“Dua ribu untuk harga rumahku, dan dua ribu lagi untuk harga pertetanggaan dengan Abu Hamzah as-Sukkari!”
Itulah jawaban salah seorang tetangga Abu Hamzah as-Sukkari. Karena suatu hal yang teramat mendesak, ia terpaksa menjual rumahnya. Ada seseorang yang menawar, “Engkau jual berapa rumahmu?” Dan kalimat di atas, itulah jawabannya. Memang tetangga baik teramat mahal harganya. Bahkan sejatinya tak bisa dinominalkan. Dua ribu yang ia putuskan, hanyalah karena kebutuhan yang sangat mendesak. Jika tidak, siapa yang mau kehilangan tetangga baik.
Saat dia dalam suka, dia tak melupakan anda. Dia akan berbagi dengan anda. Walaupun hanya kuah sup yang dia punya, dia akan tetap berbagi. Saat duka sedang menyelimuti, dia akan berusaha menolong, membantu atau minimalnya ikut merasakan duka. Saat terjatuh dalam suatu kesalahan, dia akan mengulurkan tangannya agar bangkit dari keterpurukan. Dia pun akan menutupi dari orang lain dari aib anda. Dan lebih dari itu, tetangga yang baik tak rela kehilangan anda. Seperti yang dilakukan Abu Hamzah as-Sukkari. Saat tahu tetangganya hendak menjual rumah, beliau segera datang dan berkata, “Ini ada uang empat ribu. Demi Allah, ku mohon jangan kau jual rumahmu!”
Subhanallah! Inilah salah satu profil kehidupan para salaf. Siapa yang tak terharu dan berderai air matanya memiliki tetangga seperti ini? saudaraku, bagaimana dengan tetangga kita, sudahkah mereka merasakan kebaikan-kebaikan kita?
Sebelum terlalu jauh mengayuh dayung bertamasya menuju pulau “hak-hak tetangga”, alangkah baiknya kita terlebih dahulu membuka peta “siapakah tetangga”. Siapakah tetangga yang Allah perintahkan kita untuk berbuat baik kepadanya, sebagaimana dalam ayat,
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.” [Q.S. Al-Baqarah:36]
Siapakah tetangga yang teramat pentingnya sampai-sampai Rasulullah bersabda, “Jibril selalu mewasiatiku untuk berbuat baik kepada tetangga. Hingga aku menyangka dia memerintahkanku untuk menjadikannya ahli waris.” [H.R. Bukhari dan Muslim dari Aisyah dan Abdullah bin Amr]
Siapakah mereka? Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau berkata, “Siapa yang mendengar teriakanmu, itulah tetangga.” Ulama lain mendefinisikan tetangga sebagai, “Siapa yang shalat berjamaah bersamamu di masjid, dialah tetangga.” Adapun menurut Ibunda Aisyah, al-Auza’i dan al-Hasan al-Bashri batasan tetangga adalah empat puluh rumah dari rumahmu di setiap sisinya.
Namun ketiga pendapat di atas tidak disandarkan pada dalil. Sehingga definisi tetangga dikembalikan kepada adat daerah masing-masing. Mungkin di daerah A yang namanya tetangga adalah yang se-RT. Adapun menurut adat daerah B tetangga adalah yang bersebelahan dengan rumah saja. Begitu seterusnya. Inilah pendapat yang dipilih oleh asy-Syaikh Abdurrahman as-Si’di dan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan bahwa lafadz tetangga mencakup muslim maupun kafir, shalih maupun fasik, kawan maupun lawan, pendatang maupun pribumi, yang memberimu manfaat maupun mudarat, karib kerabat maupun bukan, yang paling dekat dengan pintu rumahmu maupun yang terjauh. Dari penjelasan beliau ini kita bisa mengambil faedah bahwa siapa pun tetangga kita, dia punya hak yang harus kita tunaikan. Namun, apakah tetangga yang muslim sama haknya dengan yang kafir? Apakah sama antara hak tetangga yang saleh dengan yang fasik?
Sebagian ulama yang berkata, “Tetangga itu ada tiga; tetangga yang hanya memiliki satu hak, tetangga yang memiliki dua hak dan tetangga yang memiliki tiga hak. Adapun tetangga yang memiliki tiga hak adalah tetangga muslim yang memiliki hubungan kerabat. Dia punya hak sebagai tetangga, hak sebagai karib kerabat dan hak sebagai seorang muslim. Adapun tetangga yang memiliki dua hak adalah tetangga yang muslim. Dia punya hak sebagai tetangga dan hak sebagai seorang muslim. Adapun tetangga yang hanya memiliki satu hak adalah tetangga yang kafir. Dia hanya punya hak sebagai tetangga saja.”
Disebutkan bahwa Imam asy-Syaukani memiliki seorang tetangga yang selalu menganggu pelajaran beliau. Kebetulan asy-Syaukani adalah ustadz di masjid Jami’ San’a. Tiada hari kecuali dia selalu mengganggu asy-Syaukani. Terkadang dengan memotong pembicaraannya, terkadang dengan membuat keributan. Asy-Syaukani hanya bersabar dan terus mengendapkan rasa. Beliau enggan walau sekedar membalas, apalagi untuk melapor kepada pihak yang berwajib. Sebanyak gangguan yang diterima, sebesar itu pula kesabaran asy-Syaukani. Hingga pada suatu hari, asy-Syaukani merasa hari ini hari yang aneh. Tidak seperti biasanya. Tetangga yang setiap hari mengganggunya hari ini tidak muncul. Tidak ada gangguan lagi. Tapi bukannya senang karena tidak ada yang menzaliminya, asy-Syaukani justru merasa kehilangan. Beliau merasa ada sesuatu terjadi pada tetangganya. Dan benar, tetangganya jatuh sakit. Seketika asy-Syaukani membesuk tetangganya. Bahkan asy-Syaukani memberinya uang untuk berobat dan uang tambahan untuk kebutuhan sehari-harinya. Sang tetangga hanya terpana, menangis dan basah air matanya. Akhirnya sang tetangga meminta maaf dan mendoakan Jannah untuk asy-Syaukani.
Bagaimana dengan tetangga kita, Akhi? Sudahkah mereka merasakan kebaikan-kebaikan kita? Allahu yubarik fiikum.