang memutuskan hasilnya.
Sebagai contoh, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat para sahabatnya lambat dalam maju ke shaf depan. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
تَقَدَّمُوا فَأْتَمُّوا بِي، وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ، لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرُهُمُ اللهُ
“Majulah dan ikuti aku. Yang di belakang kalian akan mengikuti kalian. Akan tetap ada orang-orang yang memilih berada di belakang hingga Allah mengakhirkan mereka.” (Sahih, HR. Muslim dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu)
Wallahul Muwaffiq.