Sudah berhari-hari Anshar¹ menunggu di al-Harrah, suatu dataran tinggi di Madinah.
Terhitung sejak kabar tersebut sampai ke telinga, mereka rela menunggu hari itu tiba, meskipun di bawah matahari yang semakin terik.
Jauh sebelum hari yang dinanti tiba, Madinah telah lebih dulu menyambut beberapa orang sahabat yang berhijrah ke sana.
Al-Barra bin Malik (saudara Anas bin Malik) mengutarakan apa yang beliau ingat tempo hari,
“Yang pertama kali datang kepada kami, di Madinah, adalah Mush’ab bin Umair—dai pertama dalam sejarah Islam—dan Abdullah bin Umi Maktum. Merekalah yang mula-mula membacakan dan mengajari kami al-Quran.
Setelah itu datanglah Ammar bin Yasir, Bilal bin Rabah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Kemudian disusul oleh Umar bin al-Khaththab yang datang bersama dua puluh orang, sambil mengendarai kuda … “
Pagi-pagi sekali, Anshar sudah berangkat menuju al-Harrah. Namun, jika matahari sudah meninggi dan terik, mereka akan kembali ke rumah-rumah mereka. Sekadar berteduh atau beristirahat; dan semua itu terus mereka lakukan selama beberapa hari.
Anshar tak sendiri. Di belakang mereka ternyata juga ada seorang lelaki Yahudi yang turut menyaksikan apa yang mereka perbuat setiap harinya.
Yahudi tersebut akhirnya tahu bahwa mereka, Anshar, sedang menunggu kedatangan seseorang yang tak lain adalah Rasululllah ﷺ.
Siang itu, ketika Anshar baru saja pulang ke rumah mereka masing-masing, setelah menunggu sejak pagi, si Yahudi tadi berteriak sekeras-kerasnya.
Di atas tembok kota Madinah, ia tadi melihat di kejauhan ada seseorang—yang ia yakini bahwa orang tersebut adalah Rasulullah—sedang berjalan mendekat bersama tiga orang.
Meskipun masih tampak samar-samar karena fatamorgana, si Yahudi yakin bahwa mereka adalah rombongan kecil Rasulullah ﷺ.
“Wahai Bani Qailah!² Ini dia orang yang kalian tunggu-tunggu, ia telah datang!” teriak si Yahudi.
Mendengar itu, Anshar segera berhamburan keluar sambil membawa senjata-senjata mereka, hendak menyambut seorang nabi yang telah lama mereka rindukan.
Raga memang belum pernah berjumpa, tapi kerinduan itu sudah begitu menguat dalam dada.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah bersama Abu Bakr, Uraiqith si penunjuk jalan, dan Amir bin Fuhairah—bekas budak Abu Bakr.
Anshar melihat rombongan itu tengah berteduh di bawah sebuah pohon kurma. Akan tetapi, mereka belum tahu yang mana Rasulullah, dan yang mana Abu Bakr.³ Yang jelas, mereka yakin bahwa yang datang adalah Rasulullah ﷺ dan Abu Bakr.
Rasa penasaran mereka terjawab begitu matahari mulai tergelincir ke arah barat.
Sebelumnya, rombongan itu masih dinaungi oleh bayang-bayang dedaunan pohon kurma; dan ketika panasnya cahaya matahari mulai mengenai mereka, berdirilah Abu Bakr—yang saat itu belum mereka kenal—untuk menaungi Rasulullah ﷺ dengan sehelai kain yang dibawanya.
Dari kejadian tersebut, barulah Anshar tahu bahwa orang yang dinaungi itu adalah Rasulullah ﷺ.
Salah satu kabilah yang mendiami Madinah, yaitu Bani Amr bin Auf, barangkali merupakan kabilah yang paling berbahagia saat itu. Mereka bertakbir dengan gembira karena kedatangan Rasulullah ﷺ.
Kala itu, beberapa saat setelah Rasulullah ﷺ tiba, beliau berjalan menuju Quba, salah satu nama daerah di Madinah. Tentu saja, dengan diiringi sekian banyak orang yang berjalan mengerumuni beliau.
Tak lama, sampailah Rasulullah ﷺ di rumah yang dalam dua minggu ke depan, menjadi tempat singgah bagi beliau ﷺ.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ singgah di rumah Kultsum bin al-Hadm dan Sa’ad bin Khaitsamah. Bagaimana bisa beliau singgah di dua rumah sekaligus?
Untuk bermalam, Rasulullah ﷺ singgah di rumah Kultsum bin al-Hadm. Sementara itu, jika beliau hendak menyambut tamu atau bila akan ada suatu perkumpulan, dipilihlah rumah Sa’ad bin Khaitsamah.. Sebab, Sa’ad ini masih bujang, dia tinggal sendiri di rumah.
Oleh karena itu, rumah Sa’ad bin Khaitsamah di kemudian hari dinamakan Baitul Uzzab atau ‘rumah para bujangan’, karena seringnya para bujangan kota Madinah berkumpul di situ, semenjak datangnya Rasulullah ﷺ.
Hari-hari penuh kegembiraan itu baru saja dimulai, dan semakin terasa keberkahannya ketika kemudian Rasulullah ﷺ, bersama para sahabat barunya dari kalangan Anshar, membangun masjid pertama dalam Islam, Masjid Quba.
Anas bin Malik ingat betul hari itu. Ia berucap penuh rindu, mengenang hari yang paling cerah di sepanjang hidupnya,
“Aku benar-benar melihatnya sendiri tatkala Rasulullah ﷺ tiba di Madinah. Sungguh, tidak ada sebuah hari yang lebih cerah dan lebih membahagiakan kami, daripada hari ketika Rasulullah ﷺ datang … “
¹ Anshar adalah sebutan untuk kaum muslimin penduduk Madinah.
Kata anshar sendiri memiliki arti ‘para penolong/pembela’, karena merekalah orang-orang yang rela membantu kaum Muhajirin (orang-orang yang berhijrah ke Madinah).
² Qailah adalah nama nenek moyang dari kabilah Aus dan Khazraj, dua kabilah besar yang tinggal di Madinah.
³ Sebab, umur Rasulullah ﷺ dan Abu Bakr hanya selisih dua tahun (Rasulullah lebih tua). Mereka adalah sahabat karib yang sebaya umurnya.
Bahkan, mereka meninggal pada usia yang sama pula, yakni 63 tahun. Abu Bakr wafat dua tahun setelah meninggalnya Rasulullah ﷺ.
Sumber:
Muhammad bin Abdul Wahhab. 1956. Mukhtashar Sirah ar-Rasul, hlm. 132—135. Dar al-Kitab al-Arabi.