Setiap muslim yang baik pasti sangat berharap seluruh amal ibadahnya diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Dengan demikian ia bisa semakin memperbanyak dan memperberat pahala amal shalihnya sebagai timbangan kebaikan. Seluruh waktu, tenaga, dan pikiran yang ia korbankan tidak berlalu dengan sia-sia begitu saja.
Oleh sebab itu sudah sepantasnya jika setiap muslim bersungguh-sungguh dan memberikan perhatian lebih terhadap permasalahan ibadah ini. Di antara bentuk kesungguhan seorang muslim adalah berusaha untuk beribadah dengan sebaik-baiknya sesuai tuntunan syariat Islam sehingga ibadahnya sah dan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Betapa meruginya seseorang yang telah mengorbankan hartanya, waktunya bahkan jiwa raganya untuk bersungguh-sungguh dalam mengerjakan suatu amal ibadah, namun ibadah yang penuh dengan pergorbanan tersebut sia-sia dan tidak ada nilainya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Di sinilah pentingnya bagi setiap muslim untuk mengetahui bahwa ibadah memiliki dua syarat agar ibadah tersebut diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala
Ikhlas adalah menjadikan Allah sebagai satu-satu-Nya tujuan dalam segala bentuk ketaatan atau ibadah. Seseorang bersedekah dengan niatan ikhlas karena Allah, bukan karena ingin dipuji, dikatakan sebagai orang yang dermawan dan niatan-niatan yang lainnya. Seseorang melaksanakan ibadah haji dengan niatan ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala, bukan karena ingin memamerkan kekayaan, untuk mendapatkan gelar haji dan yang lainnya dari tujuan-tujuan duniawi. Allah telah memerintahkan kita untuk ikhlas dalam firman-Nya
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. [Q.S. Al Bayinah : 5]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
”Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amal, kecuali jika dikerjakan dengan ikhlas karena-Nya dan mengharap wajah-Nya.” [H.R. Abu Dawud dan Nasai dengan sanad yang shahih]
Seseorang yang niatan ibadahnya tidak baik seperti misalnya untuk mendapatkan pujian manusia (riya’). Maka justru akan menjadi bumerang dan mencelakakan dirinya. Sebagaimana dalil-dalil yang memberikan ancaman pelaku riya’ di dunia dan akhirat.
Niat baik semata tidak cukup menjadikan amal ibadah seseorang diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala, namun ibadah tersebut harus mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” [H.R. Muslim]
Kisah berikut ini menjadi bukti yang sangat jelas betapa pentingnya meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah dan bahwasanya niat baik semata tidaklah cukup dalam beribadah.
Suatu ketika Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melewati masjid yang di dalamnya ada orang-orang yang sedang duduk membentuk sebuah lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Melihat hal itu, beliau pun tidak tinggal diam. Bahkan beliau mengingkarinya dengan mengatakan, “Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku jamin tidak ada sedikit pun dari amalan kebaikan kalian yang akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad. Begitu cepat kebinasaan kalian. Mereka para shahabat nabi kalian masih banyak (yang hidup). Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian berada di atas agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan?”
Orang-orang itu pun menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Abdullah bin Mas’ud), tidaklah kami menginginkan kecuali kebaikan.” Maka Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”
Dengan terpenuhinya kedua syarat ini maka amal ibadah seseorang akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Namun jika kehilangan salah satu dari kedua syarat tersebut apalagi kedua-duanya, maka tidak akan diterima amal ibadahnya. Allahu a’lam. [Abu Hafy]