Para pembaca rahimakumullah, pada kesempatan kali ini, marilah kita mengenali tujuh pembatal puasa yang telah dijabarkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam tulisan beliau berjudul Majalis Syahri Ramadhan. Pada pertemuan keempat, Syaikh Al-Utsaimin menjelaskan secara gamblang apa saja perkara-perkara yang dapat membatalkan puasa dan juga konsekuensi yang didapat oleh pelakunya. Berikut penjelasan beliau:
Saudaraku fillah, Allah Ta’ala berfirman,
{فالآن باشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل}
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al Baqarah:187)
Allah menyebutkan dalam ayat ini pokok-pokok pembatal puasa, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyempurnakan penjelasannya dalam hadits-hadits beliau. Dan pembatal puasa ada tujuh macam:
Pertama: Jima’, yaitu masuknya dzakar ke dalam farji. Ini adalah pembatal yang dosanya paling besar.
Apabila tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut maka dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Setiap orang miskin mendapat jatah setengah kilo sepuluh gram gandum yang baik. Boleh juga dengan beras tapi harus disesuaikan timbangannya, jika beras jenis barangnya lebih berat dari gandum maka ditambahkan takarannya sesuai dengan gandum, jika lebih ringan maka dikurangi takarannya. Dalam sebuah hadits, bahwasanya ada seorang shahabat yang telah melakukan hubungan dengan isterinya di (siang) ramadhan. Lalu dia meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka beliau berkata, “Apakah kamu mendapati budak (untuk dibebaskan)?” orang tadi menjawab, tidak ada. Beliau melanjutkan, “apakah kamu mampu berpuasa dua bulan (berturut-turut)?” orang tadi menjawab, tidak mampu. Kemudian beliau berkata, “kalau begitu berilah makan enam puluh orang miskin.” (HR. Muslim)
Kedua: Keluar mani dengan kehendaknya, baik disebabkan ciuman, sentuhan, masturbasi, atau yang lainnya. Karena semua itu adalah syahwat yang mana puasa tidak akan teranggap kecuali dengan menjauhinya. Hal ini Sebagaimana dalam hadits qudsi, “Dia meninggalkan makannya, minumnya, dan syahwatnya hanya karena Aku.” (HR. Al-Bukhari) adapun ciuman dan sentuhan yang tidak sampai mengeluarkan mani maka tidak membatalkan puasa, berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium (isterinya) ketika berpuasa dan mencumbu ketika berpuasa. Namun beliau adalah orang yang paling bisa menahan syahwatnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dan dari Umar bin Abi Salamah bahwasanya beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Apakah seorang yang berpuasa boleh mencium (isterinya)? Beliau menjawab, “Tanya kepada orang ini” maksud beliau adalah Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah mengkhabarkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melakukan hal itu. Lantas pria tadi berkata, Wahai Rasulullah! Sungguh Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Maka beliau menjawab, “Adapun Demi Allah. Aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian semua.” (HR. Muslim)
Ketiga: Makan dan minum, yaitu sampainya makanan dan minuman ke tenggorokan melalui mulut dan hidung, dalam bentuk apapun makanan dan minuman itu. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
{وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل}
“Dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al-Baqarah: 187)
Dan sa’uth (obat yang dimasukkan ke hidung) masuk dalam kategori makan dan minum, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits Laqith bin Sabirah, “Dan bersungguhlah engkau dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) kecuali bila dalam keadaan puasa.” (Diriwayatkan oleh yang lima dan dishahihkan At-Tirmidzi)
Keempat: Sesuatu yang bermakna makan dan minum, yaitu ada dua:
Adapun suntik biasa tidak membatalkan puasa, baik disuntik melalui otot atau uratnya. Walaupun didapati ada rasa panas ditenggorokannya tetap tidak membatalkan puasa. Karena hal itu tidak disebut makan dan minum atau semakna dengan keduanya, sehingga hukumnya berbeda. Dan tidak menjadi masalah dengan didapatinya rasa di tenggorokan dari selain makan dan minum. Oleh karena itu para fuqoha’ kita berkata, “Seandainya dia melumuri telapak kakinya dengan buah hanzhol (sejenis labu yang pahit rasanya) dan dia mendapati rasanya di tenggorokan, tidak membatalkan puasa.”
Kelima: Keluar darah dengan bekam. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Telah batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam.” (HR. Ahmad) ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad dan kebanyakan fuqoha’ belakangan. Dan semakna dengan bekam ini adalah donor darah dan sejenisnya yang memiliki pengaruh terhadap tubuh seperti halnya bekam. Oleh karenanya, tidak boleh bagi seorang yang berpuasa dengan puasa wajib mengeluarkan darahnya untuk didonor dengan jumlah yang banyak yang berpengaruh terhadap tubuhnya, kecuali dalam keadaan darurat yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan mengambil darahnya dan tidak memudharatkan orang yang berpuasa, maka diperbolehkan karena darurat, dan puasanya batal dan diganti di hari yang lain.
Keenam: Muntah dengan sengaja, yaitu mengeluarkan apa yang ada di lambung berupa makanan atau minuman dari mulut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
«من ذرعه القيء فليس عليه قضاء ومن استقاء عمدا فليقض»
“Barangsiapa terkalahkan oleh muntah (muntah tanpa sengaja) maka tidak ada qadha’ atasnya. Dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja hendaknya dia mengqadha’.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima)
Muntah yang disengaja membatalkan puasa, biasanya dilakukan dengan mengurut perutnya, merogoh tenggorokannya, mencium aroma tertentu atau melihat sesuatu yang dapat membuatnya muntah, maka semua itu membatalkan puasa. Sedangkan muntah yang terjadi tanpa sebab maka tidak membatalkan puasa. Seandainya dia merasakan ada yang tidak beres dengan lambungnya sehingga akan muntah, maka jangan ditahan. Karena seandainya dia muntah tidak akan membatalkan puasanya, dengan catatan harus dibiarkan, jangan dimuntahkan dan jangan ditahan.
Ketujuh: Keluar darah haid dan darah nifas. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Bukankah wanita apabila sedang haid tidak shalat dan tidak puasa?” kapan saja seorang wanita melihat darah haid atau darah nifas, maka puasanya batal, baik hal itu terjadi di siang hari atau di sore hari, bahkan walaupun beberapa saat sebelum maghrib.
Haram bagi seorang yang berpuasa wajib seperti ramadhan, kaffaroh, dan nadzar melakukan pembatal-pembatal yang telah disebutkan di atas kecuali bila ada udzur yang syar’i seperti sedang safar, sedang sakit, atau udzur lainnya. Karena seorang yang sedang melakukan sesuatu yang wajib harus disempurnakan hingga selesai kecuali bila ada udzur yang dibenarkan.
Apabila pembatal-pembatal tersebut dilakukan di siang hari ramadhan tanpa udzur yang dibenarkan, maka wajib baginya untuk menahan diri dari melakukan pembatal puasa di hari tersebut. Jika berbukanya karena udzur yang dibenarkan, maka tidak diharuskan menahan diri. Adapun bila puasanya adalah puasa sunnah, dibolehkan baginya berbuka walaupun tanpa udzur, namun yang lebih utama adalah menyempurnakannya.
Diterjemahkan secara bebas dan ringkas.