Masjid Nabawi sedang riuh. Di tengah kekalutannya, Umar hampir seperti orang yang sedang kerasukan. Ia menghunuskan pedangnya dan mengancam akan membunuh para jamaah, yang tak lain merupakan sahabat-sahabatnya sendiri.
Senin, 12 Rabiul Awal tahun ke-11 Hijriah. Pada Subuh di hari tersebut Abu Bakr masih mengimami kaum muslimin shalat berjamaah. Sudah tiga hari ini beliau menjadi imam, sejak Rasulullah ﷺ sakit keras.¹
Saat kaum muslimin masih dalam shalat, Rasulullah ﷺ sempat membuka kain penutup biliknya dan melihat mereka (bilik/kamar Rasulullah ﷺ menyatu dengan bangunan masjid). Rasulullah ﷺ tersenyum, pandangannya terasa teduh oleh ibadah shalat.
Melihat Rasulullah ﷺ yang menampakkan diri, Abu Bakr melangkah mundur, ia mengira kalau Rasulullah ﷺ ingin ikut shalat berjamaah—menjadi imam.
Terlebih kaum muslimin, mereka hampir saja membatalkan shalat mereka begitu melihat Rasulullah ﷺ, karena saking bahagianya. Keadaan Rasulullah ﷺ sudah membaik, batin mereka. Akan tetapi, Rasulullah ﷺ mengisyaratkan dengan tangan beliau, agar mereka tetap melanjutkan shalatnya.
Tentu saja, orang yang paling berbahagia di pagi itu adalah Abu Bakr, sahabat terdekat Rasulullah ﷺ. Abu Bakr merasa lega ketika mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ sudah berangsur membaik dan mulai pulih dari sakit yang dideritanya. Oleh karena itu, Abu Bakr memutuskan untuk pergi sejenak mengunjungi keluarganya di daerah as-Sunh (atau as-Sanh), sebuah daerah di Madinah.
Namun, seperti kebahagiaan duniawi lainnya, kebahagiaan yang dirasasakan oleh kaum muslimin ketika itu hanya berlangsung sesaat. Kebahagiaan sejenak di awal pagi. Sebab, di akhir waktu Dhuha, menjelang Zhuhur, Rasulullah ﷺ mengembuskan napas terakhir, berpulang menuju Rabbnya ta’ala.
Siang tersebut akhirnya menjadi siang yang paling gelap di Madinah, betapa pun cerahnya hari itu …
Di tengah-tengah para sahabat yang sedang bingung dan pilu, Umar berteriak sejadi-jadinya,
“Rasulullah tidak akan meninggal sampai Allah membinasakan orang-orang munafik!!!
Demi Allah, Rasulullah belum meninggal, beliau hanya pergi menemui Rabbnya sebagaimana Nabi Musa menemui Rabbnya selama empat puluh hari. Sebentar lagi Rasulullah akan kembali, sebagaimana Nabi Musa juga dahulu kembali.
Kalau ada yang berani mengatakan bahwa Rasulullah telah meninggal, sungguh aku akan memenggal kepalanya!!!”
Berita tentang wafatnya Rasulullah ﷺ tersebar begitu cepatnya hingga sampai ke telinga Abu Bakr yang saat itu masih berada di as-Sunh. Abu Bakr segera menaiki kendaraannya dan bergegas menuju masjid.
Sesampainya di masjid, Abu Bakr tidak berbicara kepada seorang pun. Ia langsung masuk ke dalam bilik Aisyah, putrinya, tempat di mana Rasulullah ﷺ wafat. Kemudian, didapatinya Rasulullah ﷺ sudah terbaring ditutupi sehelai kain katun bergaris, berada di pojok bilik kecil tersebut. Abu Bakr membuka kain yang menutupi wajah mulia sahabat karibnya itu sambil menangis, lalu berucap dengan lirih,
“Kutebus engkau dengan ayah dan ibuku. Sesungguhnya Allah tidak akan menimpakan dua kematian kepadamu. Adapun sekarang, engkau telah menjumpainya; dan setelah ini, tidak akan ada lagi kematian untukmu.”
Abu Bakr menutup kembali kain tersebut, dan keluar menemui kaum muslimin. Umar saat itu masih terus berteriak di depan mereka, ia tak henti-hentinya mengancam.
“Duduk dan diamlah, wahai Umar!” perintah Abu Bakr.
Akan tetapi, Umar bergeming. Ia masih terus berbicara di depan kaum muslimin. Melihat itu, Abu Bakr naik menuju mimbar dan mulai berbicara di depan mereka. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu memulai khotbahnya yang terkenal,
“Wahai manusia, barang siapa menyembah Muhammad, sungguh beliau telah tiada. Namun, barang siapa menyembah Allah, sungguh Dia adalah Dzat Yang Mahahidup dan tidak akan mati.”
Setelah itu, beliau membaca sebuah ayat yang menenangkan hati mereka,
“Muhammad itu hanyalah seorang rasul; dan sebelumnya pun telah hidup pula beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu akan berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke belakang, ia tidak akan bisa merugikan Allah sedikit pun. Dan Allah akan memberikan balasan (yang baik) kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 144)
Ibnu Abbas berkata, “Demi Allah, seakan-akan kaum muslimin saat itu belum pernah mendengar ayat tersebut hingga Abu Bakr membacanya.”
Umar tersentak kaget. Sama halnya dengan kaum muslimin yang lain, ia pun demikian; seakan belum pernah mendengar ayat itu sama sekali. Umar ambruk, ia tersungkur. Di kemudian hari, ia menceritakan sendiri apa yang dirasakannya pada hari tersebut,
“Demi Allah, aku seperti belum pernah mendengar ayat itu sampai Abu Bakr membacanya di hadapan kami. Kedua kakiku terasa lemas hingga aku terjatuh, aku tak mampu berdiri. Barulah kemudian aku sadar, bahwa Abu Bakr benar; Rasulullah memang telah meninggal.”
Anas bin Malik kembali mengenang hari paling gelap itu,
“ … dan aku juga benar-benar menyaksikan sendiri hari ketika Rasulullah ﷺ wafat. Sungguh, tidak ada hari yang lebih berat dan lebih suram, daripada hari wafatnya Rasulullah.”
Pada hari itu, Abu Bakr, seorang yang dikenal berwatak lembut, membuktikan bahwa, meskipun usianya sudah tua, ketegarannya tak pernah renta. Dan Umar, seorang perwira yang terkenal gagah dan garang, pun sampai tak kuasa untuk sekadar berdiri ketika ia kehilangan orang yang paling dicintainya, ﷺ.
Semoga Allah meridhai keduanya, dua orang terbaik umat Muhammad ﷺ.
¹ Disebutkan bahwa, penyebab sakit keras yang diderita Rasulullah ﷺ adalah karena racun yang dibubuhkan oleh seorang Yahudi ke sebuah paha kambing yang akan disajikan untuk Rasulullah ﷺ. Hal ini terjadi pada peristiwa Khaibar. Wallahu a’lam.
Sumber:
• Muhammad bin Abdul Wahhab. 1956. Mukhtashar Sirah ar-Rasul, hlm. 249—250 dan 135. Dar al-Kitab al-Arabi.
• Shafiyurrahman al-Mubarakfuri. 2006. Sirah Nabawiyah: Taman Cahaya di Atas Cahaya Perjalanan Hidup Rasulullah, hlm. 426—430. Terjemahan oleh Muhammad Daz bin Munir 2006. Tegal: Ash-Shaf Media.