Saat hidayah menerangi hati, takkan gentar jiwa menantang aral. Gunung tak masalah untuk didaki, laut pun tak peduli untuk diarungi, lezatnya pangkat pun siap ditanggalkan. Semua ini guna mencecap nikmatnya hidayah yang tak terbeli.
Dalam lipatan buku sejarah dan hadits, tertoreh nama Salman Al-Farisi. Seorang sahabat Nabi dari negeri seberang. Seorang alim yang mengetahui dua kitab suci. Sejarah keislamannya mencerminkan mahal dan manisnya hidayah. Kisah Salman masuk Islam termaktub di dalam Musnad Ahmad secara lengkap dengan sanad yang shahih. Salman menceritakannya secara langsung kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu.
Sebelum Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam diutus membawa cahaya hidayah, pemuda Salman adalah pemuda Persia, anak kesayangan dari seorang tokoh di sana, sampai-sampai ayahnya tidak membiarkannya keluar rumah lantaran sayang terhadap putranya.
Salman awalnya adalah seorang Majusi penyembah api yang taat. Dia senantiasa menjaga api agar tidak padam. Suatu hari, Salman diperintah untuk melihat kebun ayahnya. Dia pun bertolak dari rumah menuju kebunnya. Di tengah perjalanan, Salman mendengar suara orang-orang Nasrani sedang beribadah di dalam gereja. Salman, yang tidak mengetahui dunia luar, pun penasaran terhadap suara tersebut. Dia masuk ke dalam gereja melihat ibadah yang mereka lakukan.
“Demi Allah, ini lebih baik daripada agama yang kami anut.” tukasnya dalam hati.
“Dari mana asal agama ini?” tanya Salman kepada mereka.
Mereka menjawab, “Syam.”
Dia terus di gereja hingga matahari tenggelam dan tidak mendatangi kebun ayahnya. Saat dia pulang, ayahnya mengatakan padanya, “Dari mana kamu, Nak? Bukankah aku telah menyuruhmu untuk melihat kebun?” Salman pun menceritakan perihalnya. Demi melihat anaknya condong kepada agama Nasrani, ayahnya pun merantai kakinya dan tidak memperbolehkannya keluar rumah.
Salman tak patah arang. Dia mengirim utusan untuk menemui orang-orang Nasrani dan berpesan, “Jika ada orang yang datang dari Syam, tolong beritahu saya.”
Datanglah saudagar Nasrani dari Syam. Tatkala mereka ingin pulang ke negari Syam, Salman lepaskan rantai besi di kakinya, lari dari rumah, dan ikut bersama rombongan saudagar tersebut. Sesampainya di Syam, Salman bertanya, “Siapa yang paling utama ilmunya dalam agama ini?”
“Uskup di gereja.” jawab mereka.
Salman pun mendatanginya dan tinggal bersamanya. Ternyata, pendeta ini adalah pendeta yang berakhlak jelek. Dia memotivasi orang-orang untuk mengumpulkan uang, namun ternyata dia gunakan untuk kepentingan pribadi, dan tidak memberikannya kepada orang miskin.
Saat ajal menjemput pendeta ini, dia digantikan oleh seorang yang baik. Seorang figur yang zuhud terhadap dunia, berakhlak mulia, cinta terhadap akhirat, dan rajin beribadah siang dan malam. Salman sangat mencintai gurunya ini.
Tak lama, pendeta ini pun menemui ajalnya. Sebelum pendeta meninggal, Salman bertanya kepadanya siapa orang yang masih berada di atas agama ini. Pendeta itu pun mengatakan, “Anakku, Demi Allah, pada hari ini aku tidak mengetahui ada seseorang yang menganut ajaran sepertiku. Orang-orang telah binasa dan merubah ajaran Nasrani. Mereka telah meninggalkan banyak dari ajarannya. Kecuali, seseorang di daerah Maushil, Fulan, dia menganut ajaran sepertiku. Ikutilah dia.”
Demikianlah, Salman ke Maushil setelah penguburan pendeta dan berguru kepada seorang Nasrani di sana. Lagi, maut pun menjemput gurunya. Sebelum ajal menjemput, dia bertanya kepada gurunya siapa yang masih berada di atas ajaran ini. “Fulan di daerah Nashibin.” katanya. Hal ini berulang kali terjadi pada Salman, berpindah dari satu guru ke guru yang lain dari satu tempat ke tempat yang lain demi mencari hidayah ajaran agama yang benar. Sampai-sampai, Salman pernah berujar, “Saya berganti guru sebanyak belasan kali. Dari satu guru ke guru yang lain.”
Hingga pada akhirnya, dia berguru kepada seorang pendeta di kota yang bernama ‘Ammuriyah. Tak lama, pendeta itu pun meninggal dunia. Sebelum pendeta itu meninggal dunia, Salman bertanya dengan pertanyaan yang sama, siapa orang yang masih dengan setia memeluk agama Nasrani yang murni. Pendeta pun menjawab, “Anakku, Demi Allah, sekarang ini saya tidak tahu ada seseorang yang menganut seperti agama kita ini. Tetapi, sudah dekat zaman Nabi yang diutus membawa agama Nabi Ibrahim. Tempat hijrahnya banyak pohon kurma dan diapit dua tempat yang banyak batu hitam (Madinah). Dia memiliki tanda yang tidak tersembunyi: mau memakan hadiah, tidak mau memakan sedekah, dan antara dua pundaknya ada tanda kenabian. Jika kamu bisa tinggal bersamanya di negeri itu, lakukanlah.”
Selang beberapa lama, datanglah serombongan saudagar dari negeri Arab. Salman pun meminta tumpangan kepada mereka dengan bayaran beberapa sapi dan kambing hasil pekerjaannya. Di tengah perjalanan, tepatnya di Wadi Al-Qura, saudagar tadi menzhalimi Salman. Dia menjual Salman sebagai budak kepada seorang Yahudi.
Tak lama bersama Yahudi itu, Salman pun dijual lagi kepada seorang Bani Quraizhah dari Madinah. Salman dibawa ke Madinah. Saat memasukinya, Salman paham inilah kota yang dimaksud oleh gurunya.
Lalu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun diutus. Saat itu, beliau tinggal di Makkah dan Salman tidak mengetahui perihal beliau dikarenakan kesibukannya sebagai budak.
Pada saat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, seorang sepupu tuannya datang tergopoh-gopoh mengeluhkan sesuatu, “Wahai Fulan, semoga Allah membinasakan Bani Qailah (yakni Anshar), Demi Allah! Hari ini mereka berkumpul di Quba menemui seseorang dari Makkah, dia sangka bahwa dirinya Nabi.” tukasnya kepada sepupunya.
Salman yang waktu itu berada di atas pohon gemetar demi mendengar berita ini hingga hampir menjatuhi tuannya. Dia turun dan bertanya kepada sepupu tuannya, “Apa katamu? Apa katamu?”
Tuannya pun marah dan memukulnya. “Apa urusanmu?! Kembali bekerja!” katanya.
Salman menjawab, “Tidak, saya hanya ingin memastikan saja.”
Malamnya, Salman mengambil perbekalan yang dia kumpulkan. Dia pergi ke Quba menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Salman menemui beliau dan mengatakan, “Saya diberitahu bahwa Anda adalah seorang yang shalih dan sahabat Anda adalah orang yang membutuhkan. Ini milik saya untuk sedekah.” Salman mendekatkan bekalnya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau pun berkata, “Makanlah kalian.” Sedang beliau tidak menyentuhnya sama sekali. “Ini satu tanda.” kata Salman dalam hati.
Salman pun pulang. Saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam hendak berangkat ke Madinah, Salman mendatangi beliau, membawa bekal yang lebih banyak daripada kemarin, dan mengatakan, “Saya melihat Anda tidak memakan sedekah, ini hadiah untuk Anda sebagai bentuk pemuliaan saya terhadap Anda.” Beliau pun makan darinya dan menyuruh sahabatnya untuk makan bersama beliau. “Dua tanda.” kata Salman dalam hati.
Di lain hari, Salman menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di pekuburan Baqi’. Salman pun melihat punggung Nabi Shalallahu alaihi wa sallam untuk memeriksa tanda ketiga yang berupa tanda kenabian di antara pundak beliau. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam paham bahwa Salman ingin melihat tanda kenabian. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun menurunkan pakaian atasnya yang berupa selendang waktu itu. Saat Salman melihat tanda kenabian pada punggung beliau, dia pun memeluk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, menciumnya, dan menangis. Setelah sekian lama merindu hidayah, akhirnya Salman pun bertemu dengan pembawa panji hidayah. Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam. Makhluk yang pantas untuk dibela hingga titik darah penghabisan. Tak heran, Salman pun kemudian menjadi salah satu benteng Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam dalam sekian peperangan.
Demikianlah kisah indah Abu Abdillah Salman Al-Farisi. Seorang sahabat yang mencari jati diri. Kesulitan demi kesulitan dialaminya demi menuntut kebenaran. Kasih sayang dari ayahnya tak cukup untuk menghentikannya dari memburu kebenaran. Begitulah jiwa yang telah Allah kehendaki menerima cahaya hidayah. Semoga Allah meridhai dan merahmatinya.
(Ustadz Abdurrahman)