بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن ولاه
Para pembaca rahimakumullah…. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang seseorang duduk di masjid sebelum melakukan shalat dua raka’at. Di dalam hadits Abu Qotadah Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu dinyatakan,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّىَ رَكْعَتَيْنِ
“Apabila seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk hingga (mengerjakan) shalat dua raka’at.” [1]
Bahkan dengan tegas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan seorang shahabatnya untuk berdiri lagi ketika ia duduk di masjid dalam keadaan belum shalat tahiyyatul masjid. Padahal ketika itu shahabat tersebut telah duduk dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedang berkhutbah jum’at.
Shalat tahiyyatul masjid adalah ungkapan untuk shalat dua raka’at yang dikerjakan ketika masuk masjid sebelum duduk. Sedangkan arti dari tahiyyatul masjid itu sendiri ialah penghormatan kepada masjid. Namun yang dimaksud adalah penghormatan kepada pemilik masjid yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana hal ini diterangkan oleh Al-Imam Muhammad bin Ahmad Ad-Dasuqi Rahimahullahu[2].
Tidak ada satupun riwayat yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang penamaan shalat tahiyyatul masjid. Hanyasaja para ulama’ sejak dahulu telah bersepakat menyebutnya sebagai Tahiyyatul Masjid. Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali berkata: “Shalat yang dilakukan ketika masuk masjid dinamakan dengan tahiyyatul masjid.” [3]
Selain tahiyyatul masjid, shalat ini juga dikenal dikalangan ulama’ sebagai haqqul masjid (haknya masjid). Ibnu Rajab melanjutkan, “Dan dinamakan juga dengan haqqul masjid.”[4]
Terjadi silang pendapat di antara para ulama terkait permasalahan shalat tahiyyatul masjid. Argumentasi yang kokoh pada masing-masing pendapat semakin mewarnai kitab-kitab fiqih dari berbagai madzhab. Di dalam bab yang singkat ini kami akan menyebutkan dua pendapat Ulama dan kami juga akan menyebutkan beberapa ulama’ yang menguatkan masing-masing pendapat tersebut.
Pendapat Pertama, yaitu pendapat wajibnya shalat tahiyyatul masjid. Di antara ulama’ yang menguatkan pendapat ini adalah: Daud Azh-Zhahiri dan sebagian pengikut madzhabnya, begitu pula Ibnu Daqiq al-‘Ied, Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, Al Mubarakfuri, dan Shiddiq Hasan Khan.
Pendapat ini dipilih oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, beliau berkata: “Hendaknya (mengerjakan) shalat dua raka’at sebelum duduk dan hukumnya adalah wajib.” [5]
Pendapat Kedua, yaitu pendapat bahwasanya shalat tahiyyatul masjid adalah sunnah (tidak wajib). Pendapat ini dikuatkan oleh mayoritas ulama, di antara mereka adalah, Abdullah bin Umar, Salim bin Abdullah bin Umar, Asy-Sya’bi, Suwaid bin Ghaflah, Muhammad bin Sirin, ‘Atho bin Abi Rabah, An-Nakha’i, Qotadah bin Di’amah, dan selain mereka.[6]
Demikian pula Ath-Thohawi[7], Ibnu Hazm, An-Nawawi[8], Al-Munawi[9], Musa Al-Hijawi[10], Ibnu Qudamah[11], Ibnu Muflih, [12] , Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab[13] dan selain mereka.
Al-Baghawi berkata: “Sejumlah ulama’ salaf tidak menganggap sebagai kesalahan ketika seorang duduk (di masjid) sebelum melakukan shalat dua raka’at tahiyyatul masjid.”
Imam An-Nawawi juga berkata,
اِسْتِحْبَاب تَحِيَّة الْمَسْجِد بِرَكْعَتَيْنِ ، وَهِيَ سُنَّة بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، وَحَكَى الْقَاضِي عِيَاض عَنْ دَاوُدَ وَأَصْحَابه وُجُوبهمَا
“Disukainya tahiyyatul masjid sebanyak dua raka’at, dan ia merupakan sunnah dengan kesepakatan ulama muslimin. Al-Qadhi ‘Iyadh menghikayatkan dari Daud dan pengikutnya wajibnya dua raka’at tersebut.” [14]
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (2/172) berkata, “Para ulama’ ahli fatwa telah bersepakat bahwasanya perintah (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) dalam perkara tersebut menunjukkan sunnah. Dan Ibnu Baththal menukilkan dari madzhab Zhahiriyah (bahwa shalat tahiyyatul masjid) adalah wajib. Sedangkan yang ditegaskan oleh Ibnu Hazm tidaklah seperti itu.” Ibnu Hajar memaksudkan bahwasanya Ibnu Hazm tidak berpendapat wajibnya tahiyyatul masjid.
Penulis kitab At-Taaju wal Iklil li Mukhtashar Al-Khalil (2/374) ketika menyebutkan bahwasanya al-Imam Malik Rahimahullah berpendapat tahiyyatul masjid adalah sunnah, beliau berkata, “Abu Umar berkata, “Di atas pendapat inilah sejumlah fuqaha’. Dahulu al-Qasim masuk ke masjid lalu duduk tanpa melakukan shalat. Perbuatan serupa juga pernah dilakukan oleh Ibnu ‘Umar dan anaknya, yaitu Salim.” [15]
Pendapat ini dipilih oleh dua Imam besar abad ini, yaitu Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz[16] dan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin[17] Rahimahumallah .
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin berkata setelah menyebutkan beberapa dalil bagi kelompok yang berpendapat wajibnya tahiyyatul masjid, “Akan tetapi setelah memperhatikan beberapa realita, menjadi jelas bagi kami bahwasanya tahiyyatul masjid adalah sunnah mu’akkadah dan tidak wajib.” (Syarhul Mumti’ 5/105)
Catatan
Para pembaca rahimakumullah, di sini penulis tidak sedang mengkaji mana dari dua pendapat di atas yang lebih kuat, karena untuk mencapai kesimpulan tersebut membutuhkan kemampuan ilmu dan waktu yang lebih banyak.
Pendapat pertama walaupun dari segi jumlah tentu tidak sebanding dengan pendapat kedua, akan tetapi mereka memiliki dalil yang kuat dan argumentasi yang perlu dipertimbangan, sebagaimana dituturkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah. Sedangkan pendapat kedua yang didominasi oleh para fuqoha ternama juga memiliki alasan yang kuat.
Akan tetapi kami di sini ingin mengajak anda untuk mencermati sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits yang telah kami sebutkan di awal bab ini,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّىَ رَكْعَتَيْنِ
“Apabila seorang di antara kalian masuk masjid, janganlah ia duduk hingga (mengerjakan) shalat dua raka’at.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk tidak duduk di masjid sebelum mengerjakan shalat dua raka’at. Maka menyelisihi perintah beliau hanyak disebabkan mengambil pendapat yang tidak wajib merupakan perkara yang tidak terpuji. Dan perlu diketahui pula, bahwa para ulama’ ketika membagi hukum suatu permasalahan menjadi wajib dan sunnah bukan untuk mengamalkannya ketika hukumnya wajib dan meninggalkannya ketika hukumnya sunnah. Akan tetapi pembagian hukum-hukum syari’at dimaksudkan agar dapat menjadi pedoman dan tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang yang terluput mengerjakannya. [18] Wallahu a’lam.
Sehingga bagi yang berpendapat wajib tentu kelaziman baginya untuk mengerjakannya. Dan bagi yang berpendapat sunnah, berusalah mengerjakannya. Karena seperti yang dinyatakan oleh al-Imam ‘Iyadh rahimahullah, bahwasanya mengerjakan tahiyyatul masjid merupakan fadhilah (keutamaan).
Shalat tahiyyatul masjid berlaku bagi seseorang yang bolak-balik masuk masjid walaupun dalam waktu yang berdekatan. Al-Imam Asy-Syarbini berkata:
وهي ركعتان قبل الجلوس لكل داخل وتحصل لفرض أو نفل آخر، وتتكرر بتكرر الدخول ولو على قرب.
“Ia adalah shalat dua raka’at sebelum duduk bagi semua orang yang masuk (ke masjid). Ia telah terlaksana dengan melakukan shalat fardhu atau shalat sunnah lainnya. Dan dilakukan secara berulang dengan berulangnya (seseorang) masuk ke masjid walaupun dalam waktu yang berdekatan.” [19]
Imam an-Nawawi juga berkata:
لَوْ تَكَرَّرَ دُخُولُهُ فِي الْمَسْجِدِ فِي السَّاعَةِ الْوَاحِدَةِ مِرَارًا قَالَ صَاحِبُ التَّتِمَّةِ تُسْتَحَبُّ التَّحِيَّةُ لِكُلِّ مَرَّةٍ وَقَالَ الْمَحَامِلِيُّ فِي اللُّبَابِ أَرْجُو أَنْ تُجْزِيَهُ التَّحِيَّةُ مَرَّةً وَاحِدَةً وَالْأَوَّلُ أَقْوَى وَأَقْرَبُ إلَى ظَاهِرِ الْحَدِيثِ
“Seandainya masuknya seseorang terjadi berulang kali dalam satu waktu. Maka penulis kitab At-Tatimmah berkata, disunnahkan shalat tahiyyatul masjid pada setiap kalinya. Sedangkan Al-Mahamili dalam Al-Lubab berkata, aku berharap hanya cukup tahiyyatul masjid sekali saja. Dan (pendapat) yang pertama lebih kuat dan lebih dekat kepada makna zhahir hadits.” [20]
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullahu Ta’ala berkata,
ولو دخل في المسجد مرات صلى كلما دخل لو دخل الضحى مرتين أو ثلاثا، أو الظهر أو العصر، أو الليل، كلما دخل وهو على طهارة يصلي ركعتين
“Seandainya seseorang masuk ke masjid dengan berulang kali, maka dia tetap shalat setiap kali masuk. Jika dia masuk pada waktu dhuha dua atau tiga kali, atau pada waktu zhuhur, ashar, atau malam hari. Maka setiap kali masuk dan dia dalam keadaan bersuci maka hendaknya ia shalat dua raka’at.” [21]
Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad Hafizhahullahu Ta’ala ditanya, Apabila seorang muslim berungkali masuk dan keluar masjid. Apakah disyari’atkan baginya shalat tahiyyatul masjid pada setiap kalinya? Beliau menjawab, “Benar. Apabila dia keluar kemudian masuk lagi maka baginya shalat tahiyyatul masjid.” [22]
Beliau juga ditanya, Apabila seseorang keluar dari Masjid Nabawi untuk berwudhu’ kemudian kembali. Apakah dia harus shalat tahiyyatul masjid?
Beliau menjawab, “Benar. Karena dia ketika masuk ke kamar mandi sudah keluar dari masjid. Dan jika dia sudah keluar lalu masuk lagi maka harus shalat (tahiyyatul masjid). Kemudian juga di antara sunnah setelah wudhu’ adalah shalat dua raka’at selain tahiyyatul masjid. Al-hasil orang tersebut shalat dua raka’at, karena kamar mandi bukan masjid. Akan tetapi teras termasuk masjid. Jika seseorang masuk ke kamar mandi dan keluar darinya maka dia telah keluar dari selain masjid menuju masjid.” [23]
Bagaimana jika seseorang masuk masjid pada hari jum’at dalam keadaan Khatib sudah duduk di mimbar atau sedang berkhutbah, apakah disyari’atkan shalat tahiyyatul masjid?
Dalam permasalahan ini ada dua pendapat:
Pendapat Pertama: disyari’atkan shalat tahiyyatul masjid ketika khatib telah duduk di mimbar atau sedang berkhutbah. Pendapat ini dipilih oleh Hasan al-Bashri, Makhul, Al-Maqburi, Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Abu Tsaur, Al-Humaidi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Ibnul Mundzir, Daud Azh-Zhahiri, dan asy-syafi’iyyah. Dalil mereka adalah hadits Sulaik Al-Ghathafani di atas[24].
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Adapun jika seseorang masuk (ke masjid) sedangkan Imam telah duduk di mimbar atau sedang berkhutbah, maka disunnahkan baginya shalat dua raka’at tahiyyatul masjid secara ringkas, dan meninggalkannya adalah makruh berdasarkan hadits yang shahih, ‘Apabila seorang kalian masuk ke masjid maka janganlah dia duduk hingga melakukan shalat dua raka’at.” [25]
Ibnu Qudamah berkata: “Dan seluruh shalat sunnah (tathowwu’) telah terputus dengan duduknya Imam di atas mimbar. Sehingga tidak boleh melakukan shalat apapun kecuali seseorang yang baru masuk, maka hendaknya ia melakukan shalat tahiyyatul masjid dengan memendekkannya.” [26]
Demikian pula Ibnul Jauzi berkata:
اسْتِحْبَاب تَحِيَّة الْمَسْجِد وَإِن كَانَ الْخَطِيب فِي الْخطْبَة، وَهَذَا قَول أَحْمد وَالشَّافِعِيّ وَدَاوُد.
“Disukai melakukan shalat tahiyyatul masjid walaupun khatib sedang berkhutbah. Ini merupakan pendapat Ahmad (bin Hanbal), asy-Syafi’i, dan Daud (Azh-Zhahiri).” [27]
Pendapat Kedua: tidak boleh mengerjakan shalat apapun termasuk tahiyyatul masjid. Pendapat ini dinukil dari Atho’ bin Abi Rabah, Syuraih, Ibnu Sirin, an-Nakha’i, Qotadah, Malik bin Anas, Laits bin Sa’ad, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Sa’id bin Abdul ‘Aziz. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma,
إذا صعد الخطيب المنبر، فلا صلاة ولا كلام
“Apabila Imam telah naik ke atas mimbar maka tidak ada shalat dan tidak ada pembicaraan.”
Akan tetapi, hadits ini adalah lemah sebagaimana diterangkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah. Di dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (no.87) beliau berkata: “(ini adalah hadits) bathil. Lafazh hadits ini sangat terkenal di tengah-tengah manusia dan digantungkan di mimbar-mimbar, padahal tidak ada asalnya.”
Kemudian, setelah menyebutkan takhrij hadits ini beliau berkata, “Hanyasaja aku menghukuminya sebagai hadits batil dikarenakan selain sanadnya dha’if juga menyelisihi dua hadits shahih lainnya:
Pertama, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Apabila seorang di antara kalian mendatangi masjid pada hari jum’at sedangkan Imam sudah keluar maka shalatlah dua raka’at.’ Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shahih keduanya dari hadits Jabir. Dalam riwayat lain dari Jabir, dia berkata, ‘Sulaik Al-Ghatafani datang (ke masjid) sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedang berkhutbah. Maka beliau berkata kepadanya, ‘wahai Sulaik! Bangun dan shalatlah dua raka’at, dan pendekkan keduanya.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Apabila seorang di antara kalian datang pada hari jum’at sedangkan Imam sedang berkhutbah, maka shalatlah dua raka’at dan pendekkanlah keduanya.’ Dikeluarkan oleh Muslim (3/14-15) dan selainnya. Hadits ini juga dikeluarkan dalam Shahih Abu Daud (no.1023)
Kedua: sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Apabila engkau berkata kepada temanmu, ‘diamlah’ pada hari jum’at sedangkan Imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia.’ Muttafaqun ‘alaihi. Dan hadits ini dikeluarkan di dalam Al-Irwa’ (no.619).”
Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Dan hadits yang kedua ini dipahami dari ucapan beliau ‘sedangkan Imam sedang berkhutbah’ bahwasanya pembicaraan ketika Imam belum berkhutbah tidaklah dilarang. Dan yang lebih menguatkan hal ini adalah kebiasaan yang berlangsung pada masa Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu sebagaimana dikisahkan oleh Tsa’labah bin Abi Malik, ‘sesungguhnya mereka dahulu saling berbincang ketika Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu telah duduk di mimbar hingga muadzin selesai. Apabila Umar telah berdiri di mimbar (untuk berkhutbah) maka tidak ada seorangpun yang berbicara hingga Umar menyelesaikan dua khutbahnya.’ Dikeluarkan oleh Malik dalam Muwatho’nya (1/126), Ath-Thohawi (1/217) lafazh riwayat tersebut miliknya, dan Ibnu Abi Hatim dalam Al-Ilal (1/201), sanad dua riwayat pertama adalah shahih.
Maka dengan ini bisa ditetapkan bahwasanya khutbah Imam itulah yang memutus semua pembicaraan, bukan sekadar naiknya Imam ke atas mimbar. Dan bahwasanya keluarnya Imam tidak menghalangi seseorang untuk melakukan shalat tahiyyatul masjid. Maka menjadi jelaslah batilnya hadits yang sedang dibahas di atas. Dan Allah sajalah yang menunjuki kepada jalan kebenaran.” Selesai penjelasan Syaikh Al-Albani.
Dari pemaparan dua pendapat di atas dapat dipastikan bahwa yang kuat adalah pendapat pertama. Hal ini disebabkan empat alasan:
Pertama: Larangan duduk di masjid sebelum shalat. Sebagaimana dalam hadits Abu Qatadah Al-Anshari yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim.
Kedua: Perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Sulaik AL-Ghathafani untuk shalat dua raka’at. Padahal ketika itu Sulaik sudah duduk dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedang berkhutbah.
Ketiga: Hadits yang dijadikan dasar oleh pendapat kedua adalah lemah sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah. Jika tetap dipaksakan bahwa hadits tersebut shahih, maka maknanya adalah seperti yang diterangkan Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala, “Andai saja hadits tersebut shahih, maka maknanya adalah, tidak boleh melakukan shalat yaitu shalat yang lebih dari dua raka’at, adapun shalat dua raka’at maka boleh dilakukan”[28]
Keempat: pendapat pertama sesuai dengan yang dipahami oleh salaf. Diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri bahwa beliau datang ke masjid dan melakukan shalat dua raka’at ketika Imam sedang berkhutbah (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah)
Lalu bagaimana hukum tahiyyatul masjid ketika khutbah hampir selesai? Permasalahan ini telah dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah, beliau berkata, “Jika seseorang masuk (masjid) dan imam hampir selesai berkhutbah, sedangkan ia yakin seandainya dia shalat tahiyyatul masjid akan terluput dari takbiratul ihram bersama imam, maka dia jangan shalat. Hendaknya dia berdiri saja sampai iqomat dikumandangkan. Tetapi jangan sampai dia duduk, agar ia tidak duduk di masjid sebelum melaksanakan shalat tahiyyatul masjid. Adapun jika masih memungkinkan untuk shalat dan bisa mendapati takbiratul ihram (bersama imam), maka hendaknya dia shalat tahiyyatul masjid.” [29]
Dalam permasalahan ini para ulama’ terbagi menjadi dua pendapat:
Pendapat Pertama: tahiyyatul masjid ditunaikan di tanah lapang shalat Id. Dikarenakan ia masuk dalam kategori masjid. Ulama’ yang menguatkan pendapat ini berdalil dengan hadits Ummu ‘Athiyyah Radhiallahu ‘anha,
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ، قَالَتْ: «أَمَرَنَا -تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ، الْعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ»
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami (para wanita) pada dua hari raya agar membawa para wanita perawan dan gadis yang dipingit di rumah. Dan beliau memerintahkan para wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat shalat kaum muslimin.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama’ dari madzhab al-Hanabilah, seperti Ibnu Muflih dalam Al-Furu’ (1/263), Ali bin Sulaiman al-Mardawi dalam Al-Inshaf (1/246), dan asy-Syaikh Al-Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (4/204, 5/153-154) dan Majmu’ Al-Fatawa wa Ar-Rasail (16/252), dan juga asy-Syaikh Al-Bassam dalam Taisirul ‘Allam (1/255)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya tentang permasalahan ini, beliau menjawab, “Pendapat yang kuat ialah bahwasanya siapa saja yang masuk ke lapangan shalat ‘Id maka tidak boleh duduk sampai dia mengerjakan shalat dua rakaat, hal ini berdasarkan keumuman sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘apabila salah seorang kalian memasuki masjid maka janganlah ia duduk hingga mengerjakan shalat dua raka’at.’ Sedangkan musholla ‘id adalah masjid, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan para wanita yang sedang haid untuk menjauhinya. Seandainya tempat tersebut bukan masjid, niscaya beliau tidak akan memerintahkan menjauhi tempat tersebut.” [30]
Pendapat Kedua: Lapangan shalat ‘Id bukan termasuk masjid, sehingga tidak disyari’atkan shalat tahiyyatul masjid padanya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dan dipilih oleh sebagian Ulama’ dari madzhab Hanbali. Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata,
وقد صرح أصحابنا: بأن مصلى العيد ليسَ حكمه حكم المسجد، ولا في يوم العيد، حتى قالوا: لو وصل إلى المصلى يوم العيد والإمام يخطب فيهِ بعد الصلاة ؛ فإنه يجلس مِن غير صلاة ؛ لأنه لا تحية لَهُ
“Dan para shahabat kami (dari ulama’ madzhab hanbali) telah menegaskan bahwasanya tanah lapang shalat ‘Id hukumnya berbeda dengan hukum masjid, bahkan bukan masjid pada hari ‘Ied. Hingga mereka mengatakan, seandainya seseorang sampai ke musholla hari raya dalam keadaan Imam sedang berkhutbah setelah shalat maka orang tersebut boleh duduk tanpa melakukan shalat. Karena tidak ada tahiyyatul masjid padanya.”
Pendapat ini juga dipilih oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dan Asy-Syaikh Al-Albani -semoga Allah merahmati keduanya-[31].
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata,
مصلى العيد ليس له تحية، ليس له حكم المساجد، ليس له تحية المسجد، بل يجلس الإنسان، ولأنه وقت نهي، فهذا مصلى وليس مسجدا، أما إذا كانت الصلاة في المسجد المعتاد، إذا صلوا العيد في المساجد شرعت تحية المسجد ولو في وقت النهي على الصحيح؛ لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم: «إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين» ولما رأى رجلا جلس في بعض الأيام قال: «قم فصل ركعتين» عليه الصلاة والسلام، أما مصلى العيد الذي في الصحراء فهذا ليس له حكم المسجد، فإذا أتى الإنسان والشمس لم ترتفع جلس، والنبي عليه الصلاة والسلام ما كان يصلي قبلها ولا بعدها صلى الله عليه وسلم.
“Musholla ‘Id tidak ada baginya shalat tahiyyatul masjid, dan tidak berlaku baginya hukum masjid, tidak ada padanya tahiyyatul masjid. Bahkan seseorang hendaknya duduk karena ketika itu adalah waktu larangan (mengerjakan shalat). Maka tanah lapang adalah musholla bukan masjid. Adapun apabila mereka melakukan shalat ’id di masjid maka disyari’atkan tahiyyatul masjid walaupun pada waktu terlarang atas pendapat yang shahih. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘apabila seorang di antara kalian masuk masjid maka janganlah duduk hingga dia shalat dua raka’at.’
Dan ketika beliau ‘alaihis sholatu was salam pada suatu hari melihat seseorang duduk (sebelum shalat), beliau berkata, ‘bangun dan shalatlah dua raka’at.’
Adapun musholla ‘id yang berada di tanah lapang maka tidak dihukumi sebagai masjid. Apabila seseorang datang (ke musholla ‘id) dan matahari belum naik tinggi hendaknya dia duduk. Dan nabi Shallallahu ‘alaihi ash-sholatu was salam tidak pernah shalat sebelum dan sesudahnya.” (Fatawa Nuur ‘ala Ad-Darb li Ibni Baaz)
Dari pemaparan dua pendapat di atas beserta argumen dari masing-masing pendapat, maka penulis secara pribadi lebih memilih pendapat kedua yaitu tanah lapang yang disediakan untuk shalat ‘Id tidak termasuk masjid.
Hal ini merujuk kepada makna masjid yang dimaksud di dalam Islam. Dimana makna masjid menurut istilah syari’at adalah tempat yang disediakan khusus untuk melakukan shalat lima waktu tanpa batas waktu tertentu, sama saja didirikan bangunan di atasnya atau tidak. Ditambahkan oleh sebagian ulama’, harus didirikan di atas tanah wakaf.[32]
Adapun defenisi musholla (tanah lapang) telah disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (37/195) sebagai berikut, “mushollah adalah sebuah lokasi yang dipersiapkan untuk shalat di tanah lapang dan tempat terbuka, dimana ditegakkan di tempat tersebut shalat ‘Id dan shalat istisqa’ (memohon hujan). Termasuk juga dalam kategori ini, apa yang dikenal manusia berupa ruangan khusus (yang disediakan) untuk shalat di sebuah yayasan, rumah sakit, perusahaan, atau yang lainnya.”
Dari defenisi ini menjadi lebih jelas bahwasanya musholla ‘id bukanlah masjid yang dimaksud di dalam Islam. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata,
أما إذا صليت في المصلى المعد لصلاة العيدين فإن المشروع عدم الصلاة قبل صلاة العيد؛ لأنه ليس له حكم المساجد من كل الوجوه.
“Adapun jika engkau shalat di tanah lapang yang disediakan untuk shalat dua hari raya. Maka yang disyari’atkan adalah tidak melakukan shalat sebelum shalat ‘id. Karena musholla tidak berlaku baginya hukum masjid dari semua sisinya.” [33]
Beliau juga berkata,
السنة لمن أتى مصلى العيد لصلاة العيد، أو الاستسقاء أن يجلس ولا يصلي تحية المسجد؛ لأن ذلك لم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أصحابه رضي الله عنهم فيما نعلم إلا إذا كانت الصلاة في المسجد فإنه يصلي تحية المسجد؛ لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم: «إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين (2) » متفق على صحته.
“Yang sunnah bagi orang yang datang ke Musholla ‘Id guna melaksanakan shalat ‘Id atau shalat Istisqa’ agar duduk dan tidak mengerjakan shalat tahiyyatul masjid, dikarenakan hal itu tidak pernah dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya Radhiallahu ‘anhum, menurut yang kami ketahui. Kecuali jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid maka dia shalat tahiyyatul masjid, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Apabila seorang di antara kalian masuk masjid maka janganlah ia duduk hingga mengerjakan shalat dua raka’at.” (Hadits ini) telah disepakati keshahihannya. [34]
Adapun alasan pendapat pertama bahwasanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada para wanita yang sedang haid agar menjauhi tempat shalat adalah sebagai bukti musholla ‘id merupakan masjid, bisa dijawab dari beberapa sisi:
Pertama: larangan tersebut hanya sebatas menjauhi tempat shalat bukan menjauhi musholla ‘id.
Kedua: larangan tersebut dimaksudkan agar tempat pelaksanaan shalat ‘Id menjadi lebih luas sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam An-nawawi
Ketiga: Larangan tersebut sebagai ungkapan atas sucinya tempat ibadah pada waktunya atau tidak disukainya orang yang tidak shalat duduk di satu tempat bersama orang yang shalat. Al-Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied dalam Ihkamul ahkam berkata,
وَاعْتِزَالُ الْحُيَّضِ لَيْسَ بِتَحْرِيمِ حُضُورِهِنَّ فِيهِ، إذَا لَمْ يَكُنْ مَسْجِدًا. بَلْ إمَّا مُبَالَغَةً فِي التَّنْزِيهِ لِمَحِلِّ الْعِبَادَةِ فِي وَقْتِهَا، عَلَى سَبِيلِ الِاسْتِحْسَانِ، أَوْ لِكَرَاهَةِ جُلُوسِ مَنْ لَا يُصَلِّي مَعَ الْمُصَلِّينَ فِي مَحِلٍّ وَاحِدٍ فِي حَالِ إقَامَةِ الصَّلَاةِ
“dan menjauhnya para wanita yang sedang haid bukan untuk mengharamkan hadirnya mereka di tempat tersebut, jika (tempat shalat tersebut) bukan di masjid. Bahkan bisa jadi itu sebagai penekanan atas sucinya tempat ibadah pada waktunya, atau sebagai bentuk makruhnya orang yang tidak shalat duduk bersama orang yang shalat ketika shalat tersebut sedang dilaksanakan.” (Ihkamul Ahkam 1/347)
* * *
Waktu larangan yang dimaksud ialah[35]:
Pada asalnya melakukan shalat pada waktu-waktu tersebut adalah dilarang. Hanya saja para ulama mengecualikan shalat sunnah yang muthlaqoh atau dzawatul asbab yaitu shalat sunnah yang pelaksanaannya dikarenakan sebab tertentu. Seperti shalat jenazah yang pelaksanaannya karena ada orang meninggal, shalat tahiyyatul masjid yang pelaksanaannya karena masuk masjid, shalat gerhana yang pelaksanaannya karena terjadi gerhana, shalat istisqa’ yang pelaksanaannya karena memohon hujan, shalat istikharah yang pelaksanaannya karena ada kebutuhan, dan yang lainnya. Shalat-shalat tersebut boleh dilakukan walaupun pada waktu larangan. Al-Imam An-Nawawi mengatakan,
اسْتِحْبَابُ التَّحِيَّةِ فِي أَيِّ وَقْتٍ دَخَلَ وَهُوَ مَذْهَبُنَا وَبِهِ قَالَ جَمَاعَةٌ
“Disukainya shalat tahiyyatul masjid pada waktu kapan saja seseorang masuk (masjid). Ini merupakan pendapat madzhab kami, dan juga pendapat jama’ah (sejumlah fuqaha’).” (Al-Minhaj 5/226)
Beliau juga berkata:
وَاخْتَلَفُوا فِي النَّوَافِلِ الَّتِي لَهَا سَبَبٌ كَصَلاةِ تَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ وَسُجُودِ التِّلاوَةِ وَالشُّكْرِ وَصَلاةِ الْعِيدِ وَالْكُسُوفِ وَفِي صَلاةِ الْجِنَازَةِ وَقَضَاءِ الْفَوَائِتِ وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَطَائِفَةٍ جَوَازُ ذَلِكَ كُلِّهِ بِلاَ كَرَاهَةٍ .
“… dan mereka (para ulama) berbeda pandangan perihal amalan sunnah yang (pelaksanaannya) dikarenakan sebab tertentu seperti, shalat tahiyyatul masjid, sujud tilawah, sujud syukur, shalat ‘id, shalat gerhana, shalat jenazah, dan mengqadha’ shalat yang terluput. Madzhab syafi’i begitu pula sekelompok (fuqaha’) berpendapat bolehnya melakukan semua ibadah tersebut tanpa dibenci.”
Pendapat ini juga dipilih oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, dan para ulama lainnya.
Asy-Syaikh Al-Utsaimin berkata,
“Adapun terkait dengan tahiyyatul masjid, maka disyari’atkan pelaksanaannya pada setiap waktu. Kapan saja engkau masuk masjid maka janganlah duduk kecuali setelah shalat dua raka’at walaupun pada waktu-waktu larangan. Yang perlu diperhatikan bahwa pendapat yang kuat dari beberapa pendapat ulama’ ialah, semua shalat sunnah dzawatul asbab (yang pelaksanaannya dikarenan sebab tertentu,pen) tidak ada larangan padanya, bahkan engkau tunaikan walaupun pada waktu-waktu larangan. Apabila engkau masuk masjid selepas shalat shubuh maka shalatlah dua raka’at. Apabila engkau masuk selepas shalat ashar maka shalatlah dua raka’at. Apabila engkau masuk masjid mendekati zawal (waktu zhuhur,pen) maka shalatlah dua raka’at, dan apabila engkau masuk masjid pada waktu kapan saja baik di malam atau siang hari maka janganlah engkau duduk sampai mengerjakan shalat dua raka’at. [36]
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullah berkata:
ويجوز أيضا على الصحيح من قولي العلماء في هذه الأوقات فعل ذوات الأسباب من الصلوات؛ كصلاة الجنازة، وتحية المسجد، وصلاة الكسوف؛ للأدلة الدالة على ذلك.
“Dan dibolehkan juga menurut pendapat yang kuat dari dua pendapat ulama, pada waktu-waktu (larangan) ini untuk melaksanakan shalat-shalat dzawatul asbab seperti shalat jenazah, shalat tahiyyatul masjid, dan shalat gerhana berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan atas hal tersebut.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhi 1/190)
Syari’at shalat tahiyyatul masjid hanya diperuntukkan bagi orang yang ingin duduk di masjid. Sedangkan masuk masjid karena sekadar lewat, mengambil sesuatu, atau ingin menyampaikan keperluan kepada orang lain, maka tidak disyari’atkan shalat tahiyyatul masjid. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qatadah Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّىَ رَكْعَتَيْنِ
“Apabila seorang di antara kalian masuk masjid, janganlah ia duduk hingga (mengerjakan) shalat dua raka’at.” [37]
Al-Imam Malik Rahimahullah menerangkan, “Perintah tersebut berlaku bagi orang yang ingin duduk saja. Oleh karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ‘… hendaklah ia shalat dua raka’at sebelum duduk.‘.”[38]
Ibnu Rajab Rahimahullah berkata: ”Pada riwayat ini terdapat larangan untuk duduk sebelum melakukan shalat (tahiyyatul masjid). Sehingga barangsiapa masuk masjid bukan untuk duduk, yaitu sekadar lewat melintasi masjid atau masuk untuk suatu kebutuhan kemudian keluar lagi dan bukan untuk duduk, maka tidak terkena larangan tersebut.” [39]
Di dalam kitab Al-Muntaqo Min Fatawa Al-Fauzan (4/26), Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan juga menjelaskan, “Barangsiapa masuk masjid karena ingin duduk (di dalamnya), maka hendaknya dia shalat dua raka’at sebelum duduk. Adapun seorang yang masuk masjid hanya sekadar lewat bukan untuk duduk atau ingin mengambil kebutuhan kemudian keluar lagi, maka tidak disyari’atkan shalat (tahiyyatul masjid) atasnya.”
Dan diriwayatkan pula bahwasanya Ibnu Umar dan para shahabat lainnya Radhiallahu ‘anhum memasuki masjid kemudian keluar tanpa melakukan shalat.[40]
Di dalam hadits Abu Qotadah Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu yang telah disebutkan sebelumnya terdapat penjelasan bahwasanya shalat tahiyyatul masjid adalah shalat dua raka’at yang dilakukan ketika masuk masjid. Sehingga shalat yang tidak terdiri dari dua raka’at seperti shalat jenazah, atau ibadah lainnya seperti sujud tilawah dan sujud syukur bukan termasuk shalat tahiyyatul masjid. Oleh karena itu, seseorang yang masuk masjid guna melaksanakan shalat jenazah, kemudian dia hendak duduk maka diharuskan shalat tahiyyatul masjid dua raka’at. Al-Imam An-Nawawi menjelaskan, “Seandainya dia menshalati jenazah, melakukan sujud tilawah, atau sujud syukur, atau shalat satu raka’at, maka tidak dianggap telah melakukan shalat tahiyyatul masjid sebagaimana penegasan hadits yang shahih. Ini adalah pendapat madzhab (yakni madzhab syafi’iyyah).” [41]
Lihat pula penjelasan Asy-Syaikh Ibnu Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail (17/96)
Perpustakaan yang berada di dalam masjid juga bagian dari masjid. Apabila seseorang masuk ke perpustakaan tersebut dan ingin duduk di dalamnya, maka diharuskan shalat tahiyyatul masjid.[42]
Ketika masuk masjid pada saat muadzin mengumandangkan adzan manakah yang harus didahulukan, shalat tahiyyatul masjid ataukah menjawab adzan?
Para ulama menjelaskan bahwasanya yang lebih utama adalah menjawab adzan terlebih dahulu kemudian shalat. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz berkata, ketika menjawab sebuah pertanyaan “Dan aku menyampaikan kepadamu bahwasanya seseorang apabila masuk masjid sedangkan muadzin sedang mengumandangkan adzan, maka dia bebas memilih; bisa shalat tahiyyatul masjid ketika sedang adzan, dan bisa menjawab adzan terlebih dahulu. Tetapi yang afdhal adalah menjawab adzan kemudian shalat, dalam rangka menggabungkan dua ibadah dan meraih dua pahala.” [43]
Asy-Syaikh Al-Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala menambahkan, apabila keadaan tersebut terjadi pada selain hari jum’at maka yang utama adalah mendahulukan menjawab adzan ketimbang shalat. Adapun pada hari jum’at yang utama adalah shalat tahiyyatul masjid.
الأولى الإنتظار للإجابة، ثم يقول: “اللهم رب هذه الدعوة التامة.” إلا في صلاة الجمعة فالأولى الصلاة.
“Yang lebih utama adalah menunggu untuk menjawab adzan. Lalu mengucapkan, ‘Allahumma Rabba hadzihid da’wati at-taammah’ kecuali pada shalat jum’at maka yang lebih utama adalah shalat.”
Sebagian orang ketika masuk masjid lebih memilih untuk berdiri menunggu iqomat tanpa melakukan shalat tahiyyatul masjid. Ada yang asyik berbincang dengan temannya, ada pula yang sedang melamun. Padahal jika dia pergunakan tenggang waktu tersebut untuk shalat dua raka’at maka dia akan meraup pahala yang besar dan kebaikan yang banyak. Walaupun dia beranggapan iqomat sebentar lagi ditegakkan, tetap saja lebih utama melakukan shalat tahiyyatul masjid. Apabila iqomat ditegakkan ketika masih di raka’at pertama maka shalat bisa diputus, sedangkan jika sudah sampai di raka’at ke dua maka disempurnakan dengan diperingkas. Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin (13/15)
Demikian yang bisa kami kumpulkan. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.
Dikumpulkan oleh:
Abu Rufaidah Abdurrahman Al-Maidany
Admin Warisan Salaf
======Catatan Kaki=========
[1] HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Qotadah Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu
[2] Asy-Syarhul Kabir (3/180-181)
[3] Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari (3/273-274)
[4] Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari (3/274)
[5] Ats-Tsamarul Mustathob (1/613) pada halaman 615, beliau juga berkata, “Hadits ini secara zhahirnya menunjukkan wajibnya shalat dua raka’at tahiyyatul masjid.”
[6] Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (1/341) dan Syarhus Sunnah Al-Baghawi (2/366)
[7] Fathul Baari (2/172)
[8] Al-Minhaj (3/ 34)
[9] Faidhul Qadir (1/433)
[10] Al-Iqna (1/433)
[11] Al-Mughni (2/237)
[12] Al-Furu’ (3/183)
[13] Adabul Masyyi ilash Sholah, hal. 23
[14] (Al-Minhaj 3/34)
[15] Lihat At Taaju wal Ikliil li Mukhtasharil Khalil 2/101
[16] Beliau berkata: “Tahiyyatul masjid adalah sunnah muakkad (dikerjakan) di semua waktu, walaupun di waktu-waktu terlarang menurut pendapat yang kuat dari dua pendapat ulama’…” (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Ibnu Baaz 11/350)
[17] Beliau berkata: “Kami katakan tentangnya, bahwa pendapat yang menyatakan wajibnya tahiyyatul masjid adalah pendapat yang kuat, namun yang lebih dekat adalah pendapat yang menyatakan ia adalah sunnah. Wal-ilmu ‘indallah.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin 14/241)
[18] Faedah ini sering kami dengar dari guru kami, Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman bin Muhammad Ba’abduh –semoga Allah selalu menjaganya- dalam banyak kesempatan, terkhusus pada Pelajaran Syarah Bulughul Maram.
[19] Al-Iqna’ fi Hulli Alfaazhi Abi Syuja’ (1/117)
[20] Al-Majmu’ (4/52)
[21] Fatawa Nuur ‘ala Darb li Ibni Baaz (10/471)
[22] Syarah Sunan Abi Daud. Rekaman Fatwa bisa didengarkan melalui link: http://download.media.islamway.net/fatawa/3abbad/2227mab.mp3, dinukil dari situs: http://ar.islamway.net/fatwa/33035
[23] Syarah Sunan Abi Daud. Rekaman Fatwa bisa didengarkan melalui link: http://download.media.islamway.net/fatawa/3abbad/1357mab.mp3, dinukil dari situs http://ar.islamway.net/fatwa/32117?ref=g-rel
[24] –
[25] Al-Majmu’ (4/551)
[26] Al-Mughni (2/237)
[27] Kasyful Musykil min Hadits Ash-Shahihain (3/34)
[28] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (4/551-552)
[29] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (4/551)
[30] Majmu’ Fatawa Wa Rasail (16/252)
[31] Silakan dengarkan fatwa beliau di link berikut: http://shup.com/Shup/436281/00000.mp3 (menukil dari Sahab.net)
[32] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Al-Utsaimin (12/394) dan (14/268)
[33] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz (13/16)
[34] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz (13/14)
[35] Lihat Adabul Masyi ilash Shalah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz, dan Al-Mulakhos Al-Fiqhi Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (1/188)
[36] Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (14/341)
[37] HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Qotadah Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu
[38] Al-Muntaqo Syarhul Muwatto’ (1/399) dan Al-Muntaqa Syarhul Muwatho’ (1/286)
[39] Fathul Baari Syarhu Shahihil Bukhari Ibnu Rajab (3/275)
[40] Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (1/299)
[41] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (4/52)
[42] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin (14/241)
[43] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz (29/145)