Sungguh, ada banyak faedah bila jiwa berhias dengan qana’ah. faedah-faedah itu akan melahirkan ketenteraman batin, rasa aman, serta kejernihan hidup di dunia sebelum akhirat. Di antara faedah itu adalah:
Orang yang qana’ah akan ridha terhadap semua yang diputuskan dan apa yang dibagikan untuk seluruh manusia. Walaupun saat ini ia tidak diberi seperti yang diberikan-Nya bagi si fulan, bahkan untuk makan hari ini belum tentu tersedia, tapi ia tetap yakin bahwa apa yang telah Allah ‘azza wajalla putuskan pasti mengandung hikmah besar dan itulah yang terbaik untuknya. Ia tetap percaya, apa yang di tangan Allah ‘azza wajalla lebih baik dari pada pemberian yang diharap dari tangan manusia.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya keadaan yang paling saya tunggu-tunggu adalah saat di mana keluargaku memberitahu habisnya tepung terigu!”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Hari-hari yang paling membahagiakan adalah di saat aku tidak punya apa-apa.”
Kenapa masa-masa pailit justru membuat para imam dunia ini berbunga dibuatnya? Mungkin jawabannya, sebab mereka punya qana’ah. Itulah yang menumbuhkan keyakinan kuat bahwa pertolongan Allah subhanahu wata’ala dan kelapangan pasti akan segera datang. Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya, “Maka sesungguhnya bersama kesulitan, tentu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan (tadi) ada kemudahan (yang lain).” [Q.S. Asy Syarh:5-6]
Bila seorang tidak memiliki qana’ah, iman, dan keyakinannya menjadi lemah, ia lebih berharap kepada manusia daripada belas kasih Allah azza wajalla. Padahal manusia dicipta dengan tabiat dasar bakhil, sangat bodoh, dan suka berbuat aniaya.
Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pertanda lemahnya imanmu ialah jikalau engkau lebih merasa yakin dengan kelihaian tanganmu ketimbang apa yang ada di tangan Allah.”
Renungkanlah wahai jiwa, jika lebih percaya diri sendiri daripada yakin dengan Kemahamampuan Allah menjadi pertanda lemahnya iman, lantas apa pendapatmu bila seseorang lebih berharap akan bantuan orang lain daripada pertolongan Allah. Itu menunjukkan bahwa persangkaan baiknya kepada Allah amat lemah.
Sebaliknya, apabila ia punya jiwa qana’ah maka keyakinan akan pertolongan Allah subhanahu wata’ala semakin menguat. Dan ingatlah, Allah akan menyertai persangkaan hamba-Nya kepada-Nya. Jika ia berbaik sangka kepada Allah maka Allah akan mewujudkan harapan baiknya.
Taraf hidup seorang diukur dari sejauh mana ia merasakan kebahagiaan. Semakin bahagia, maka taraf hidupnya berarti meningkat pula. Qana’ah adalah sebab seorang mendapat kelapangan dan kebahagiaan. Oleh sebab itu bisa kita katakan bahwa orang yang paling qana’ah – sekalipun miskin dari sisi ekonomi – dialah yang paling makmur dan tinggi taraf hidupnya
Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya, “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [Q.S. An-Nahl:97]
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dan putra beliau Al Hasan serta Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum menafsirkan ‘hidup yang baik’ dengan qana’ah. Sedangkan Al Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
“Barang siapa qana’ah maka hidupnya akan makmur, barang siapa yang rakus maka kacau balau sepanjang umur.”
Seorang apabila merasa cukup puas dan ridha dengan rezeki yang Allah berikan, ia akan bersyukur atas rezeki tersebut. Namun bila rezeki yang dia terima dianggap sedikit, maka ia tidak akan bersungguh-sungguh dalam mengungkap rasa syukur. Malah yang dikhawatirkan- nau’dzu billah ia jengkel karena yang didapat tak seberapa.
Wahai jiwa yang zalim, apakah kau tidak sadar bahwa jika dirimu jengkel dengan sedikitnya perolehan rezeki, sesungguhnya dirimu sedang mengarahkan kejengkelanmu kepada Sang Pemberi rezeki? Sadarkah bahwa saat engkau mengeluhkan kesempitan kepada makhluk maka pada hakikatnya engkau telah mengadukan Allah Yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya. Wal ‘iyadzu billah.
Konon, ada seorang datang kepada suatu kabilah mengeluhkan penderitaannya, maka sebagian orang dari kabilah itu berkata, “Kenapa kamu mengadukan Allah Yang mengasihimu kepada orang yang tidak berbelas kasih kepadamu?”
Dari Fadhalah bin ‘Ubaid radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Berbahagialah orang yang ditunjukkan kepada Islam dan kehidupannya tak kurang tak lebih lalu ia mempunyai jiwa qana’ah.”
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sungguh amat beruntung seorang yang telah masuk Islam dan diberi rezeki yang cukup lalu Allah menjadikan jiwanya qana’ah terhadap apapun yang Dia berikan untuknya.” [H.R. Muslim]
Sesungguhnya kekayakan hakiki akan diperoleh dengan qana’ah. Oleh sebab itu Allah menganugerahkan qana’ah kepada Nabi dan dan mengungkit anugerah ini dalam firman-Nya yang artinya, “Dan Dia mendapati dirimu miskin lalu menjadikanmu kaya.” [Q.S. Adh-Dhuha:8]
Para ulama memaknai ‘kekayaan’ dalam ayat ini sebagai kekayaan batin. Alasannya, ayat ini turun di Makkah, di mana ketika itu belum ada ghanimah sehingga harta masih sangat minim. Namun para ulama lain mengatakan bahwa ‘kekayaan’ dalam ayat ini adalah kekayaan lahir dan batin sekaligus. Sebab meski syariat jihad belum tegak, namun Nabi menjadi kaya dengan sebab harta Khadijah.
Yang jelas, kekayaan hakiki terletak pada kalbu. Sebagaimana keterangan Nabi dalam hadisnya:
“Wahai sahabatku Abu Dzar, Apakah menurutmu harta yang banyak itulah yang disebut kaya?” Berkata Abu Dzar, “Ya begitulah wahai Rasulullah.” “Dan apakah menurutmu, uang yang sedikit itulah miskin?” Berkata Abu Dzar, “Ya demikianlah wahai Rasulullah.” “Sesungguhnya kekayaan sejati adalah kekayaan batin dan kemiskinan yang sesungguhnya adalah jika hati masih terus merasa kurang dan kurang.”
Berkata Al Hasan rahimahullah, “Kamu akan tetap dimuliakan di sisi manusia selama kamu tidak menginginkan apa yang ada di tangan mereka. Jika kamu melakukan demikian maka harga dirimu anjlok, kamu pasti disepelekan, mereka pun tidak betah duduk bercakap denganmu.’
Adalah Muhammad bin Wasi’ rahimahullah sering mencelupkan roti keringnya ke dalam air minum lalu dia santap. Kemudian berkata, “Barang siapa yang qana’ah dan merasa cukup dengan makanan seperti ini, maka ia tidak punya kepentingan sedikit pun kepada manusia.”
Suatu hari, Nabi n bertanya kepada para sahabatnya, “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut?” Mereka berkata, ‘Orang bangkrut di kalangan kami adalah yang tidak punya dirham dan tidak pula barang apa pun.’ Nabi n tidak membantah sahabatnya sebab jawaban mereka tidak salah. Hanya saja, beliau mengarahkan pemahaman para sahabat bahwa kebangkrutan yang sebenarnya tidak seperti yang mereka sebut. Kebangkrutan sejati bukan kehilangan harta benda duniawi namun musnahnya simpanan amal saleh di akhirat nanti.
Amal saleh adalah konsekuensi keimanan. Tiap jiwa yang beriman tentu akan berusaha menjalani perintah-perintah Allah, wajib dan sunnahnya. Dan amal itu akan diterima di sisi-Nya jika dilakukan dengan ikhlas. Namun, tentu tidak ada yang bisa menjamin bahwa amal masing-masing diri ini diterima semua. Masing-masing hanya bisa berharap, semoga amal itu ikhlas, semoga tidak ternodai kesyirikan sedikit pun.
Kalau diri ini tidak tahu nasib amal kebaikannya, diterima atau tidak, maka janganlah diperparah keadaan diri dengan banyak melakukan tindak kejahatan. Terlebih dosa-dosa yang bisa menghapus kebaikan. Hasad, ghibah, berdusta, mengadu sesama, adalah beberapa contoh dosa yang sangat berbahaya. Dosa-dosa ini seringnya dilakukan karena keinginan mengejar dunia dan takut kehilangannya.
Lain halnya jika engkau memiliki jiwa qana’ah. Engkau tidak akan tertarik untuk melakukan dosa-dosa itu. Hatimu tidak akan dirasuki oleh rasa hasad terhadap saudaramu. Tidak merasa iri ketika Allah memberi kepada mereka sementara Dia menahan rezeki itu darimu.
Berkata Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Al Yaqin dibuktikan dengan sikapmu yang tidak berusaha mengambil hati manusia namun dengan cara-cara yang dimurkai Allah. Tidak merasa iri terhadap siapa pun atas jatah rezeki untuk mereka. Tidak menyalahkan siapa pun ketika engkau belum memperolehnya. Sesungguhnya rezeki itu telah Allah tentukan kadarnya. Rezeki tak selalu diperoleh hanya semata ambisi, dan tidak selamanya tercegah hanya alasan membenci. Sesungguhnya Allah Ta’ala dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya telah menjadikan rasa lapang dan bahagia sebagai buah dari ridha dan yakin. Sedangkan resah dan gelisah merupakan akibat jelek dari lemahnya keyakinan dan kejengkelan pada takdir.”