Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, ”Cukuplah sebagai kemuliaan ilmu, orang yang bodoh pun mengaku-aku memilikinya. Ia juga senang disebut sebagai orang yang berilmu. Cukup pula sebagai celaan terhadap kebodohan, orang yang bodoh sekalipun menghindar dan berlepas diri darinya, ia juga akan marah apabila dikatakan sebagai orang yang bodoh.” [Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’].
Demikianlah adanya, ilmu memiliki kedudukan yang tinggi bahkan mutlak dibutuhkan dalam kehidupan. Dari sinilah, banyak orang yang rela mengorbankan harta, waktu, dan tenaga untuk mendapatkannya.
Menuntut ilmu syar’i adalah ibadah yang paling mulia. Bagaimana tidak, ilmu adalah syarat keabsahan niat dan seluruh amalan baik lahir dan bathin. Yang menegaskan hal ini pula, Allah banyak menyebutkan keutamaan ilmu dalam Al Quran, demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah heran Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri Rahimahullah mengatakan, ”Tidak ada amalan yang lebih afdhal dari pada menuntut ilmu apabila benar niatannya.”. [Riwayat Abu Umar ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi]. Imam Ahmad Rahimahullah juga pernah mengatakan,” mempelajari ilmu dan mengajarkannya adalah amalan yang lebih afdhal daripada jihad dan ibadah-ibadah yang bersifat sunah lainnya.” [Hasyiyah Tsalatsatul Ushaul]. Wejangan yang semakna banyak sekali disampaikan oleh para ulama, seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Bukti keutamaan ilmu adalah Allah menggandengkan kesaksian-Nya, para malaikat, dan orang-orang yang memiliki ilmu. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah mempersaksikan bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi melainkan Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Q.S. Ali Imran:18].
Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan keutaman ilmu dan kemuliaan ulama. Karena seandainya ada orang yang lebih mulia dari pada ulama, tentu Allah akan menggandengkan penyebutannya dengan nama-Nya dan para malaikat sebagaimana ulama [Al Jami’ li Ahkamil Quran].
Mungkin sebagian kita ada yang bertanya, bagaimana dengan para Nabi, Rasul, para shiddiqin (orang-orang yang jujur keimanannya), dan orang-orang shalih, kenapa mereka tidak disebutkan dalam ayat ini? jawabannya, mereka semua termasuk para ulama. Para Nabi dan Rasul adalah manusia yang paling berilmu terhadap Allah dan agama-Nya secara mutlak. Para shiddiqin, mereka tidak akan mampu mewujudkan kejujuran iman yang menancap kokoh dalam dada mereka kecuali setelah mengilmuinya. Demikian pula orang shalih. keshalihan itu ada setelah berilmu.
Kemuliaan ilmu yang lain adalah Allah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu, dalam salah satu ayat-Nya yang mulia:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” [Q.S. Al Mujadalah:11].
Imam Asy Syaukani Rahimahullah dalam Fathul Qadir menjelaskan bahwa makna ayat tersebut adalah Allah mengangkat derajat orang yang beriman, sebagaimana Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Namun keutamaan orang yang berilmu lebih tinggi dan mulia daripada orang yang beriman. Dan tatkala dua perkara ini bergabung dalam diri seseorang maka tercapailah derajat yang paling mulia.
Nabi adalah manusia yang paling berilmu, pun demikian, Allah tetap perintahkan beliau ` untuk senantiasa memohon tambahan ilmu kepada-Nya. Bukan perkara dunia. Allah berfirman:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah (wahai Nabi),’wahai Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu.’” [Q.S. Thaha:114].
Imam Ibnu Hajar Rahimhullah dalam Fathul Bari, menjelaskan bahwa ayat ini sangat jelas menunjukkan keutamaan ilmu. Karena Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta tambahan dari sesuatu kecuali ilmu. Ayat tentang keutamaan ilmu yang lain sangat banyak.
Adapun keutamaan ilmu yang disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya adalah hadits Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang keluar untuk menuntut ilmu kecuali para malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka untuknya. Ia akan dimudahkan jalan ke surga. Sesungguhnya makhluk yang ada di langit dan bumi sampai ikan di lautan memintakan ampun untuk seorang yang berilmu. Keutamaan seorang yang berilmu atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas bintang-bintang yang lain. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sedangkan para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham (harta dunia), tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambil warisan tersebut sungguh telah mengambil bagian yang banyak.” [H.R. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadhlihi dan dishahihkan oleh Abul Asybal dalam Shahih Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadhlihi].
Dalam hadits yang mulia ini kita mengetahui sebagian keutamaan ilmu yang sangat banyak. Makhluk mulia yang tidak pernah bermaksiat dan selalu taat kepada Allah pun kagum terhadap penuntut ilmu. Sehingga mereka meletakkan sayapnya karena ridha, sebagaimana dijelaskan dalam sebagian riwayat hadits.
Dimudahkannya jalan ke surga bagi penuntut ilmu, hal ini di samping merupakan keutamaan ilmu adalah anugerah yang sangat besar. Bagaimana tidak, kehidupan dunia yang sangat bising dan semrawut dengan syahwat dan syubhat atau kerancuan berpikir adalah godaan yang tidak mudah ditundukkan. Hanya orang yang Allah rahmati saja yang bisa selamat dari jeratannya. Oleh sebab itulah ketika Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang amalan yang bisa memasukan ke dalam surga, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Sungguh engkau telah bertanya tentang perkara yang besar.” [H.R. Ahmad, At Tirmidzi dan An Nasai, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib]. Ya, inilah kebaikan yang besar. Sangat besar bahkan. Taufik yang hanya Allah khususkan untuk hamba-hamba terpilih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Siapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, maka Allah akan karuniakan kepadanya pemahaman dalam agama.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu].
Keutamaan ilmu yang lain dari hadits Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu, bahwa makhluk-makhluk di bumi dan di langit akan memohonkan ampun untuk orang yang berilmu, sehingga rahmat dan kedamaian akan senantiasa menyertainya. Selalu didoakan oleh makhluk yang tidak pernah berdosa. Apalagi secara khusus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut majelis ilmu sebagai majelis penuh rahmat. Sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tidaklah sekelompok orang berkumpul dalam salah satu rumah Allah, mereka membaca Al Quran dan mengkajinya kecuali akan turun ketenangan atas mereka, diliputi oleh rahmat, dikelilingi para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi-Nya.” [H.R. Muslim dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan ulama sebagai bulan purnama yang bersinar terang, memberikan cahayanya ke segala penjuru di kegelapan malam demikianlah, seorang yang berilmu senantiasa memberikan manfaat kepada sesama bahkan kepada alam sekitar. Ia menjadi orang yang penuh barakah, ini pun keutamaan yang besar. Kemudian pada penggalan hadits terakhir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa para ulama adalah pewaris para Nabi. Mereka mewarisi ilmu kemudian menggantikan peran nabi dalam berdakwah. Inilah sebaik-baik jalan. Allah Ta’alaberfirman,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” [Q.S. Fushshiat:33].
Keutamaan ilmu sangat banyak. Bahkan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab beliau Miftah Darisa’adah menyebutkan lebih dari 150 keutamaan ilmu.
Memang, keutamaan ilmu sangat banyak. Bahkan bukan hanya untuk manusia. Hewan pun akan dihargai karena ilmu. Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Mereka menanyakan kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah, ‘Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajari ilmu dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya’” [Q.S. Al Maidah:4].
Al Qurthubi dalam tafsir beliau menyebutkan penjelasan dari Adh Dhahak dan As Sudi bahwa maksud dari ‘binatang buas yang telah kamu ajari ilmu’ adalah anjing. Demikian pula pendapat ahli tafsir shahabat Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Anjing yang air liurnya secara asal adalah najis, bahkan diperintahkan untuk mencuci bejana tujuh kali apabila terjilat, ketika sudah ada pengajaran ilmu berburu, maka anjing tersebut boleh dipelihara untuk tujuan berburu dan bekas gigitan pada buruannya tersebut tidak najis dan halal untuk dimakan. Hanya ilmu yang membedakan antara dua anjing ini.
Demikian sedikit uraian tentang keutamaan ilmu syar’i, semoga bisa menggugah semangat kita untuk tetap terus belajar dan belajar. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita semua. Amiin. Allahu a’lam. [Ustadz Farhan].