Inilah kisahku.
Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai suami dengan dua orang anak. Kehidupan kami bahagia secara duniawi, tapi tidak dari sisi rohani. Aku merasakan kegersangan. Hari-hari yang kujalani berlalu begitu-begitu saja: memasak, nonton tv, mendengarkan musik, jalan-jalan, makan, dan tidur. Terasa hampa, apalagi yang kucari semua sudah kurasakan, demikian gumamku dalam hati.
Suatu ketika, datanglah kakak lelakiku mengunjungiku–semoga Allah menjaga beliau. Dalam kunjungan itu, beliau memberiku CD ceramah agama dan buku-buku agama. Dari sinilah aku mulai mengenal dakwah salafiyah. Ketika kuputar, kudengar, kusimak, ceramah ustadz ini, segala yang disampaikan sungguh sangat mengena di hati. Semuanya menggunakan dalil. Hatiku sangat tertarik dan selanjutnya aku sering membeli buku-buku dan majalah salafiyah.
Respon suami ketika kuajak mendengarkan ceramah ini, dia enggan. Menolak. Tidak! Namun, aku tetap belajar sendiri. Aku selalu berangan-angan ingin seperti mereka wanita yang cantik itu, wanita yang mengenakan hijab sempurna. Betapa anggun dan cantiknya mereka.
Semakin aku belajar, semakin menancap kuat dan kukuh di sanubariku untuk memondokkan anak-anakku sedari kecil agar mereka mengerti agama sedini mungkin. Kurayu suamiku, kunasihati setiap hari, dan akhirnya ia luluh juga. Suamiku membangunkanku rumah ala kadarnya di dekat ma’had untuk aku tinggal di lingkungan ma’had bersama anak-anak.
Namun, sejalan dengan itu, justru di sinilah ujian hidupku dimulai.
Hari demi hari berganti dan aku asyik dengan kehidupanku di ma’had. Kehidupan yang memang aku inginkan. Tentram dan damai. Jauh dari kemaksiatan. Ketika ingin belajar, mudah.
Akan tetapi, tidak dengan suamiku. la merasa hidupnya terkekang dengan banyak aturan. Nonton tv tidak boleh, merokok tidak boleh, mendengarkan musik tidak boleh, serba tidak boleh.
“Aku tidak suka dan tidak betah tinggal di sini! Bagaimana mau betah kalau tidak ada hiburannya?” Demikian selalu ia menggerutu.
“Membaca Al Quran itu hiburan, mendengarkan ceramah itu hiburan,” demikian jawabku.
“Itu buatmu, bukan buatku!” bentaknya. Sedih rasanya orang yang kucintai seperti ini.
Jarak antara ma’had dan rumah kami yang di kota sekitar dua puluh menit. Kehidupan rumah tangga kami semakin tidak harmonis karena perbedaan prinsip.
Suamiku mulai jarang pulang ke rumah yang di ma’had. Kadang 3 hari sekali baru datang, kadang 5 hari sekali. Itu pun setiap bertemu selalu bertengkar. “Ayo, kita kembali ke kota, hidup seperti dulu,” pintanya. Aku hanya diam membisu. Aku bingung apa yang harus aku lakukan.
Pada puncaknya, suamiku mempunyai wanita idaman lain, intensitas pertengkaran kami semakin bertambah. Pemukulan, kekerasan, kata-kata kasar kurasakan sudah.
Akhirnya, dia memberikan pilihan. “Aku akan meninggalkan wanita itu kalau kau mau kembali bersamaku tinggal di kota, hidup bahagia seperti dulu. Tidak di ma’had ini. Namun, jika kau tetap memilih tinggal di sini, kau bukan istriku lagi!”
Aku menangis sejadi-jadinya mendengar semua itu. Haruskah kami berpisah karena agama ini? Meskipun jiwa kami sudah tidak sama lagi, aku masih mencintainya kala itu. Berat rasanya harus memilih salah satu dari keduanya.
Akan tetapi, jika mengingat bagaimana nikmatnya hidayah ini, sesak dadaku jika harus kembali lagi ke kota. Sudah panas telingaku jika harus mendengarkan musik kembali. Sudah sesak dadaku jika harus menonton tv lagi. Banyaknya kemaksiatan di sana dan pastinya agamaku akan menjadi taruhannya
Setelah salat istikharah aku memilih berpisah dengan suami dengan segala risikonya.
“Ya Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi, berikan pahala dari musibahku ini dan berikan pengganti yang lebih baik dari ini.” Doa ini yang aku panjatkan terus waktu itu. Doa yang Rasullulah ajarkan ketika tertimpa musibah.
Hari-hari berikutnya kujalani menjadi seorang janda. Semua serba sendiri. Sungguh tidak mudah menjadi seorang janda. Terasa berat sekali. Ketika musim hujan, rumah kami kebanjiran. Kami tidur dengan kasur yang basah bersama anak-anak, ular masuk rumah, listrik mati, sungguh terasa berat sekali ujian ini. Untuk meneruskan hidup. aku hanya bekerja serabutan di rumah ummahat di ma’had ini.
Kalau bukan karena pertolongan Allah, mungkin aku sudah tidak kuat hidup lagi. Namun, kemudian aku sadar, bukankah Allah Yang Maha Mengetahui akan menolong hamba-Nya ketika dalam kesulitan?
“Ya Allah, tolonglah aku dalam setiap keadaanku. Janganlah engkau berikan beban yang aku tidak sanggup memikulnya. Ya Allah, Engkau melihatku dan juga keadaanku. Aku tidak bisa hidup sendiri seperti ini. Gerakkanlah hati laki-laki yang saleh yang Engkau ridai agamanya untuk menikahiku, membantuku dalam urusan dunia dan akhiratku, dan aku juga mencintainya. Wahai Zat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, kabulkan permohonanku.”
Itulah doa yang selalu kuulang-ulang dan selalu kupanjatkan ketika aku merasa sudah tidak mampu lagi hidup sendiri. Setahun lebih kujalani hidup tanpa suami. Butuh kesabaran ekstra menjadi seorang janda.
“Kring… kring… kring… “ Telepon genggamku berbunyi.
“Assalamualaikum,” suara kakak laki-lakiku di seberang sana menyapa.
“Waalaikumussalam,” jawabku.
Beliau tanya kabar dan bla-bla-bla, kemudian beliau bertanya, “Anti maukah menikah lagi? Ada yang menanyakan anti, tapi di-taadud.”
Aku pun kembali salat istikharah dan menerima pinangannya. Proses pernikahan kami berlangsung begitu cepat, alhamdulillah. Aku banyak-banyak mengucapkan rasa syukur. Alhamdulilah, betapa baiknya Allah kepadaku. Kesabaranku berbuah manis. Aku menikah dengan lelaki yang saleh, insyaAllah. Lembut tutur katanya, bagus akhlaknya. Lelaki terbaik, idaman wanita, dan aku mencintainya karena Allah, insyaAllah.
Ya Rabbku, Engkau lebih tahu apa yang terbaik untukku daripada diriku sendiri.
Setiap orang mempunyai kisahnya masing-masing menuju hidayah. Pasti akan datang ujian dan kita harus melaluinya dengan sabar dan shalat. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa berdoa.
Yakinlah seyakin-yakinnya bahwasannya Allah pasti akan mengabulkan segala doa kita, dan Allah lebih tahu kapan waktu yang tepat doa-doa itu akan dikabulkan.
📂 Referensi: Majalah Qudwah Edisi 73 Vol.07 1441 H
💡Sudah dirapikan oleh: Tim Fawaid dan Asatidzah pembimbing حفظهم الله جميعا
📖 UKHUWAH ANAK KULIAH
www.ukhuwahanakkuliah.com