Satu Pembahasan yang telah kita lewati pada kesempatan lalu adalah tentang klasifikasi dosa. Kita telah ketahui bahwa dosa terbagi menjadi dua, yaitu dosa besar dan kecil. Namun demikian tidak selayaknya seorang muslim bermudah-mudahan dan meremehkan dosa kecil. Oleh karenanya sebagian salaf menasihatkan, “Janganlah engkau melihat kepada kecilnya dosa, namun lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.” Apalagi ternyata ada beberapa faktor yang menyebabkan dosa kecil itu berubah menjadi dosa besar. Maka waspadai dan jauhilah faktor-faktor tersebut dan di antaranya adalah sebagai berikut :
Sebagaimana kata peribahasa, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Sesuatu yang yang dilakukan secara kontinyu meskipun kecil maka akan semakin menumpuk dan bertambah banyak. Demikian halnya seseorang yang senantiasa melakukan dosa kecil secara rutin. Seiring dengan berjalannya waktu dan tanpa terasa pelakunya akan terperosok dalam dosa besar. Dalam hal ini terdapat sebuah hadis yang lemah namun secara makna dibenarkan oleh para ulama. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus dan tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istighfar.” Ibarat tetesan-tetesan air yang menimpa sebuah batu secara terus menerus. Meskipun kecil namun jika terjadi secara beruntun dan terus menerus, tentu akan memberikan bekas pada permukaan batu tersebut. Akan lain hasilnya seandainya tetesan-tetesan tersebut dikumpulkan kemudian sekali diguyurkan pada permukaan batu. Tentu yang demikian ini tidak akan memberikan pengaruh dan bekas pada permukaan batu tersebut. Oleh karenanya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling rutin dilakukan meskipun hanya sedikit.
Setiap kali seseorang menganggap besar suatu dosa, dosa itu pun akan kecil di sisi Allah ta’ala. Namun tatkala dia menyepelekan dan menganggapnya remeh, maka menjadi besar dosanya di sisi Allah. Sikap tidak menyepelekan dan menganggap besar suatu dosa, itu muncul dari kebenciannya kalbunya terhadap dosa. Lihatlah bagaimana petuah para ulama dalam menyikapi dosa dan kemaksiatan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin akan memandang dosanya seolah-olah ia berada di bawah sebuah gunung dan ia takut gunung tersebut akan menimpanya. Adapun orang fajir akan memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya. Lalu ia kibaskan dengan tangannya untuk mengusir lalat tersebut.” Adapun seorang mukmin akan memandang besar dosa tersebut karena ia mengetahui kemulyaan dan kebesaran Allah ta’ala. Apabila ia merenungi dan memikirkan kebesaran Allah ta’ala, ia akan menilai dosa kecil tersebut sebagai sesuatu yang besar di sisi-Nya. Dalam riwayat Al-Bukhari, Anas bin Malik mengatakan, “Sungguh kalian melakukan berbagai amalan yang di mata kalian lebih lembut dari sehelai rambut padahal kami menganggapnya di zaman Rasul shallallahu alaihi wa sallam termasuk perkara yang membinasakan.” Apa yang beliau sampaikan ini menunjukkan bahwa secara realita memang ada perbadaan persepsi dalam menilai besar kecilnya dosa. Para shahabat menganggap besar dosa yang diremehkan oleh generasi yang datang setelah mereka.
Seperti misalnya seseorang dengan bangga menyatakan, “Tidakkah engkau lihat bagaimana aku merobek-robek kehormatan Fulan.” Atau menyatakan, “Aku dengan mantap menyebutkan keburukan-keburukan Fulan, hingga aku pun mempermalukannya di depan umum.” Atau seorang pedagang menyatakan, “Coba lihat bagaimana aku melariskan barang palsu itu.” Sungguh ini bertolak belakang dengan kewajiban setiap muslim untuk menyesali dosa-dosa yang pernah diperbuat. Karena di antara syarat diterimanya taubat adalah menyesali perbuatan dosa yang dilakukan.
Dia melakukan kemaksiatan di depan umum dan terlihat oleh banyak orang. Perbuatan demikian ini menunjukkan pelakunya tidak punya rasa takut kepada Allah ta’ala. Dia pun sudah tidak punya rasa malu kepada sesama muslim. Mengenai hal ini Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Setiap umatku akan diampuni kecuali pelaku jahr (terang-terangan melakukan perbuatan dosa). Di antara bentuk jahr adalah seseorang di malam hari melakukan kemaksiatan. Lalu di pagi harinya dia menceritakan perbuatannya padahal Allah telah menutupinya. Dia mengatakan, “Wahai Fulan semalam aku telah berbuat demikian dan demikian.” Padahal Allah telah menutupi perbuatannya semalam namun di pagi hari dia menyingkap aibnya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah]. Inilah salah satu bentuk mujaharah yang pelakunya tidak akan diampuni oleh Allah ta’ala. Demikian beliau jelaskan dalam hadis ini karena begitu banyak orang yang tidak mengetahuinya. Andaikan pelakunya bertaubat lalu merahasiakan perbuatan dosanya itu antara dia dengan Allah ta’ala tentu hal ini lebih utama. Adapun seseorang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan di depan umum, maka jelas lebih bisa dikategorikan sebagai mujaharah. Nabi shallallahu alahi wa sallam tidak menyebutkan hal ini dalam hadis di atas karena hukumnya sangat jelas. Perbuatan demikian ini sangat membahayakan dirinya dan bahkan juga orang lain yang melihatnya. Membahayakan pelakunya sendiri karena ia telah melakukan dosa yang akan membinasakan dunia dan akhiratnya. Perbuatan semacam ini juga membahayakan orang-orang yang melihatnya. Setidaknya perbuatan seperti itu akan membuat orang-orang merasa ringan melakukannya. Atau bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang diperbolehkan.
Fenomena demikian ini mulai bermunculan di tengah-tengah komunitas kaum muslimin. Terutama marak dilakukan para kawula yang terpengaruh dengan budaya barat. Tanpa rasa malu dan takut muda-mudi tersebut melakukan kemaksiatan di hadapan umum. Sungguh kondisi demikian ini sangat memperihatinkan kita semua. Kita sangat khawatir jikalau kaum muslimin secara umum tertimpa hukuman karena keberadaan orang-orang semacam itu. Allah ta’ala berfirman, “Dan peliharalah diri kalian diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah teramat keras siksaan-Nya.”[Q.S. Al-Anfal : 25]. Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya jika suatu kaum melihat kemunkaran lalu tidak berusaha mengingkarinya, maka Allah akan menyeluruhkan siksaan-Nya.” [H.R. An-Nasai dengan sanad yang shahih]
Apabila ia melakukan suatu perbuatan dosa kemudian orang-orang mengetahui dan mengikutinya, maka dosanya akan semakin besar. Semakin banyak yang mencontoh dan mengamalkannya, semakin besar pula dosanya. Bahkan ketika ulama tersebut telah meninggal sekalipun, maka dia akan menanggung dosa orang-orang yang mengamalkannya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mempelopori suatu amal keburukan dalam islam, maka dia akan mendapatkan dosa keburukan itu dan dosa setiap orang yang melakukan setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” [H.R. Muslim]. Maka sudah semestinya orang yang berilmu memberikan contoh dan suri tauladan yang baik kepada kaum muslimin. Sehingga ia berkesempatan untuk mendapatkan pahala yang melimpah dan berlipat ganda jika diamalkan oleh mereka. Allahu A’lam