Tashfiyah
Tashfiyah

atas nama cinta

7 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atas Nama Cinta

Cinta. Kata yang dianggap suci ini semakin laris digunakan. Tema cinta seakan sebuah topik sakti untuk menyedot perhatian publik dan menarik simpati. Sayang, tak jarang kata yang dianggap suci ini digunakan untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah .

Tema cinta memang selalu menarik perhatian. Sebuah kata yang kini lebih dominan bermakna rasa yang terjalin antara dua lawan jenis ini memiliki pengaruh yang dalam pada seseorang. Karena cinta, seseorang yang dahulunya penakut bisa berubah menjadi pemberani. Karena cinta, seseorang rela memberikan segala apa yang dia miliki.
Dengan kata cinta pula, banyak dari kita merasa iba dan simpati kepada orang yang memilikinya. Sehingga, banyak dari kita tidak tega untuk memisahkan antara dua orang yang saling mencinta. Disayangkan, begitu banyak media -baik cetak maupun elektronik- memberikan pemahaman yang keliru mengenai cinta dan konsekuensinya. Tulisan-tulisan yang dibuat pun ikut andil dalam mencitrakan cinta melenceng dari seharusnya. Sehingga, tak jarang cinta yang sering dimaksud oleh orang-orang adalah cinta yang mengandung kemaksiatan.

Cinta dan Pacaran
Pacaran adalah perbuatan yang sudah lazim dilakukan pemuda sekarang. Padahal, menurut agama, pacaran adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan. Dalam sebuah ayat-Nya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kalian dekati zina. Sesungguhnya itu adalah perbuatan keji dan jalan yang jelek.” [Q.S. Al-Isra` (Bani Isra`il):32].

Jika ada yang mengatakan, “Kan saya tidak berzina. Saya menjaga jarak dengan pacar saya agar tidak terjatuh ke dalam zina?.” Jawabannya, hendaknya kita perhatikan bahwa Allah bukan hanya melarang untuk berzina. Dalam ayat ini Allah secara tegas melarang untuk mendekati zina. Mendekati zina mencakup bergandengan tangan, berduaan, bahkan bisa jadi hanya ber-SMS ria dengan lawan jenis sebagai pintu mendekati zina. Maka, semua jalan-jalan yang bisa menyampaikan kepada zina ini ditutup oleh syariat agar pemeluknya tidak terjatuh ke dalamnya.
Mengenai berduaan antara lawan jenis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kita darinya dengan bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
“Janganlah ada seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang perempuan dan janganlah seorang perempuan bepergian jauh kecuali dengan mahram.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Tidak hanya itu saja, banyak bahaya yang diakibatkan oleh pacaran ini.

Cinta dan Seks Bebas
Cinta sejati memerlukan pengorbanan. Kalimat ini benar, namun sayang seringkali mereka gunakan untuk membenarkan hal-hal yang sejatinya keliru. Sebagian orang yang berpacaran menganggap bahwa sex before marriage (seks sebelum menikah) adalah pengorbanan dan bukti cinta. Seseorang wanita yang berpacaran harus berani berkorban. Apa pengorbanannya? Yang dia korbankan adalah kesucian dan kehormatannya.
Subhanallah. Jika kita timbang dengan logika sehat yang kita miliki, seharusnya lelaki ini memberikan yang terbaik bagi pasangannya sebagai pengorbanannya. Misalnya, dia menikahinya dan memberikan nafkah yang layak. Bukan justru dengan merenggut kemuliaan wanita tersebut.
Ditambah lagi, banyak orang yang menganggap biasa perzinaan jika pelakunya adalah orang yang saling mencinta. Mereka menganggap bahwa zina suka sama suka adalah hak asasi manusia. Jika mereka mau sadar, sesungguhnya hak-hak manusia yang seperti ini justru akan menjerumuskan manusia ke dalam mafsadat yang semakin besar. Tidak jelasnya garis nasab, menyebarnya berbagai penyakit, dan dirugikannya pihak wanita adalah beberapa mafsadat yang bisa muncul kemudian. Belum lagi kerusakan dalam tingkat komunitas, berbangsa dan bernegara pada umumnya serta lingkungan sekitar pada khususnya. Faktanya, berita tentang pencabulan yang dilakukan oleh anak kecil, anak kecil menghamili wanita lain, dan berita-berita sejenis yang dahulu kita anggap nyleneh sudah semakin sering kita dapat, yang mana ini merupakan cerminan nyata betapa masyarakat kita sudah luntur adabnya.
Padahal, Allah memberikan ciri hamba-hamba Ar-Rahman, yang seharusnya menjadi ciri setiap hamba muslim:

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا*يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا

“Dan mereka tidak menyeru bersama Allah sesembahan yang lain, mereka tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haknya, dan mereka tidak melakukan zina. Barangsiapa melakukannya, dia akan mendapatkan (balasan) dosa.*. Digandakan adzab baginya dan dia kekal di dalamnya dengan hina dina.” [Q.S. Al-Furqan:68-69].

Cinta dan Bunuh Diri
Akibat ‘cinta’ yang tidak kesampaian, banyak orang yang mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya. Seakan, wanita atau pria yang dia cintai adalah satu-satunya makhluk di muka bumi ini. Hal ini, jika kita perhatikan dengan rasio yang sehat, tentu kita akan menilainya sebagai perbuatan yang konyol dan sia-sia. Banyak hal di dunia ini yang harus kita capai selain cinta. Selain itu, dari segi agama, bunuh diri merupakan dosa besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi di tangannya, dia (akan) menikam perutnya di dalam neraka jahannam yang kekal, dan dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun lalu bunuh diri dengannya, maka dia (akan) meminumnya perlahan-lahan di dalam neraka jahannam yang kekal, (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dia akan jatuh ke dalam neraka jahannam yang kekal (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.” [H.R. Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
Di samping itu, jika kita singkap lebih dalam, akan kita ketahui bahwa kebanyakan cinta semacam ini adalah cinta yang tidak sehat. Cinta ini kebanyakannya adalah cinta yang didasari kemaksiatan kepada Allah . Yakni, cinta antara dua orang non-mahram yang belum diikat dengan tali pernikahan.

Cinta dan Nikah Sesama Jenis
Menikah sesama jenis kini menjadi polemik panjang tentang kebolehannya. Sebagian pihak malah telah melakukan pernikahan yang [mereka anggap] sah antara dua orang yang sama jenisnya ini. Sebagiannya, berjuang menuntut dilegalkannya pernikahan sesama jenis di Indonesia dengan dalih HAM dan tetek bengeknya.
Keraguan ini banyak dimunculkan oleh sebagian pemuda yang mempelajari Islam dengan rasio terbalik. Mereka mengambil agama dari filosof-filosof kafir sekuler di Amerika. Sejatinya, cukuplah sebagai bantahan, bahwasanya fitrah kita pasti merasakan cinta kepada lain jenis. Hanya orang yang kehilangan fitrahnya sebagai manusia normal saja yang mencintai sesama jenis. Seandainya pun memang ada yang mengidap penyakit kelainan seksual dengan mencintai sesama jenis, hal itu masih bisa diobati dan diterapi. Tinggal seberapa keras usaha kita untuk keluar dari penyakit ini. Faktanya, beberapa pengidap penyakit ini berhasil melepaskan diri darinya dengan menikah. Nah, kenapa tidak dicoba?
Adapun jika masyarakat justru menghalalkan dan melegalkannya, cukuplah sebagai ibrah, kaum Nabi Luth, kaum Sodom, yang mereka diadzab dengan dibalikkankan bumi mereka dan dihujani dengan hujan batu saat kebanyakan dari mereka melakukan praktek homoseksual, dosa yang sama sekali belum pernah dilakukan oleh seorang pun di zaman sebelum mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ
“Dan Nabi Luth yang mengatakan kepada kaumnya, ‘Apakah kalian mendatangi perbuatan keji yang tidak pernah dilakukan siapapun sebelumnya dari alam semesta ini?’” [Q.S. Al-A’raf:80]. Dan berfirman:

فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ
“Maka kami jadikan atasnya menjadi bawahnya dan kami hujankan kepada mereka batu yang keras.” [Q.S. Al-Hijr:74].
Kita berlindung kepada Allah dari adzab-Nya. Allahu a’lam bish shawab.(Ustadz Abdurahman)

Sumber Tulisan:
Atas Nama Cinta