ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang tiga perkara itu ada padanya, maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; tidaklah ia mencintai seseorang kecuali karena Allah; seorang yang tidak mau kembali kedalam kekufuran, sebagaimana ia benci untuk dilemparkan kedalam api neraka”.
[H.R. Al-Bukhari dan Muslim]
Keimanan adalah penentu yang membedakan derajat dan tingkatan keislaman seseorang. Secara umum kaum muslimin memiliki pokok keimanan yang mengesahkan keislamannya, yaitu yang disebutkan di dalam hadits,
”Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.” [H.R. Muslim]
Adapun keimanan yang bersifat terperinci, tidak dimiliki kebanyakan manusia. Karena, untuk mencapai taraf keimanan yang seperti ini membutuhkan kesungguh-sungguhan dalam mempelajari Islam secara terperinci dan dia akan mendapati kesusahan dan berbagai cobaan di dalamnya. Iman yang terperinci mencakup keimanan terhadap seluruh yang datang dari Rasulullah ﷺ dengan pengetahuan, pengakuan, serta kecintaan, sekaligus mengetahui, membenci dan menjauhi lawan dari iman tersebut.
Kewajiban orang yang beriman adalah mewujudkan konsekuensi keimanan tersebut, dengan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan seluruh larangan Allah dan rasul-Nya. Secara tabiat manusia hal ini akan bertentangan dengan keinginan diri dan kesenangannya, tentu ia akan merasa susah dan berat untuk melaksanakan apa yang tidak disukai oleh jiwanya. Kecuali, ada faktor pendorong dalam melaksanakan semua beban tersebut.
Sebenarnya iman memiliki rasa manis, sehingga tatkala seseorang mendapatkannya ia akan senang dan cinta kepada iman tersebut. Tengoklah banyak kisah dari para Rasul dan Nabi serta para pengikut mereka, bagaimana mereka dengan gigih dan kokoh mempertahankan agama, memperjuangkannya dan tidak gentar terhadap lawan-lawan mereka yang begitu ganas dan keras perlawanannya. Tentulah mereka melaksanakannya tidak dengan rasa benci atau terpaksa tetapi karena keimanan dan rasa manisnya iman tersebut. Mereka menikmati segala kesusahan dalam perjuangan demi cinta mereka kepada Allah.
Dari hadits di atas kita bisa mengetahui bahwa untuk mendapatkan manisnya iman, seorang dapat melakukan tiga perkara:
1. Allah serta Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Keduanya lebih ia cintai daripada dirinya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits riwayat dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata,
“Wahai Rasulullah sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku.” Maka Rasulullah bersabda, ”Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, (tidak benar) sampai aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri”. Umar berkata, “Sekarang wahai Rasulullah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Rasulullah bersabda, “Sekarang (baru benar) wahai Umar.” [H.R. Al-Bukhari].
2. Mencintai seseorang karena Allah. Seorang yang mencintai Allah tentu akan mencintai apa yang Allah cintai. Ketika Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang shalih maka kita pun harus mencintai mereka. Meskipun kita tidak bisa memastikan seseorang shalih di sisi Allah atau tidak, Allah yang lebih tahu tentang hal tersebut, namun kita bisa menilainya dari lahiriahnya yaitu pengamalan syariat yang dilakukannya. Tatkala ia senang mengamalkan amalan shalih dan meninggalkan keharaman maka ketika itulah kita mencintainya.
3. Benci kembali kepada kekafiran. Kekafiran adalah lawan dari keimanan. Seseorang akan mendapatkan manisnya keimanan tatkala terkumpul padanya kecintaan terhadap perkara-perkara keimanan dan kebencian atas perkara-perkara yang menggugurkannya. Allahu a’lam. (Ustadz Hammam).
(Referensi: Al-Fawa`id, karya Ibnul Qayyim Rahimahullah)