Tashfiyah
Tashfiyah

hukum seputar nadzar

7 tahun yang lalu
baca 6 menit
Hukum Seputar Nadzar

[Ustadz Abu Hafy Abdullah]

‘Kalau anakku lulus ujian, aku nadzar berpuasa selama tiga hari berturut-turut’, ujar seorang bapak dengan penuh semangat. Mungkin kita pernah mendengar kata-kata seperti di atas atau yang semisalnya. Itulah salah satu contoh nadzar yang menunaikannya terhitung sebagai ibadah dalam Islam. Seseorang menggantungkan nadzarnya dengan cita-citanya yang ingin diwujudkan. Ada kalanya seseorang mengaitkan nadzarnya dengan kehadiran buah hati yang dinanti-nanti, kesembuhan dari penyakit, tercapai sesuatu yang disukai, hilangnya sesuatu yang tidak disukai, dan lain sebagainya. Maka kapan saja berbagai keinginan tersebut tercapai, berarti ia wajib menunaikan nadzar yang telah diikrarkan.

Pengertian Nadzar

Nadzar menurut pengertian bahasa adalah mengharuskan. Adapun secara istilah syar’i, sebagian ulama menjelaskan bahwa nadzar adalah seorang mukallaf (orang baligh dan berakal) mengharuskan dirinya karena Allah untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib. Dengan demikian, nadzar adalah mewajibkan suatu amalan yang pada asalnya tidak wajib untuk dirinya.

Hukum Nadzar

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum asal nadzar. Sebagian ulama berpendapat bahwa memulai hukumnya adalah makruh. Bahkan sebagian lain cenderung mengharamkannya dengan beberapa argumen. Di antaranya adalah karena adanya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bernadzar sebagaimana dalam sabdanya yang artinya, “Nadzar tidak akan menolak suatu apa pun. Tiada lain nadzar hanya dikeluarkan dari orang yang bakhil.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tegaskan bahwa nadzar tiada lain hanyalah dilakukan oleh orang-orang yang bakhil. Karena dalam melakukan amal saleh, pelaku nadzar menggantungkan amal saleh dengan terwujudnya keinginan. Andaikan keinginan tersebut tidak tercapai, niscaya dia tidak akan melakukan amal saleh tersebut. Seorang yang dermawan lagi ikhlas akan langsung beramal saleh tanpa ada pamrih sedikit pun. Dia tidak akan menggantungkan amalannya dengan kepentingan duniawi. Jelas yang demikian ini bisa mengurangi keikhlasan dalam beramal. Demikian juga ada unsur takalluf (memberat-beratkan diri) dengan mengharuskan sesuatu yang tidak Allah wajibkan atasnya. Realita juga menunjukkan bahwa biasanya seseorang yang telah terlanjur bernadzar akan menyesal karena dia merasa berat untuk menunaikan nadzarnya. Akhirnya dia melakukan berbagai cara supaya bisa terbebas dari kewajiban nadzarnya.

Demikianlah hukum memulai nadzar sebelum terlanjur melakukannya. Namun tatkala seseorang telah terlanjur mengikrarkan nadzar, maka tetap wajib menunaikan nadzarnya. Selama nadzar tersebut baik dan mampu dilakukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Barang siapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kapada Allah, maka hendaknya dia menaati-Nya.” [H.R. Al-Bukhari]. Hadis ini meliputi segala bentuk ketaatan yang ada dan mampu untuk dilakukan. Allah pun memuji hamba-hamba-Nya yang menunaikan nadzar sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azab-Nya merata di mana-mana.” [Q.S. Al-Insan: 7]. Ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa nadzar merupakan suatu ibadah. Adapun sisi pendalilan dari ayat terebut adalah karena adanya pujian Allah ta’ala kepada orang-orang yang menunaikan nadzar. Tidaklah Allah ta’ala memberikan pujian melainkan kepada perkara-perkara yang diridhai dan disyariatkan. Oleh karenanya nadzar termasuk ibadah sehingga harus diniatkan karena Allah ta’ala semata. Sebagian orang bermudah-mudahan dalam bernadzar tanpa mempertimbangkan segala sesuatunya. Harus disadari bahwa nadzar adalah bagian ibadah yang harus ditunaikan segala konsekuensinya. Nadzar bukan sekadar ucapan lisan tanpa ada konsekuensi yang berlanjut setelahnya. Banyak pula yang melanggar nadzarnya begitu saja padahal mampu menunaikannya. Yang lebih disayangkan lagi masih ada saja yang bernadzar kepada selain Allah ta’ala. Jelas ini merupakan perbuatan syirik karena nadzar adalah ibadah yang harus diberikan kepada Allah saja. Misalnya seseorang mengatakan, “Jika saya berhasil lulus ujian kerja, maka saya akan menyembelih seekor kambing untuk wali Fulan.”

Kafarrah (Tebusan) Nadzar

Lalu bagaimana solusi syar’i bagi seseorang yang melanggar nadzarnya atau tidak mampu menunaikan nadzarnya. Pada asalnya, wajib menunaikan nadzar jika tergolong sebagai nadzar yang baik (bukan maksiat) dan mampu melakukannya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, terkadang tekad seseorang untuk menunaikan nadzarnya melemah dan sirna. Atau ada satu dan lain hal yang membuatnya tidak mampu melakukan nadzarnya. Demikian halnya dengan nadzar yang mustahil dilakukan karena di luar jangkauan kapasitas manusia. Seperti misalnya bernadzar untuk terbang ke langit atau berjalan di atas permukaan air atau yang lainnya. Maka sebagai gantinya dia harus menunaikan kaffaratul yamin (tebusan sumpah). Kaffarah nadzar sama dengan kaffarah sumpah, yaitu: memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau membebaskan seorang budak. Jika tidak bisa melakukan salah satu dari ketiganya, maka dia harus berpuasa tiga hari.

Pembagian Nadzar Berdasarkan Beberapa Sisi Tinjauan

Menurut tinjauan sebabnya, nadzar terbagi menjadi dua:

1. Nadzar mutlak, yaitu seseorang mewajibkan dirinya untuk melakukan ketaatan tanpa memberikan persyaratan tertentu. Misalnya seseorang mengatakan, “Saya bernadzar untuk mengerjakan puasa sunah selama lima hari berturut-turut.” Ia menyampaikan hal ini begitu saja tanpa ada sesuatu pun yang diinginkan.

2. Nadzar muqayyad yaitu seseorang mewajibkan dirinya untuk melakukan suatu amal saleh jika cita-citanya terkabulkan. Misalnya seseorang menyatakan, “Saya bernadzar untuk menyedekahkan uang ini jika hutang saya lunas.” Maka konsekuensinya, dia harus menyedekahkan uang tersebut jika cita-citanya tercapai. Sehingga maksud dari berbagai hadis yang menjelaskan tentang adanya celaan untuk bernadzar berlaku untuk nadzar jenis yang kedua ini. Karena nadzar ini pada hakikatnya tidak dilandasi keikhlasan kepada Allah ta’ala. Tujuan utamanya adalah supaya pelaku nadzar tersebut bisa meraih kemanfaatan yang diinginkan. Oleh karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutnya sebagai orang yang bakhil (pelit) sebagaimana dalam hadis di atas.

Adapun menurut tinjauan jenis nadzarnya, maka bisa klasifikasikan sebagai berikut:

1. Nadzar yang wajib untuk ditunaikan yaitu nadzar yang berupa ketaatan. Jika mampu maka wajib menunaikan nadzar tersebut dan berdosa apabila tidak dilaksanakan. Sebagai gantinya dia harus membayar kaffarah sumpah. Contohnya nadzar untuk berpuasa, sedekah dan yang lainnya dari berbagai amal kebaikan.

2. Nadzar yang haram untuk ditunaikan yaitu nadzar yang berupa kemaksiatan bukan kesyirikan. Namun tetap wajib bagi pelakunya untuk membayar kafarah. Contohnya bernadzar untuk memutus tali silaturahmi atau kemaksiatan yang lainnya.

3. Nadzar untuk melakukan perkara-perkara yang mubah dan bukan termasuk ibadah. Maka dalam hal ini pelakunya diberi pilihan untuk menunaikan nadzarnya atau membayar kafarah. Contoh seseorang bernadzar untuk memakai pakaian tertentu jika keinginannya terkabul. Dia boleh melakukannya atau membayar kafarah. Demikian halnya dengan nadzar untuk melakukan perkara-perkara yang makruh. Ia juga diberi kebebasan untuk melaksanakannya atau membayar kafarah. Contohnya adalah bernadzar untuk menggundul rambut atau makan bawang sebelum menghadiri pelaksanaan salat berjamaah sebagaimana pendapat sebagian ulama.

4. Nadzar yang tidak sah dan tidak boleh ditunaikan yaitu nadzar kesyirikan. Atas dasar ini pelakunya tidak berkewajiban untuk membayar kafarah namun dia harus bertobat kepada Allah ta’ala.

Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa nadzar bukanlah sebab dan solusi yang syar’i untuk bisa meraih tujuan yang inginkan. Nabi tidak pernah mencontohkan yang demikian. Bahkan beliau menyebutkan nadzar dalam berbagai kontek celaan terhadap pelakunya. Oleh sebab itu tidak sepantasnya seorang muslim bermudah-mudahan dalam melakukan nadzar. Apalagi sampai menjadikannya sebagai rutinitas untuk meraih cita-cita yang diinginkan. Allahu a’lam.

Sumber Tulisan:
Hukum Seputar Nadzar