Mengagungkan Allah ta’ala dengan sebenar-benarnya adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Ia dituntut untuk mengagungkan Allah dengan kalbu, lisan dan anggota tubuhnya.
Salah satu bentuk pengagungan kepada Allah adalah bersumpah dengan menggunakan Nama-Nya. Karena, definisi sumpah adalah menguatkan konteks pembicaraan dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan. Sumpah ini dalam ungkapan Arab disampaikan dengan redaksi yang khusus yaitu dengan menggunakan salah satu huruf qasam (sumpah) yaitu ba’ (bi), wawu (wa) atau ta’ (ta). Yakni misalnya dengan mengatakan Wallahi (menggunakan wawu), Tallahi (menggunakan ta’) atau Billahi (menggunakan ba’) yang artinya adalah demi Allah. Tatkala seseorang menyatakan, “Wallahi (Demi Allah), saya benar-benar tidak melakukannya.” Berarti Ia bermaksud menguatkan keabsahan berita yang disampaikan dengan menyebutkan Nama Allah ta’ala yang ia agungkan dan muliakan.
Sementara penganggungan merupakan salah satu amal ibadah, yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah. Dari sinilah, kita mengetahui bahwa bersumpah dengan nama Allah merupakan ibadah. Sehingga, bersumpah dengan selain nama Allah merupakan perbuatan syirik. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya, “Barang siapa bersumpah dengan selain Allah maka ia telah kafir atau berbuat syirik.” [H.R. Abu Dawud dengan sanad yang shahih].
Syirik Kecil Atau Besar?
Pada asalnya, kesyirikan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah syirik asghar (syirik kecil). Karena bersumpah dengan selain Allah termasuk kesyirikan yang dilakukan dengan lafazh atau lisan. Secara umum orang yang mengucapkannya tidak mempunyai niatan dalam hatinya untuk mengagungkan selain Allah sebagaimana pengagungan terhadap-Nya.
Akan tetapi, terkadang bersumpah dengan selain nama Allah bisa menjadi syirik besar. Jika pelakunya dalam hatinya mengagungkan selain Allah sebagaimana pengagungannya kepada Allah, bahkan lebih, maka ia telah terjatuh dalam syirik akbar (syirik besar). Karena, pengagungan orang ini tidak sebatas di lisannya saja, bahkan sampai di dalam kalbunya.
Pada asalnya, kesyirikan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah syirik asghar (syirik kecil). Karena bersumpah dengan selain Allah termasuk kesyirikan yang dilakukan dengan lafazh atau lisan. Secara umum orang yang mengucapkannya tidak mempunyai niatan dalam hatinya untuk mengagungkan selain Allah sebagaimana pengagungan terhadap-Nya.
Akan tetapi, terkadang bersumpah dengan selain nama Allah bisa menjadi syirik besar. Jika pelakunya dalam hatinya mengagungkan selain Allah sebagaimana pengagungannya kepada Allah, bahkan lebih, maka ia telah terjatuh dalam syirik akbar (syirik besar). Karena, pengagungan orang ini tidak sebatas di lisannya saja, bahkan sampai di dalam kalbunya.
Jangan Remehkan Syirik Kecil!
Bersumpah dengan selain Allah adalah salah satu fenomena yang tidak jarang terjadi di tengah kaum muslimin. Ada seseorang yang bersumpah dengan nama orang tuanya, dengan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , malaikat atau makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Sebagian orang berpandangan bahwa sumpah dengan selain Allah diperbolehkan karena dalam sekian banyak ayat Al Quran Allah bersumpah dengan makhluk-makhluk-Nya. Ini merupakan pandangan yang keliru, karena sumpah tersebut adalah kekhususan bagi Allah ta’ala semata. Sebagai pencipta seluruh alam semesta ini, Allah berhak untuk bersumpah dengan apapun sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian hal itu tidak berlaku bagi manusia dan bahkan termasuk perbuatan syirik sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tegaskan dalam haditsnya di atas.
Seorang muslim tidak sepantasnya meremehkan dosa ini meskipun termasuk syirik kecil. Karena syirik kecil itu tidak lebih ringan dari dosa besar. Bagaimana pun, kesyirikan dengan segala bentuknya harus diwaspadai dan dijauhi.
Perhatikanlah ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berikut ini, “Aku bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan dusta lebih aku sukai daripada bersumpah secara jujur dengan menyebut nama selain Allah.” Bukan maksud Ibnu Mas’ud membolehkan kedua perkara yang beliau perbandingkan di atas. Jelas beliau sangat mengetahui bahwa keduanya adalah perbuatan terlarang dalam Islam. Bahkan bersumpah dengan nama Allah untuk mendukung suatu kedustaan adalah dosa besar. Namun demikian, dosanya lebih ringan daripada bersumpah dalam keadaan jujur namun dengan menyebut selain Allah. Hal ini selaras dengan pernyataan sebagian sahabat bahwa dosa syirik kecil lebih besar daripada dosa-dosa besar. Karena dosa syirik tidak akan terampuni ketika pelakunya meninggal dalam keadaan belum bertobat kepada Allah. hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selainnya.”
Adapun dosa-dosa besar yang bukan kesyirikan di bawah kehendak Allah subhanahu wata’ala. Dalam arti jika Allah berkehendak maka akan diampuni namun jika tidak maka akan diazab sesuai dengan dosanya.
Hadits di atas memberikan faedah tentang kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjaga kemurnian tauhid dari segala bentuk kesyirikan. Tindakan preventif untuk menjaga kesucian tauhid tidak hanya dalam hal keyakinan dan tindak tanduk saja. Namun dalam bertutur kata sekalipun seseorang harus memerhatikan adab-adabnya. Jangan sampai seseorang mengucapkan sesuatu tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu akibat atau dampak buruknya. Sehingga hal itu bisa membuahkan penyesalan di dunia terlebih di akhirat nanti. Semoga Allah menggolongkan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang bertauhid dan menjauhkan kita dari kesyirikan dengan segala bentuknya. Amin ya Mujibas Sailin.
[Ustadz Abu Hafy Abdullah]