Ibadah memang sangat luas. Jenis dan ragamnya tak terbilang. Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memaknakan ibadah sebagai cakupan kata yang meliputi segala sesuatu yang Allah subhanahu wata’ala cintai dan ridhai, berupa ucapan atau perbuatan baik lahir maupun batin. Dari penjabaran ini bisa disimpulkan bahwa tidak mungkin kita membatasi jumlah ibadah. Karena, adat kebiasaan pun bisa bernilai ibadah dengan niat dan cara yang benar.
Memakai sandal pun ibadah. Namun, tentu harus terpenuhi syarat dan ketentuan agar menjadi ibadah yang diterima. Berikut ini adab memakai sandal, atau bisa kita katakan beribadah dengan mengenakan sandal. Di dalam anjuran ini terdapat berkah kebaikan mengikuti bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah keutamaan terbesar. Di dalamnya mengandung pula maslahat untuk si pemakai. Baik sisi kepantasan atau kesehatan. Subhanallah! Agama yang indah.
Adab-adab tersebut adalah:
1. Dahulukan kaki kanan.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merasa takjub dengan mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan pada seluruh urusan beliau.” [H.R. Al Bukhari dari Ummul Mukminin Aisyah].
2. Jika melepas, dahulukan kaki kiri.
Berdasarkan hadits berikut ini, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila kalian memakai sandal, dahulukanlah yang kanan. Apabila melepas, maka dahulukan yang kiri. Sehingga kaki kanan yang pertama memakai sandal, dan terakhir dilepas.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah].
3. Tidak memakai sandal dengan berdiri. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma mengatakan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang memakai sandal dalam keadaan berdiri.” [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash Shahihah].
Dalam kitab yang sama, Asy Syaikh Al Albani rahimahullah menukilkan penjelasan Al Munawi bahwa perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits ini sebagai bimbingan saja bukan wajib. Karena memakai sandal dengan duduk akan lebih mudah dan nyaman.
Dari hadits ini pula, Ath Thibi dan selain beliau berpendapat bahwa larangan ini khusus apabila ada semacam kesusahan ketika memakainya dengan berdiri. Seperti memakai sepatu, bukan sandal biasa. Allah lah Yang Maha Mengetahui terhadap hukum syariat-Nya.
4. Tidak berjalan dengan memakai satu sandal saja.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian berjalan memakai satu sandal. Lepas semua sekalian, atau pakai semua.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah].
Bahkan, ketika putus talinya, jangan dipakai salah satunya sampai diperbaiki. Dalam hadits Abu Hurairah riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila tali sandal kalian putus, janganlah berjalan dengan satunya, sampai diperbaiki.”
5. Sandal desain dan model yang khusus untuk laki-laki tidak boleh dipakai wanita, dan sebaliknya.
Berdasarkan keumuman larangan menyerupai gaya lawan jenis. Bahkan pelanggaran terhadap larangan ini termasuk dosa besar.
“Bahwa Rasulullah melaknat wanita yang bergaya menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang berusaha menyerupai wanita.” [H.R. Abu Dawud, dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud].
6. Tidak boleh ada unsur menyerupai orang kafir atau menyebabkan mudarat.
Contohnya, sepatu hak tinggi.
Asy Syaikh Utsaimin pernah ditanya dengan redaksi pertanyaan sebagai berikut, “Apa hukum memakai sepatu atau sandal hak tinggi? Sebagai pertimbangan, bahwa tidak ada suara apabila berjalan (yang memungkinkan menimbulkan godaan, red). Wanita ini memakainya pada momen tertentu saja. Lalu apa pula hukumnya apabila menimbulkan suara rendah yang tidak mengundang perhatian laki-laki?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Memakai sepatu atau sandal hak tinggi termasuk tabarruj, berhias yang dilarang. Di sisi lain bermudarat pada tumit kaki karena terangkat tidak sebagaimana mestinya. Jadi hak tinggi tercela secara syariat maupun kedokteran. Oleh sebab itu banyak para dokter yang melarangnya karena alasan kesehatan. Sehingga tercelanya menurut syariat tentu lebih besar karena termasuk tabarruj. Apabila menimbulkan suara maka lebih jelek lagi. Kaum wanita hendaknya memakai sandal biasa yang khusus untuk wanita. Dan tidak boleh memakai sandal khusus laki-laki. Karena hal ini termasuk menyerupai laki-laki. “Bahwa Rasulullah melaknat wanita yang bergaya menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang berusaha menyerupai wanita.” [H.R. Abu Dawud, dari sahabat Abdullah bin Abbas dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud].
[Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin].
Catatan:
1. Memakai sandal yang bagus hukumnya boleh, dan tidak termasuk kesombongan. Tapi ingat, niatannya bukan untuk bangga diri dan merendahkan orang lain. Dalam riwayat Muslim dari sahabat Abdullah bin Masud, Rasulullah pernah bersabda bahwa tidak akan masuk surga, siapa saja yang dalam kalbunya ada kesombongan walaupun sekecil semut. Ada sahabat yang bertanya tentang seseorang yang senang memakai baju dan sandal yang bagus. Beliau menjelaskan bahwa Allah ta’ala Maha Indah dan menyukai keindahan. Hal itu bukanlah kesombongan. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar sesekali berjalan tanpa alas kaki. Sebagaimana dalam riwayat:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk sesekali berjalan tanpa alas kaki.” [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya, dari sahabat Fudhalah bin Ubaid dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash Shahihah].
Pembaca, demikian adab memakai sandal yang bisa kami sebutkan. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang diamalkan. Dengan mengamalkan ilmu sekecil apa pun, pasti akan berbuah berkah. Karena, tidak lain itu adalah bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Sebaliknya, menyepelekan dan tidak mengamalkannya adalah perbuatan dosa. Bahkan, sangat mungkin akan menyeret pelakunya untuk memandang remeh setiap kebaikan. Akhirnya sunnah-sunnah yang besar (hukumnya wajib) pun akan ditinggalkan. Jadilah, ia orang yang dihalangi dari berkah. Na’udzubillahi mindzalik. Allahu a’lam.
[Ustadz farhan]