Orang bilang hidup ini bagaikan roda yang berputar tiada pernah akan terus konsisten pada suatu keadaan. Adakalanya seseorang menuai kegagalan dalam meraih asa dan tujuan. Kenyataan yang seperti itu memang terkadang menyakitkan dan membuat seseorang gigit jari menyesali apa yang terjadi. Tak jarang pula pikiran melayang kesana dan kemari mengangankan keberhasilan. Seandainya dahulu aku begini dan begitu, Andaikan aku tak melakukannya dan berbagai ungkapan yang semisal dengannya. Kata-kata yang begitu mudah terucap dan dianggap wajar oleh kebanyakan manusia. Namun bagaimanakah sejatinya hukum pengandaian tersebut menurut tinjauan Islam?
Ketahuilah bahwa berandai-andai digunakan dalam berbagai konteks dan masing-masing mempunyai hukum yang berbeda-beda. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Utsaimin secara terperinci sebagai berikut
- Berandai-andai dalam rangka untuk mengkritisi syariat Islam. Ini adalah perbuatan yang diharamkan dan bahkan bisa mengeluarkan pelakunya dari keislaman. Misalnya seseorang mengatakan, “Andaikan khamr itu halal, pasti kita bisa meraup keuntungan yang banyak.” Pengandaian sebagai bentuk kritikan terhadap syariat ini merupakan ciri khas orang-orang munafik. Mereka tidak terima dan merasa keberatan untuk menjalankan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah. Hal ini dahulu pernah dilakukan oleh orang-orang munafik seusai perang Uhud. Tatkala mereka tidak mengikuti peperangan tersebut dan kaum muslimin mengalami kekalahan, mereka pun menyatakan, “Seandainya mereka mentaati kita, niscaya mereka tidak akan terbunuh.” Sebagai bentuk kritikan terhadap keputusan Nabi `, seolah-olah mereka menyatakan, “Pendapat kami lebih baik daripada ketentuan Muhammad `.”
- Berandai-andai sebagai bentuk kritikan terhadap takdir. Hal tersebut juga diharamkan dan bisa mencacat keutuhan tauhid seorang hamba. Misalnya ketika seseorang tertimpa ujian yang berat kemudian mengatakan, “Seandainya tadi saya pergi, pasti semua ini tidak akan terjadi.” Pernyataan demikian ini juga merupakan salah satu karakter orang-orang munafik. Sebagaimana Allah abadikan ucapan mereka sebagai pelajaran untuk seluruh kaum muslimin. Mereka mengatakan, “Sekiranya ada bagi kita hak untuk campur tangan dalam urusan ini, pasti kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” [Q.S. Ali Imran : 154]
- Berandai-andai karena menyesali sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal ini juga diharamkan karena Nabi ` telah melarang segala sesuatu yang bisa membuka pintu penyesalan bagi seorang hamba. Karena penyesalan akan membuat jiwanya tenggelam dalam kesedihan dan kesempitan. Sementara Allah menghendaki hamba-hamba-Nya berada dalam kelapangan dan ketentraman jiwa. Oleh sebab itu Nabi ` bersabda;
“Semangatlah untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa lemah. Apabila kamu ditimpa suatu musibah maka janganlah mengatakan,’Seandainya aku berbuat demikian dan demikian pasti hasilnya demikian dan demikian.’ Namun katakanlah, “Semua terjadi dengan kehendak Allah dan apa yang Dia kehandaki pasti terjadi.” Karena sesungguhnya pengandaian akan membuka amalan bagi setan.”
Misalnya seseorang melakukan transaksi jual beli yang dia anggap bisa membuahkan keuntungan. Namun ternyata di luar dugaan ternyata dia mengalami kerugian. Maka ia menyesal seraya berkata, “Seandainya aku tidak melakukan jual beli ini pasti aku tidak akan merugi.”
- Berandai-andai dengan kehendak Allah untuk melegalkan perbuatan Ini juga termasuk pengandaian yang terlarang sebagaimana firman Allah ta’ala tentang orang-orang musyrik, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak akan mempersekutukan-Nya.”
- Pengandaian karena angan-angan untuk meraih sesuatu. Tidak ada niatan untuk mengkritisi atau merasa tidak terima terhadap ketetapan Allah. Maka hukumnya tergantung obyek yang diangan-angankan. Jika yang diangan-angankan adalah kebaikan maka terhitung sebagai amal kebajikan. Namun jika yang diangan-angankan adalah kejelekan maka terhitung sebagai amal kejelekan pula. Disebutkan dalam sebuah hadis tentang empat golongan penduduk dunia, salah satu dari mereka mengatakan tentang angan-angannya yang baik, “Andaikan aku mempunyai harta seperti Fulan, niscaya aku akan beramal seperti amalan Fulan.” Adapun yang lain mengatakan tentang angan-angan buruknya, “Seandainya aku punya harta seperti Fulan, pasti aku akan melakukan seperti Fulan.” Maka Nabi ` bersabda tentang orang yang pertama, “Orang itu dengan niatannya, namun pahala keduanya sama.” Kemudian beliau bersabda tentang orang yang kedua, “Orang itu dengan niatannya, namun dosa keduanya sama.”
- Berandai-andai dengan maksud semata-mata untuk menyampaikan berita dan informasi. Bukan dalam rangka mengkritisi atau merasa tidak terima terhadap takdir. Maka yang demikian ini diperbolehkan dan tidak dilarang. Misalnya seseorang berkata, “Seandainya aku menghadiri pelajaran itu, pasti aku bisa mengambil banyak faidah.” Di antara landasan hukum yang menunjukkan tentang hal ini adalah sabda Nabi ` riwayat Al-Bukhari dan Muslim, “Sekiranya sejak awal aku tahu akan begini, niscaya aku tidak akan membawa hewan kurban. Seandainya aku tidak membawa hewan kurban, niscaya aku akan bertahalul.”
Satu hal yang mesti disadari setiap muslim bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirinya adalah karena takdir serta kehendak Allah ta’ala. Termasuk musibah-musibah yang tidak disukai dan dirasa berat oleh orang yang mengalaminya. Ketahuilah bahwa Allah ta’ala Mahaadil lagi Mahabijaksana dan kehendak-Nya pasti terlaksana. Keyakinan yang demikian ini akan membuahkan ketenangan dan husnudzan (baik sangka) kepada Allah ta’ala. Dan Nabi ` telah memberikan solusinya ketika seseorang menjumpai kegagalan atau sesuatu yang tidak disukai, maka hendaknya mengucapkan, “قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاء فَعَلَ “. (Semua terjadi atas kehendak Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi). Mengembalikan semuanya kepada kehendak Allah ta’ala Yang Mahaadil lagi Mahabijaksana. Dibalik kegagalan dan musibah itu pasti ada hikmah-hikmah yang terkadang manusia tidak mengetahui. Hal ini juga memberikan pelajaran kepada kita betapa sempurnanya ajaran agama Islam. Islam telah menutup semua celah yang bisa menjerumuskan seorang hamba ke dalam kesyirikan. Bahkan dalam bertuturkatapun, ia dituntut untuk berhati-hati dan menjaga lisannya dari hal-hal yang dimurkai Allah ta’ala. Allahu a’lam