Berikut kami ringkaskan hukum seputar nazar yang dijelaskan oleh Syaikh Ubaid Al-Jabiri Hafizhahullahu Ta’ala dalam Syarah Tsalatsatul Ushul:
Pembahasan tentang Nazar meliputi 3 hal:
Defenisinya adalah:
Secara bahasa: al-ilzam (mengharuskan/mewajibkan)
Secara istilah: Seorang mukallaf mengilzamkan dirinya melakukan ibadah yang pada dasarnya tidak wajib baginya.
HUKUM NAZAR:
Hukum nazar terbagi dua:
Nazar Syar’i terbagi menjadi dua:
Nazar Munnajaz atau mutlak adalah nazar yang tidak terikat dengan sesuatu apapun, contohnya: “Wajib bagiku untuk umrah pada tahun ini.” Atau “Wajib bagiku mensedekahkan seribu dinar”.
Nazar Mu’allaq adalah nazar yang dikaitkan dengan syarat tertentu. Contohnya seseorang mengatakan, “Jika Allah menyembuhkan penyakitku maka aku akan berpuasa ini dan itu” atau “Jika Allah mengembalikan barangku yang hilang maka aku akan bersedekah demikian.” Atau “Jika aku berhasil dalam ujian ini maka aku akan mengadakan pesta.”
FAEDAH:
Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwasanya hukum bernazar adalah haram. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Nazar tidak datang dengan kebaikan. Dan ia (nazar) tidaklah dikeluarkan melainkan dari orang yang bakhil.”
Mereka (yakni ahlul ilmi) menyatakan, ini adalah celaan (dzam). Dan celaan dalam perbuatan merupakan bentuk larangan far’iyah. Sedangkan hukum asal pelarangan (نهي) adalah haram.”
Tapi yang benar, bahwasanya nazar tidak haram, akan tetapi lebih utama ditinggalkan. Barangsiapa yang terlanjur bernazar maka harus dilaksanakan dengan ketentuan syarat-syarat yang akan disebutkan.
SYARAT-SYARAT NAZAR
Syarat-syarat Nazar secara global:
Permasalahan Penting:
Bila seseorang tidak melaksanakan nazar keta’atan, maka dia harus membayar kaffaroh. Dan kaffarohnya seperti kaffarotul yamin (kaffaroh sumpah). Yaitu:
Adapun nazar maksiat, maka pendapat yang shahih menurut kami (yakni Syaikh Ubaid) bila seseorang tidak melaksanakan Nazar maksiat tidak membayar kaffaroh.
TAMBAHAN FAEDAH:
Firman Allah Ta’ala:
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
“Mereka menunaikan Nazar dan (mereka) takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insaan:7)
Ayat ini menunjukkan bahwasanya nazar tidak haram. Bentuk pendalilannya adalah, konteks ayat ini sebagai pujian bagi orang-orang yang baik. Ayat sebelumnya adalah:
إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (5) عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (6)
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (5) (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.”
Ayat ini dalam konteks pujian atau celaan? Dalam konteks pujian. Berarti ayat ini sebagai dalil bahwasanya nazar tidak haram, dan menunaikan nazar keta’atan merupakan sifatnya orang-orang yang berbuat kebaikan (al-abror).
Semoga Allah menjadikan kami dan kalian termasuk orang-orang yang melakukan kebaikan.
Disarikan dari Durus Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Ubaid AL-Jabiri Hafizhahullahu Ta’ala.
Admin Warisan Salaf