Tashfiyah
Tashfiyah

dikit-dikit bidah!

5 tahun yang lalu
baca 5 menit
Dikit-Dikit Bidah!

(Oleh: Ustadz Abu Yusuf Abdurrahman)

“Ini bid’ah, itu bid’ah. Dikit-dikit bid’ah. Biar nggak bid’ah, naik unta saja, ‘kan zamannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam nggak ada sepeda, motor, atau mobil.” Kalimat seperti ini mungkin pernah pembaca dengar. Sekilas, kalau kita belum memahami apa itu bid’ah, bisa jadi kita akan mengangguk saja tanda setuju. Nah, sebelum mengangguk tanda setuju, ada baiknya kita baca pengertian bid’ah, agar bisa menilai apa saja bid’ah itu.

Pengertian Bid’ah

a. Tinjauan Makna Etimologis

Secara etimologis atau akar bahasa, بِدْعَةٌ berasal dari kata kerja بَدَعَ (fi’il madhi, kata kerja bentuk lampau) يَبْدَعُ (fi’il mudhari’, kata kerja bentuk sekarang dan akan datang) بَدْعاً (mashdar, kata kerja dibendakan). Makna dari kata ini adalah membuat inovasi, sesuatu yang baru, tidak ada contoh dan misal sebelumnya.

Pada makna asal kata, kata ‘bid’ah’ ini tidaklah memiliki nilai celaan atau pujian. Karena, sesuatu yang baru belum mesti sesuatu yang jelek, sebagaimana sesuatu yang baru pun juga belum mesti sesuatu yang bagus. Nilai jelek dan baiknya tergantung dari apakah hal yang baru itu.

Kesimpulannya, kata bid’ah secara bahasa tidaklah memiliki nilai positif dan negatif. Kita baru bisa menilai positif dan negatifnya dilihat dari produk atau hasil dari bid’ah itu.

b.Tinjauan Terminologis Syara’

Adapun secara istilah syariat, kata bid’ah dipakai lebih khusus daripada makna bahasa. Para ulama telah menggariskan makna istilah bid’ah dalam karya-karya mereka. Definisi yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Asy Syathibi rahimahullah di dalam kitab Al I’tisham:

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ لِلهِ سُبْحَانَهُ

“Suatu jalan dalam beragama yang diadakan, menyerupai jalan syariat, tujuan menempuhnya adalah kesungguhan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.”

Ada beberapa kata kunci yang menjadi batasan bid’ah dalam definisi beliau.

1. Pertama, bid’ah adalah ‘thariqah’ suatu jalan. Artinya, bid’ah memang dijadikan sebagai suatu pedoman yang senantiasa dilazimi. Dengan batasan ini, kita bisa membedakan bid’ah dengan maksiat. Seseorang yang melakukan maksiat, dalam hati kecilnya dia berniat akan meninggalkannya dan bertobat darinya.

Dengan batasan thariqah ini pula, kita menyimpulkan bahwa bid’ah tidak terbatas hanya pada amalan lahiriah saja. Bid’ah juga mencakup keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Misalnya, keyakinan Khawarij bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka.

2. ‘Fid din’ dalam agama Islam, artinya cakupan bid’ah hanya perkara yang ada dalam agama. Bid’ah tidak mencakup segala inovasi dan penemuan dalam hal dunia. Jadi, tidak tepat bid’ah diterapkan dalam penemuan-penemuan dunia, seperti kendaraan modern, kulkas, dan segala hal penemuan dunia yang lain.

3. ‘Mukhtara’ah’, yang diadakan, artinya bid’ah tersebut tidak memiliki dalil dalam syariat ini. Dengan batasan ini, maka ilmu-ilmu yang membantu dalam memahami agama Islam –seperti ilmu nahwu, sharaf, ushul fiqh, serta ilmu-ilmu lainnya yang dahulu tidak ada pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam — bukanlah bid’ah. Sebab, meskipun ilmu tersebut tidak ada di zaman Rasulullah n, namun ada asal dalil-dalil yang menunjukkan padanya. Penulisan Al Quran terkumpul menjadi satu mushaf, contoh yang lain, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , ini juga bukan merupakan bid’ah. Karena, Allah subhanahu wata’ala telah mengisyaratkan dengan menyebut Al Quran sebagai ‘kitab’. Ini sebagai dalil bolehnya menuliskan Al Quran terkumpul pada satu mushaf.

4. ‘Tudhahi asy syar’iyyah’ menyerupai jalan syariat, artinya perbuatan bid’ah tersebut memiliki kesamaan dengan jalan syariat, namun bukan termasuk dari syariat ini. Penyerupaan syariat tersebut bisa berupa: penentuan tata cara tertentu tanpa dalil (misal, zikir dengan tata cara berjamaah dengan suara berbarengan), menentukan batasan tanpa dalil (misal, puasa dengan memakan jenis makanan tertentu, nasi, umbi, dsb), menentukan waktu-waktu lebih utama tanpa dalil (misal, salat pada pertengahan Sya’ban, atau Jumat pertama dari Rajab). Ini semua menyerupai jalan syariat, namun bukan termasuk syariat karena tidak ada dalil baik dari Al Quran, hadis, ataupun ijma’ mengenai penentuan-penentuan tersebut. Orang yang mengadakannya membuat seolah-olah ada tuntunannya dari syariat agar terlihat bagus dikerjakan, padahal tidak ada asalnya.

5. Tujuan dari ditempuhnya jalan tersebut adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala . Inilah niatan dari para pelaku bid’ah. Adapun orang yang terus melazimi suatu perbuatan yang diada-adakan, bukan karena niatan ibadah, bukan termasuk bid’ah. Misalnya, orang yang bersih-bersih tiap hari Jumat, hari Ahad, atau hari lainnya, bukan dalam rangka ibadah, maka hal itu bukan termasuk bid’ah.

Adapun pelaku bidah, semuanya berkeyakinan bahwa bid’ah yang dilakukannya adalah sesuatu yang bisa mendekatkan kepada Allah subhanahu wata’ala. Namun, anggapan ini adalah anggapan yang keliru. Bid’ah bukan termasuk syariat Islam. Maka, perbuatan bid’ah bukanlah sesuatu yang Allah subhanahu wata’ala cintai. Andaikan bid’ah itu merupakan sesuatu yang Allah subhanahu wata’ala cintai, niscaya sudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan dan jelaskan kepada kita. Sebab, beliau bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ لَيْسَ مِنْ شَيْءٍ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُكُمْ مِنَ النَّارِ إِلا قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ النَّارِ وَيُبَاعِدُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ إِلا قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ

“Wahai manusia, tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan kalian ke surga dan menjauhkan kalian dari neraka, kecuali pasti telah aku perintahkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan kalian ke neraka dan menjauhkan kalian dari surga kecuali telah aku larang kalian darinya.” [H.R. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, dari Abdullah bin Mas’ud z dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah].

Kita simpulkan dari hadis ini, bahwa segala hal yang disyariatkan pastilah sudah diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga, ketika bid’ah tidak diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pastilah bid’ah bukan hal yang mendekatkan ke surga.
Pembaca yang budiman, demikianlah definisi dan batasan bid’ah. Dengan mengetahuinya, kita pun tidak serampangan dalam menggolongkan sesuatu ke dalam bid’ah. Demikian pula, kita akan bisa mewaspadai dari amalan bid’ah. Allahu a’lam bish shawab.

Sumber Tulisan:
Dikit-Dikit Bidah!