Ukhuwah Anak Kuliah
Ukhuwah Anak Kuliah oleh Admin UAK

pemuda di medan juang

8 bulan yang lalu
baca 10 menit

⚔️🛡️ PEMUDA DI MEDAN JUANG
(Sebuah Inspirasi dari Kisah Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu)

 

“Usamah bin Zaid, siapa nama ayahnya?”

Tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari lisan Ustadz..

Sekelompok santri mengernyitkan dahinya, berpikir mengingat-ingat agar bisa menjawab, namun lompatan ingatan tak sampai yang dituju.

Sore itu gerimis kecil tiba-tiba datang menyiram halaman masjid yang berdebu. Beberapa mobil parkir di sisi jalan. Sekilas dapat ditebak ada tamu penting yang datang menziarohi ma’had.

Pertanyaan itu belum pun terjawab, lalu kembali diulang,

“Usamah bin Zaid, sahabat Nabi, nama bapaknya siapa? Zaid…?”

“bin Haritsah!”, sahut salah seorang santri.

Lalu pertanyaan kedua kembali meluncur, “Siapa nama ibunya?”

Para santri tertunduk tidak tahu, masing-masing didera khawatir kalau-kalau dirinya yang diminta menjawab.

Pertanyaan itu pun diulang beberapa kali, berharap ada yang bisa menjawabnya, namun belum juga ada yang menjawab.

Akhirnya Ustadz membantu, dengan mengatakan “Ummu.., Ummu.. yang merawat Nabi Muhammad ﷺ?”

“Ummu Aiman!”, lanjut seorang santri.

“Betul, Ummu Aiman”, kata Ustadz.

Baru saja lega bisa menjawab pertanyaan kedua, kembali pertanyaan ketiga meluncur.

“Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu warna kulitnya apa?”

“Ada yang bernama Usamah di sini?”, Ustadz bertanya dengan ramah sambil tersenyum.

“Apa warna kulit Usamah bin Zaid?”

Pertanyaan-pertanyaan ringan sarat makna yang disampaikan di sela kajian dengan gaya persuasi ini mengajak kita untuk mengenal lebih dekat Sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu.

Masjid putih yang berdiri tegar bersahaja dengan halaman yang luas dihiasi butiran pasir di atas tanah menjadi saksi pertemuan singkat sore itu.

Daun hijau ranum dari tanaman ubi yang ditanam warga di sekeliling pondok dan lambaian pucuk-pucuk sawit yang diterpa lembutnya angin turut memperindah suasana.

Begitulah style Al-Ustadz Mukhtar Abu Nasim Lafirlaz hafizhahullahu Ta’ala menyampaikan ilmu kepada santri dan ikhwah di Ma’had Ibnu Umar Simpang Gambus, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara.

Pondok yang indah dan bersahaja ini di bawah bimbingan asatidzah yang mendedikasikan dirinya di jalan dakwah ilallah. Semoga Allah memberkahi dan merahmati tempat ini menjadi tempat menimba ilmu generasi muda harapan bangsa.

Sore itu hari Ahad tanggal 24 Shafar 1445 H./10 September 2023, dalam perjalanan pulang dari dauroh di Ma’had Al Ghuroba Aek Songsongan, Kabupaten Asahan. Al-Ustadz Mukhtar Abu Nasim bin Rifa’i Lafirlaz hafizhahullahu Ta’ala yang kala itu didampingi asatidzah dan ikhwah yang melintas di Jalinsum (Jalan Lintas Sumatera), menyisihkan waktu menziarohi Ma’had Ibnu Umar Simpang Gambus ini dan menyempatkan memberi nasihat bimbingan kepada santri dan ikhwah di sana.

Untuk menggugah semangat santri agar menjadi pemuda yang gagah berani kelak siap tampil ke depan di medan dakwah dengan tetap mendengar nasihat dan bimbingan asatidzah, Ustadz membawakan kisah Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, sahabat Nabi yang di usia belia telah diangkat menjadi panglima perang menghadapi pasukan Romawi, negara adidaya saat itu.

Setelah pertanyaan diulang beberapa kali namun tidak ada santri yang menjawab, akhirnya Ustadz menjawab sendiri pertanyaannya.

“Hitam.., warna kulit Usamah bin Zaid hitam. Sedangkan Ayahnya Zaid bin Haritsah warna kulitnya putih… “, lanjut Ustadz.

Sempat Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu berpikir, mengapa beliau putih, anaknya hitam.

Karena Ibunya Ummu ‘Aiman itu berasal dari Afrika.

Sampai suatu ketika Zaid bin Haritsah tidur bersama Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhum, sehingga kedua kaki masing-masing saling berdekatan. Kemudian masuklah qa’if, seorang yang mempunyai ibroh atau pengalaman bisa melihat ciri-ciri dan tanda-tanda khusus bahwa seseorang dengan orang lain itu masih senasab, keluarga, kerabat, atau sedarah, dengan melihat adanya tanda dan kemiripan-kemiripan.

Melihat kaki Zaid bin Haritsah dan kaki Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhum , qa’if itu berkata, “Kaki ini satu dengan yang lain adalah bagiannya”. Mengetahui hal itu, maka Zaid bin Haritsah senang sekali.

Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu ketika berumur 18 tahun (bahkan yang lain mengatakan 17 akhir, belum mencapai 18 tahun), ditunjuk dan diangkat oleh Nabi Muhammad ﷺ menjadi panglima perang, memimpin pasukan menghadapi Romawi.

Jangan dilihat 18 tahunnya, tetapi lihatlah bagaimana proses Usamah bin Zaid dari kecil seperti apa: rajin belajar, rajin berlatih, orang tuanya memberikan pembelajaran, belajar langsung dengan Rasulullah ﷺ.

Ketika perang Uhud, di usianya yang masih kecil bersama beberapa temannya, ia menghadap Rasulullah ﷺ. Mereka ingin ikut bertempur, namun Rasulullah ﷺ hanya memilih beberapa orang saja dari mereka. Selebihnya beliau tolak karena usia mereka yang masih terlalu muda. Usamah bin Zaid termasuk yang ditolak. Ia pulang dengan membawa kesedihan. Dua mata mungilnya bercucuran air mata, sedih karena tidak bisa berjihad bersama Rasulullah ﷺ.

Pada perang Khandaq, kembali Usamah bin Zaid bersama teman-temannya menghadap Rasulullah ﷺ. Sama halnya pada perang Uhud, mereka ingin sekali berjihad di jalan Allah. Ia menegakkan badannya agar lolos dari seleksi ini. Rasa simpati dan kasihan Rasulullah ﷺ akhirnya mengizinkan ia ikut dalam perang Khandaq ini. Ia pun lega. Setelah usaha dan perjuangannya, akhirnya ia bisa mengangkat pedang, berjihad di jalan Allah pada usia lima belas tahun.

Pada perang Hunain, ketika tentara muslimin terdesak oleh gempuran musuh, Usamah bin Zaid bersama Al-‘Abbas, paman Rasulullah ﷺ, dan Abu Sufyan bin Al-Harits serta enam orang sahabat yang mulia, menjadi tameng hidup membela dan melindungi Rasulullah ﷺ dari tikaman dan sergapan tentara musuh. Dengan pertolongan Allah kemudian karena kerasnya perjuangan kelompok kecil ini, Rasulullah ﷺ mampu menghadapi gempuran musuh. Pertolongan dan kemenangan akhirnya berpihak pada pasukan sahabat.

Pada perang Mu’tah, Usamah bin Zaid kembali ambil bagian. Di usianya yang belum mencapai delapan belas tahun ia berjihad dan bertempur di bawah bendera ayahnya, Zaid bin Haritsah. Dengan kedua mata kepalanya, ia saksikan ayahnya gugur sebagai syahid. Namun hal itu tidak menjadikannya lemah, mundur, apalagi gentar, bahkan ia tetap melanjutkan jihad itu di bawah komando Ja’far bin Abi Thalib. Gugurnya Ja’far bin Abi Thalib sebagai syahid juga ia saksikan dengan kedua matanya. Tetap dan terus berjihad, itulah Usamah bin Zaid. Komando beralih kepada Abdullah bin Rawahah, yang akhirnya ia menyusul dua pendahulunya, gugur sebagai syahid di jalan Allah. Hingga akhirnya, Khalid bin Walid tampil ke depan mengambil alih bendera komando dan berhasil menyelamatkan kelompok pasukan kecil ini lepas dari terkaman kebuasan tentara Romawi.

Inilah sekelumit rekam jejak Usamah bin Zaid, sosok pemuda yang di zaman Nabi ﷺ diberi peran dan tanggung jawab besar.

Tahukah kalian berapa jumlah pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid?

3.000 orang… . Itu bukan jumlah yang sedikit dan bukan memimpin untuk gerak jalan atau baris-berbaris.

Tentu saja sebagai pemimpin, Usamah bin Zaid tidak hanya mengatur urusan makan dan minum prajuritnya saja, akan tetapi ini urusan perang. Ia mengatur siapa yang di depan dan siapa yang di belakang; mengatur siapa yang di sayap kanan dan siapa yang di sayap kiri; kapan harus menyerang; operasi dan strateginya bagaimana; siapa yang berkuda dan siapa yang harus berjalan kaki.

Sempat ada fitnah, isu dan desas-desus yang mempertanyakan kemampuan Usamah bin Zaid karena di antara pasukan Usamah bin Zaid ada sahabat-sahabat yang sudah tua dan berpengalaman. Mereka dahulu yang ikut Perang Badar dan Perang Uhud, termasuk di dalamnya ada Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu, Umar bin Khaththab, Sa’ad bin Abi Waqas, dan nama-nama besar sahabat ikut dalam pasukan Usamah bin Zaid.

Sampai juga berita desas-desus itu kepada Rasulullah ﷺ, maka Nabi ﷺ memanggil dan mengumpulkan para sahabat. Beliau berkata (artinya), “Jika kalian meragukan kemampuan Usamah bin Zaid, itu berarti kalian meragukan kemampuan ayahnya dulu ketika menjadi pemimpin.”

Dahulu ayahnya Usamah bin Zaid, yaitu Zaid bin Haritsah, juga diangkat oleh Rasulullah ﷺ sebagai panglima perang yang gugur dalam perang Mu’tah, juga menghadapi pasukan Romawi.

Maka Nabi Muhammad ﷺ ketika mengirim pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid, di antaranya berpesan kepada Usamah, “Datangi tempat ayahmu dulu gugur.”

Jadi jika kalian meragukan kemampuan Usamah bin Zaid, berarti kalian meragukan kemampuan ayahnya Zaid bin Haritsah. Sungguh dia (Usamah bin Zaid) pantas dan layak menjadi pemimpin. Artinya, Rasulullah ﷺ percaya betul kepada pemuda, Usamah bin Zaid dan dibela. Inilah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, memberi kesempatan dan kepercayaan kepada pemuda untuk tampil ke depan.

Dan para sahabat yang tua, mereka juga mengajarkan bagaimana mereka memberi kesempatan kepada pemuda untuk tampil menjadi pemimpin. Mereka ikut berangkat berperang di bawah pimpinan pemuda, Usamah bin Zaid.

Pasukan diberangkatkan menjelang wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Rasulullah ﷺ sendiri yang mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima, mereka pun berangkat dan berkemah di sebuah tempat yang bernama Jurf sekitar 10 km dari Madinah, karena mendengar Nabi ﷺ sakit dan kondisi kesehatannya terus menurun menjelang wafatnya.

Setelah Nabi Muhammad ﷺ wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kepemimpinan menjadi khalifah.

Ketika itu muncul kembali usulan agar pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid jangan diberangkatkan, karena alasan situasi tidak kondusif. Nabi ﷺ baru saja wafat, banyak di kalangan kaum munafikin yang kemudian murtad sepeninggal Nabi Muhammad ﷺ. Jika pasukan diberangkatkan, Kota Madinah kosong dari pasukan tidak ada penjagaan. Demikian beberapa alasan yang diajukan agar pasukan Usamah bin Zaid batal berangkat.

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu pemimpin terbaik umat ini setelah Nabi Muhammad ﷺ bergeming, tidak akan pernah mengubah keputusan yang telah Rasulullah ﷺ tetapkan.

Beliau tetap memberangkatkan pasukan. Beliau mengatakan, “Bahkan seandainya anjing-anjing liar gurun sahara masuk ke Kota Madinah dan menggigit kaki-kaki Ummahatul Mukminin, pasukan akan tetap diberangkatkan.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang sudah dibaiat kaum muslimin sebagai khalifah, usianya jauh lebih tua dari Usamah bin Zaid, namun demikian Abu Bakar meminta izin kepada Usamah bin Zaid agar Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang tadinya menjadi bagian dari personil pasukan Usamah bin Zaid, agar diizinkan tinggal di Madinah mendampingi Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika itu.

Dengan diantar Abu Bakar Ash-Shiddiq, pasukan berangkat. Pasukan bergerak sampai di daerah Balqa, wilayah Jordan (sekarang).

Penyerangan tersebut dimaksudkan sebagai pertahanan agar Romawi Timur (Byzantium) tidak lagi berpikir untuk menyerang Madinah.

Dalam kondisi pasukan bergerak maju, Allah munculkan kekuatan secara moral yang menjatuhkan mental musuh-musuh mereka.

Pasukan besar tentara Romawi di perbatasan menyimpulkan, “Ini bukan pasukan biasa. Pemimpin besarnya baru saja meninggal, mereka tetap maju berperang.”

Akhirnya pasukan Romawi mundur dan pasukan Usamah bin Zaid melakukan beberapa misi mengamankan daerah perbatasan dan menguatkan pertahanan kaum muslimin di sana.

Dengan melaksanakan semua perintah dan wasiat Rasulullah ﷺ, ia pun mengirim pasukan berkuda ke daerah perbatasan antara Balqa dan Qal’ah Daarum di bumi Palestina, hilang dan lenyaplah kecongkakan tentara Romawi. Pasukan Usamah bin Zaid meneruskan perjuangan dan membuka jalan untuk penaklukan negeri Syam, Mesir, Afrika Utara, hingga mencapai Laut Hitam.

Akhirnya pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid pulang ke Madinah dengan kemenangan yang gemilang tanpa korban dari pihak kaum muslimin.

Di atas pelana kuda yang dahulu dipakai ayahnya ketika gugur di perang Mu’tah, Usamah bin Zaid dan pasukannya berhasil memboyong sekian banyak harta rampasan perang, ghanimah yang sangat banyak jumlahnya.

Inilah hikmah dari melaksanakan perintah Rasulullah ﷺ.

Syahid dari kisah ini, bahwa Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang mulia senantiasa memberi kesempatan dan kepercayaan kepada pemuda untuk tampil di medan juang.

Wahai pemuda, bersegeralah menyiapkan diri berbekal ilmu, berjuang dengan ikhlas dan sabar; belajar, belajar, dan terus belajar hingga kau gapai puncak-puncak ilmu.

Jika saatnya tiba, siap tampil di medan dakwah membimbing umat menuju puncak kemuliaan Islam.

Wallahu a’lam bish-shawab

Semoga bermanfaat

📃 Referensi:
1. Rekaman kajian di Ma’had Ibnu Umar Simpang Gambus, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara, bersama Al-Ustadz Mukhtar Abu Nasim bin Rifa’i Lafirlaz hafizhahullah, pada hari Ahad, 24 Shafar 1445 H./10 September 2023).
2. Kitab Terjemahan Sirah Sahabat oleh Dr. Abdurrahman Rafat Basya, Pustaka Al-Haura’, 1443 H.

📒 Catatan AF Aceh di Lhokseumawe, 18 September 2023.

💡Sudah dirapikan oleh: Tim Fawaid dan Asatidzah pembimbing حفظهم الله جميعا

📝 Mau ikut ngirim catatan taklim juga? Klik https://bit.ly/Catatan_Taklim

www.ukhuwahanakkuliah.com

Oleh:
Admin UAK
Sumber Tulisan:
PEMUDA DI MEDAN JUANG