Ada seorang nabi yang sangat mulia. Ia merupakan salah satu dari kekasih-kekasih Allah. Di mana Nabi Muhammad dan segenap kaum muslimin diperintahkan Allah untuk mengikuti dan menelusuri millah atau ajarannya. Allah rekomendasikan nabi ini dengan berbagai pujian yang baik. Beliau dikatakan sebagai panutan, ahli ibadah, yang lurus akidah dan keyakinannya, yang selalu bersyukur, dan yang Allah pilih untuk selalu berada diatas shiratul mustaqim. Beliaulah Khalilullah Ibrahim ‘alaihis salam.
Allah berfirman ketika memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengikuti ajaran beliau yang artinya, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu ‘ikutilah millah (ajaran) Nabi Ibrahim. Dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” [Q.S. An Nahl:123]
“Maka ikutilah oleh kalian millah atau ajarannya Nabi Ibrahim. Dan Ibrahim bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” [Q.S. Ali Imran:95]
Dalam dua ayat ini dengan tegas Allah memerintahkan Nabi kita untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim. Maka ini menunjukkan kedudukan yang tinggi serta kemuliaan yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim q.
Suri Teladan dalam Menghormati Tamu
Ibrahim memang sosok panutan utama yang semestinya dicontoh dan ditiru oleh kaum muslimin di dalam segala halnya, termasuk dalam menjamu tamu. Ya, kita akan mengambil pelajaran dari beliau bagaimanakah cara beliau menjamu para tamu.
Suatu ketika, Ibrahim kedatangan tamu misterius yang tidak beliau kenali. Tamu tak dikenal ini datang menemui Nabi Ibrahim di rumahnya. Allah menceritakan kisah ini dalam firman-Nya yang artinya, “Apakah telah sampai kepadamu berita mengenai tamu Ibrahim? Ketika mereka masuk menemui Ibrahim seraya mengatakan ‘Salamaan (semoga keselamatan tercurah untukmu)’ Ibrahim menjawab,’ keselamatanlah yang tercurah untuk kalian wahai kaum yang asing’. Maka dengan senyap Ibrahim menemui istrinya dan segera kembali sambil membawa daging sapi kecil panggang. Maka Ibrahim pun mendekatkan daging itu kepada tamunya seraya menyatakan, ‘Tidakkah kalian mencicipi jamuan kami?!’ Maka terbetiklah rasa takut pada diri Ibrahim (Yakni, karena mereka tidak memakan jamuan Ibrahim).Mereka mengatakan, ‘Janganlah engkau takut,’ Lalu mereka pun memberikan kabar gembira untuk Ibrahim berupa kelahiran seorang yang alim. Maka istrinya pun datang seraya menepuk pipinya seakan tak percaya seraya menyatakan, ‘(Mungkinkah aku memiliki anak padahal aku) tua dan (aku pun seorang yang) mandul.’ Mereka menjawab, ‘Demikianlah yang difirmankan Rabbmu. Sungguh, Ia adalah Dzat yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.’” [Q.S. Adz Dzariyat: 24-30]
Inilah kisah Ibrahim bersama tamu asingnya. Dan di dalam kisah pendek ini terdapat beberapa pelajaran berharga terkhusus berkaitan dengan adab bertamu dan menjamu tamu.
Pelajaran Pertama, hendaknya tamu mengucapkan salam ketika hendak bertamu kepada tuan rumah. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh tamu-tamu Ibrahim tadi. Allah sendiri berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk ke rumah selain rumah kalian sampai kalian memberikan ketenangan dan mengucapkan salam teruntuk para penghuninya. Hal itu lebih baik untuk kalian agar kalian selalu ingat.” [Q.S. An Nuur:27]
Suatu ketika ada seorang sahabat yang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di rumahnya dalam keadaan ia belum mengucap salam dan belum meminta izin, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya yang artinya, “Kembalilah kamu! Dan katakanlah assalamu ‘alaikum, bolehkah aku masuk?’” [H.R. Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah no: 818].
Dalam hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang maknanya, “Minta izin itu tiga kali, jika diizinkan maka masuklah akan tetapi jika tidak, maka pulanglah!” [H.R. Muslim] Hadis ini menjelaskan bahwa ketika kita minta izin dan mengucapkan salam untuk masuk ke rumah seseorang memiliki batasan tiga kali salam. Artinya jika tiga kali salam kita ucapkan dan tuan rumah tidak menjawab salam kita, maka kita tidak diperbolehkan memaksa masuk ke rumahnya dan wajib bagi kita untuk pulang.
Demikian pula di antara bentuk memberikan ketenangan kepada tuan rumah sebelum masuk rumah yaitu dengan kita tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak disukai oleh tuan rumah seperti mengintip dan yang semisalnya.
Suatu ketika, ada seseorang yang mengintip salah satu bilik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beliau sedang memegang besi untuk menggaruk kepalanya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menyatakan,
“Seandainya aku tahu kamu mengintip, maka aku akan tusuk kedua matamu dengannya. Tidaklah disyariatkan minta izin itu melainkan untuk menjaga pandangan.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Pelajaran kedua, hendaknya tuan rumah menjawab salam yang disampaikan oleh tamu dengan salam yang lebih baik. Seperti halnya Nabi Ibrahim. Ketika tamu-tamu asing tersebut mengucapkan salaaman maka beliau menjawab dengan salaamun. Salaaman dalam bahasa Arab menduduki kedudukan maf’ul mutlaq dari kata nusallimukum salaaman. Sementara salaamun itu isim yang berkedudukan sebagai mubtada. Para ulama ahli bahasa sepakat bahwa penggunaan jumlah ismiyyah dalam hal ini lebih bagus dari pada jumlah fi’liyyah dikarenakan jumlah ismiyyah mengandung pelajaran tsubut wal istiqrar. Ini menunjukkan bahwa jawaban Nabiyullah Ibrahim lebih bagus daripada ucapan salam yang disampaikan oleh tamu-tamu asingnya.
Ini juga sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran:
“Dan jika kalian diberi ucapan penghormatan dengan suatu ucapan, maka balaslah ucapan tersebut dengan ucapan yang lebih baik atau jawablah dengan yang semisal.” [Q.S. An Nisa: 86]
Pelajaran ketiga, hendaknya tuan rumah segera menyiapkan jamuan untuk tamunya. Seperti halnya Ibrahim, ia segera menemui istrinya dan menyiapkan daging sapi kecil panggang. Mengenai pemuliaan tamu inilah Rasulullah n pernah bersabda yang artinya, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka muliakanlah tamunya.” [Muttafaqun ‘alaihi] Hadis ini menunjukan bahwa di antara bukti kesempurnaan iman seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya ketika ia mau memuliakan tamu yang datang menemuinya. Dan di antara bentuk pemuliaan terhadap tamu yaitu ketika ia segera menyiapkan jamuan untuknya.
Pelajaran keempat, hendaknya ketika tuan rumah menyiapkan jamuannya, ia siapkan jamuan tersebut dengan tenang dan sembunyi-sembunyi sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Karena jika tuan rumah terlihat sibuk dan mondar-mandir menyiapkan jamuan, terkadang hal itu membuat tamu menjadi tidak enak hati dan merasa kecewa karena telah merepotkan si tuan rumah.
Pelajaran kelima, hendaknya tuan rumah menyuguhkan kepada tamunya makanan yang terbaik yang ia miliki. Dan ini pun merupakan bagian dari memuliakan tamu. Perhatikan Nabi Ibrahim, beliau menjamu tamu tersebut dengan makanan terbaik dan ternikmat ketika itu. Daging sapi kecil yang dipanggang di atas batu gurun yang panas. Begitu lezat. Tentunya, makanan yang disajikan oleh tuan rumah disesuaikan dengan kemampuannya. Semakin ia memberikan yang terbaik untuk tamunya, maka itu tentu lebih baik. Mengenai jamuan tamu ini Rasulullah n pernah bersabda yang artinya, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hendaknya ia muliakan tamunya dengan memberikannya jaizah. Para sahabat bertanya, ‘Apakah jaizahnya itu wahai Rasulullah?’ ‘Sehari semalam. Jamuan itu tiga hari. Adapun lebih dari itu, maka itu merupakan sedekah.‘“ [Muttafaqun ‘alaihi]
Berdasarkan hadis ini, maka para ulama menyimpulkan bahwa tuan rumah wajib untuk menjamu tamunya. Pada siang dan malam hari pertama, maka jamuan yang ia berikan adalah jamuan istimewa yang lebih dari sekadar makanan biasanya. Adapun hari kedua dan ketiga, maka dengan makanan yang biasa ia makan untuk keluarganya. Adapun hari yang keempat dan seterusnya, maka sekadar sedekah yang boleh bagi dia untuk memberi atau tidak memberinya jamuan makanan. [ringkasan dari penjelasan An Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim] Tentu pembahasan ini berlaku bagi tamu yang menginap.
Pelajaran keenam, hendaknya tuan rumah mendekatkan jamuan makanan untuk tamunya. Tidak kemudian memberatkan tamunya untuk berpindah dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Dengan ia mendekatkan jamuan untuknya, ini tentu lebih menunjukan pemuliaan lebih yang ia berikan kepada tamunya tersebut.
Pelajaran ketujuh, ketika ia menawarkan dan mempersilahkan tamunya untuk menikmati jamuannya, hendaknya ia menggunakan kata-kata yang baik, beradab lagi penuh pemuliaan. Perhatikanlah Nabi Ibrahim, beliau berkata kepada kaumnya, “Tidakkah kalian mencicipi jamuan kami?” Suatu kalimat tanya yang mengandung dorongan dan permintaan untuk mau menikmati jamuan yang tersedia.
Pelajaran kedelapan, hendaknya tuan rumah selalu memerhatikan keadaan tamunya. Jika mungkin ia membutuhkan bantuan atau apa yang ia segan untuk mau menyatakannya. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, beliau selalu memperhatikan keadaan tamunya tersebut. Hingga ketika beliau menyadari bahwa tamu-tamu asing ini tidak mau mencicipi sedikitpun jamuan makan yang disediakan olehnya, maka muncullah rasa takut pada hati beliau. Dan akhirnya tamu misterius itu pun mengabarkan bahwa mereka adalah para malaikat, utusan-utusan Allah. Intinya Ibrahim sangat memerhatikan keadaan tamunya. Ini pun yang semestinya kita lakukan. Kita perhatikan keadaan mereka. Terkadang, kita sebagai tuan rumah tidak mengetahui jika tamu kita karena suatu hal tidak boleh memakan dan menikmati apa yang kita berikan. Dan ia pun malu untuk mengungkapkannya kepada kita. Nah, ketika kita menyadari hal ini, maka kita bisa lekas meminta maaf seraya menawarkan kepadanya minuman atau makanan apa yang bisa ia nikmati.
Inilah beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah jamuan Ibrahim ini. Semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat. Dan kita selalu memohon kepada Allah agar ia selalu membimbing kita untuk mau melakukan segala titah-Nya dan menjauhi segala bentuk larangan-Nya. Wallahu a’lam.
[Ustadz Abu Ruhma Sufyan Al Banjary]