“Tidaklah mendatangi kalian suatu masa kecuali masa yang setelahnya lebih jelek dari masa tersebut.” [H.R. Al-Bukhari, dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu]. Merupakan sunnatullah bahwasanya setiap datang suatu zaman, pasti zaman tersebut lebih jelek dari sebelumnya.
Mari bercermin pada zaman pertama, zaman Nabi Adam ‘alaihi sallam. Pada zaman itu seluruh manusia menyembah Allah, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Lalu, saat sepuluh generasi berlalu, muncullah umat Nabi Nuh yang mempersekutukan Allah dengan menyembah orang shalih. Saat turun azab Allah kepada penduduk bumi hingga hanya tersisa Nabi Nuh beserta orang-orang yang bertauhid, bumi pun menjadi tenang. Kemudian muncullah kembali penyembah selain Allah yang lebih buruk daripada generasi yang terdahulu. Demikianlah seterusnya, hingga Allah pun mengutus kepada kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi terakhir, Nabi kepada sekalian alam . Beliau membawa cahaya penerang kepada masyarakat yang telah rusak moralitas dan agamanya dalam segala aspek. Beliau membawa cahaya yang telah disempurnakan oleh Dzat Yang berada di atas langit ketujuh.
Namun, layaknya kaum-kaum Nabi yang terdahulu, kaum beliau pun akan mengalami degradasi dan kemunduran beragama. Mereka semakin jauh dari koridor yang telah digariskan oleh Rasul mereka. Setiap bertambah zaman, semakin jauh dari syariat. Hingga berakhir pada rusaknya moral dan keagamaan seluruh bangsa mendekati hari kiamat kelak.
Pantaslah jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Islam dimulai dalam keterasingan dan akan kembali terasing, maka beruntunglah orang yang terasing (karena berpegang teguh dengan sunah Nabi).” [H.R. Muslim dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu].
Jadi, umat terbaik di Islam ini adalah umat yang pertamanya. Mereka adalah para shahabat, lalu murid mereka, para tabi’in, kemudian disusul murid tabi’in, para tabi’ut tabi’in. Mereka adalah orang-orang yang telah disebutkan keutamaannya dalam lisan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Manusia yang terbaik adalah generasiku, lalu yang setelahnya, lalu yang setelahnya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah, dan Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhum].
Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Para Penghulu Umat
Para shahabat adalah para mahasiswa yang menimba ilmu dalam madrasah kerasulan. Mereka tentu mendapat bagian yang besar dari ilmu syariat. Mereka mengambil langsung dari mata air yang jernih, bebas dari pikiran-pikiran tercemar yang datang setelah mereka. Mereka pun merasakan segarnya mata air wahyu yang paling utama, paling banyak, dan berkualitas.
Para shahabat adalah orang-orang yang paling mengerti tentang agama ini dibanding dengan yang setelah mereka. Mereka melihat bagaimana, kapan, dan di mana wahyu diturunkan. Mereka langsung bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala merasakan kesulitan dalam memahami wahyu. Tak hanya itu, mereka pun ditegur ketika salah memahami teks wahyu. Contoh konkretnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, saat turun firman Allah (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman, bagi mereka rasa aman dan mereka orang yang diberi petunjuk.” [Q.S. Al-An’am:82]. Para shahabat memahaminya bahwa setiap keumuman orang yang menzalimi -termasuk yang menzalimi dirinya sendiri maupun menzalimi orang lain- tidak akan mendapatkan keutamaan ini. Mereka pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak menzalimi dirinya sendiri?” Rasulullah menegur mereka yang maknanya, “Maksudnya bukan seperti yang kalian sangka. Tidakkah kalian perhatikan ucapan Luqman (yang artinya), ‘Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang besar.’ [Q.S. Luqman:13]?” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Demikianlah, mereka senantiasa berada di dalam bimbingan yang benar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu, shahabat adalah para penjaga umat ini. Rasulullah ` pun telah menegaskan hal itu dalam sabda beliau:
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لأَصْحَابِى فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِى مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِى أَمَنَةٌ لأُمَّتِى فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِى أَتَى أُمَّتِى مَا يُوعَدُونَ
“Bintang-bintang adalah penjaga langit, jika bintang telah lenyap, niscaya datang apa yang dijanjikan kepadanya (yakni terpecahnya langit di hari kiamat). Aku adalah penjaga para shahabat, jika aku telah meninggal, niscaya akan datang apa yang telah dijanjikan kepada mereka (berupa gejolak peperangan, kemurtadan, dan lainnya), dan para shahabatku adalah penjaga umatku, jika telah wafat para shahabatku, niscaya datang apa yang telah dijanjikan kepada umatku (berupa pemikiran yang menyimpang dan akidah-akidah yang menyeleweng).” [H.R. Muslim].
Mereka adalah orang-orang pilihan. Allah memilih mereka dari semua makhluk untuk menemani Nabi-Nya. Mereka berperang di atas agama-Nya, menyampaikan ilmu yang mereka dapat dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, membelanya, dan menjaga kemurniannya. Salah seorang ulama shahabat, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya Allah melihat qalbu-qalbu hamba, maka Dia pun melihat qalbu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai qalbu terbaik hamba, maka Dia pun memilihnya untuk diri-Nya lalu mengutusnya membawa risalah-Nya. Lalu Dia melihat hamba-hamba setelah qalbu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Dia dapati qalbu-qalbu shahabatnya sebagai qalbu terbaik hamba-hamba, Dia pun menjadikannya pendukung Nabi-Nya. Mereka pun berperang atas nama agama-Nya. Maka, apa yang mereka anggap baik (secara sepakat, red.), hal itu pun baik di sisi Allah dan apa yang mereka anggap jelek, hal itu pun jelek di sisi Allah.” [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad].
Dari apa yang telah kami paparkan, jelaslah bahwa mengikuti pemahaman mereka adalah jalan keselamatan. Jalan mereka adalah jalan terbaik dari segala sisi. Cukuplah bagi kita wasiat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berikut ini, “Barangsiapa ingin mengikuti, hendaknya dia mengikuti yang telah mati karena yang masih hidup tidak aman untuk terjatuh ke dalam godaan (kesesatan, red.). Mereka (yang pantas diikuti itu, red.) adalah para shahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah yang terbaik dari umat ini. Mereka yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit memberta-beratkan diri dari umat ini. Mereka adalah kaum yang telah Allah pilih untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan agama-Nya. Maka tirulah akhlak dan jalan mereka. Mereka, para shahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berada di atas petunjuk yang lurus.” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu,, diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu].
Lantas, bagaimana cara mengikuti mereka? Tentu kita tidak bisa langsung berguru kepada mereka karena mereka semua telah meninggal. Namun, pendapat, wasiat, fatwa, serta ucapan mereka telah termaktub dalam buku-buku, telah tergores dalam karya-karya monumental, dan telah dijelaskan oleh para ulama. Tinggal kita mengikuti jalan mereka dari para ulama yang mengikuti mereka.
Semoga Allah memudahkan kita untuk mengikuti Al-Quran dan sunnah dengan pemahaman para shahabat. Amin. Allahu a’lam bish shawab. (Ustadz Abdurrahman)